Damai di Tanah Dayak: Panglima Jilah dan Panglima Pajaji Akhiri Perselisihan dengan Tradisi Capal Molot
Dunia maya baru-baru ini gempar dengan adu argumentasi antara dua tokoh Dayak, Panglima Jilah dan Panglima Pajaji, terkait komentar mengenai Ibu Kota Negara baru dan pernyataan Rocky Gerung tentang IKN. Perseteruan yang sempat memanas ini berujung pada laporan ke polisi terhadap Panglima Pajaji karena ujaran penghinaan dan tantangan fisik.
Kontroversi tersebut berakhir ketika Agustinus Luki (28), atau yang lebih dikenal sebagai Panglima Pajaji, mengunjungi Panglima Jilah (43) untuk meminta maaf sesuai adat Capal Molot pada 25 Agustus, menyatakan penyesalan atas pernyataannya di media sosial.
Panglima Jilah, pemimpin Pasukan Merah TBBR, dengan hati terbuka memaafkan perbuatan Panglima Pajaji. Mengingat bahwa Agustinus juga pernah menjadi bagian dari Pasukan Merah, Panglima Jilah merasa memiliki tanggung jawab moral atas tindakan yang dilakukan oleh anggotanya. Dalam budaya Dayak, menjaga adat istiadat dan budaya merupakan hal yang diutamakan, dan segala tindakan harus dipertanggungjawabkan di hadapan adat sebagai regulator kehidupan masyarakat Dayak.
Panglima Jilah menegaskan bahwa masyarakat Dayak akan menyelesaikan konflik internal dengan cara mereka sendiri, mengikuti kearifan lokal yang telah lama dipraktikkan dalam masyarakat Dayak. Panglima Pajaji pun menerima hukuman adat sesuai dengan tindakannya.
Dengan berlangsungnya prosesi adat, polemik yang sempat berkembang di media sosial ini dinyatakan selesai dan tidak akan diperpanjang lagi. James Mark.SH, Humas DPP TBBR, menghimbau kepada anggota Pasukan Merah TBBR di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, DKI Jakarta, dan Malaysia agar menghindari tindakan yang melanggar hukum dan fokus pada pembangunan sumber daya manusia Dayak agar dapat bersaing dengan suku lain.