Ad
Scroll untuk melanjutkan membaca
Ad

Proyek Ambisius Kereta Api Lintas Tiga Negara Menuju IKN: Peluang Besar di Tengah Tantangan Borneo

 

Ilustrasi AI

Penajam Paser Utara, 16 Desember 2025 – Rencana pembangunan jaringan kereta api lintas tiga negara—Indonesia, Malaysia (Sarawak), dan Brunei Darussalam—dengan titik akhir di Ibu Kota Nusantara (IKN) kembali mencuat. Proposal ini, yang pertama kali digulirkan oleh Menteri Pengangkutan Sarawak, Dato Sri Lee Kim Shin, saat kunjungan ke Otorita IKN pada 10 Desember 2025, menawarkan konektivitas darat revolusioner bagi Pulau Borneo. Namun, di balik potensi ekonomi yang menggiurkan, proyek ini menghadapi hambatan geografis dan finansial yang tak ringan, seperti yang dianalisis para pakar transportasi.

Ide kereta api Trans-Borneo ini bukan hal baru. Sejak 2015, konsep serupa pernah dibahas antara pemimpin Malaysia dan Indonesia, sementara perusahaan Brunei, Brunergy Utama, sempat mengusulkan versi kereta cepat dengan estimasi biaya US$70 miliar pada 2024. Kini, Sarawak aktif mengkaji jalur yang menghubungkan Kuching, perbatasan utara Kalimantan, hingga IKN di Kalimantan Timur. Jarak tempuh diperkirakan mencapai lebih dari 1.700 kilometer dari perbatasan Sarawak, bahkan 2.600 kilometer jika dari Brunei. Jalur ini akan melewati hutan lindung, perbukitan berbatu, dan area sulit seperti jurang di Malinau, Kalimantan Utara.

Sekretaris Otorita IKN, Bimo Adi Nursanthyasto, menyambut positif usulan ini. "Jika jalur kereta api lintas tiga negara terwujud, ini akan menggerakkan ekonomi Asia Tenggara dan memperlihatkan dinamika kawasan kepada dunia," katanya usai pertemuan dengan delegasi Sarawak. Bimo menekankan integrasi dengan infrastruktur udara, seperti penerbangan langsung Air Borneo yang mulai beroperasi Januari 2026. Proyek ini sejalan dengan visi Borneo terintegrasi, di mana IKN jadi pusat gravitasi ekonomi baru, menarik investasi dari tetangga.

Peluang ekonomi dari proyek ini memang masif. Kereta lintas negara bisa membuka akses langsung bagi pebisnis dan wisatawan dari Sarawak serta Brunei ke IKN, mempercepat redistribusi populasi dari Jawa overcrowded ke Kalimantan. "Malaysia dan Brunei punya kepentingan nyata membuka akses ke pusat administrasi Indonesia yang baru," ujar pengamat transportasi dari Unika Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno. Ia menyebut proyek ini bisa dorong investasi lintas batas di sektor logistik, pariwisata, dan energi terbarukan. Borneo, dengan sumber daya alam melimpah, akan jadi koridor ekonomi ASEAN yang lebih kompetitif, mengurangi ketergantungan pada jalur laut atau udara mahal.

Djoko juga menyoroti potensi integrasi dengan rencana domestik Indonesia, seperti rel Balikpapan-IKN yang ditargetkan operasional 2029. Jika berhasil, kereta ini bisa angkut barang dan penumpang secara efisien, mendukung target 1-2 juta penduduk IKN pada 2030. Bagi Sarawak, ini peluang ekspansi ekonomi; bagi Brunei, akses ke pasar besar Indonesia. "Ini bukan hanya rel, tapi jembatan pembangunan regional," tambah Bimo, yang juga bahas kolaborasi di pendidikan, kesehatan, dan budaya.

Namun, tantangan utama justru di sisi Indonesia. Djoko mengingatkan, "Bangun rel di Aceh saja yang hanya 60 kilometer enggak beres-beres, apalagi ribuan kilometer di Borneo." Kondisi geografis ekstrem—hutan primer, bukit curam, dan sungai deras—bisa membengkakkan biaya konstruksi. Aspek lingkungan jadi isu krusial: jalur melewati kawasan lindung, berisiko deforestasi dan ganggu habitat satwa seperti orangutan. Belum lagi birokrasi dan pendanaan; skema kerjasama pemerintah-swasta (KPBU) sering macet untuk proyek rel di luar Jawa.

Koordinasi antarnegara juga belum matang. Meski Sarawak aktif, pemerintah federal Malaysia baru lakukan studi kelayakan yang dijadwalkan selesai 2026. Sementara Brunei monitor saja, tanpa komitmen resmi. Di Indonesia, Kemenhub jadi koordinator utama, tapi OIKN hanya tangani segmen dalam kawasan administratif. Djoko khawatir, jika Indonesia lambat, investor bisa beralih ke proyek lain, bahkan melibatkan pihak eksternal seperti China.

Analis infrastruktur dari Institut Teknologi Bandung, Dr. Hera Widyastuti, menambahkan bahwa proyek ini butuh studi kelayakan mendalam, termasuk analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan mitigasi banjir di lahan gambut Borneo. "Teknologi elevated track atau tunnel bisa solusi, tapi biayanya fantastis," katanya. Ia sarankan pendekatan bertahap: mulai dari segmen pendek seperti Sarawak ke Kalimantan Utara, baru lanjut ke IKN.

Secara keseluruhan, kereta lintas tiga negara ini adalah mimpi ambisius yang bisa ubah wajah Borneo. Dari isolasi geografis menjadi hub konektivitas Asia Tenggara, dengan IKN sebagai destinasi utama. Namun, realisasinya tergantung kemauan politik kuat dan kolaborasi tulus antarnegara. Seperti kata Djoko, "Jika tujuan utama pengembangan Kalimantan, infrastruktur rel harus diutamakan." Di tengah percepatan IKN, proyek ini bisa jadi katalisator—atau sekadar wacana jika tantangan tak diatasi. Borneo menanti langkah konkret, agar rel bukan hanya garis di peta, tapi jalur masa depan bersama.

 

Also Read
Tag:
Latest News
  • Proyek Ambisius Kereta Api Lintas Tiga Negara Menuju IKN: Peluang Besar di Tengah Tantangan Borneo
  • Proyek Ambisius Kereta Api Lintas Tiga Negara Menuju IKN: Peluang Besar di Tengah Tantangan Borneo
  • Proyek Ambisius Kereta Api Lintas Tiga Negara Menuju IKN: Peluang Besar di Tengah Tantangan Borneo
  • Proyek Ambisius Kereta Api Lintas Tiga Negara Menuju IKN: Peluang Besar di Tengah Tantangan Borneo
  • Proyek Ambisius Kereta Api Lintas Tiga Negara Menuju IKN: Peluang Besar di Tengah Tantangan Borneo
  • Proyek Ambisius Kereta Api Lintas Tiga Negara Menuju IKN: Peluang Besar di Tengah Tantangan Borneo
Post a Comment
Ad
Ad
Tutup Iklan
Ad