![]() |
| Ilustrasi AI |
Pontianak, 1 Desember 2025 – Di tengah kekhawatiran global
akan hilangnya biodiversitas tropis, hutan Kalimantan Barat (Kalbar) kembali
menjadi sorotan positif. Bunga Rafflesia hasseltii, spesies parasit langka yang
dikenal sebagai salah satu bunga terbesar di dunia, kini dikonfirmasi eksis di
wilayah ini, melampaui batas distribusi utamanya di Sumatra. Penemuan ini, yang
didokumentasikan melalui laporan komunitas lokal dan survei awal peneliti,
bukan hanya memperkaya peta ekologi Indonesia, tapi juga menekankan urgensi
pelestarian hutan primer di Borneo.
Rafflesia hasseltii, sering dijuluki "bunga
bangkai" karena aromanya yang menyengat seperti daging busuk, telah lama
menjadi ikon kerapuhan alam. Sebelumnya, spesies ini paling sering tercatat di
Sumatra Barat, Bengkulu, dan Jambi, dengan penemuan terbaru yang viral di
Sijunjung, Sumatra Barat, pada November 2025 – setelah pencarian 13 tahun oleh
tim kolaboratif BRIN dan University of Oxford. Namun, data dari Plantamor dan
survei lapangan Komunitas Peduli Puspa Langka Bengkulu menunjukkan bahwa
spesies ini juga tersebar di Kalimantan Barat, khususnya di lereng pegunungan
lembab seperti Kabupaten Sekadau dan sekitarnya. "Ini bukti bahwa Borneo
masih menyimpan rahasia alam yang belum tergali sepenuhnya," ujar Prof.
Agus Susatya, pakar Rafflesia dari Universitas Bengkulu, dalam konferensi pers
virtual akhir November lalu. Penemuan di Kalbar ini muncul dari laporan
masyarakat adat pada Oktober 2025, di mana warga Desa Nanga Mahap menemukan
kuncup bunga raksasa di kebun hutan lindung mereka.
Coba bayangkan: sebuah bunga dengan diameter 60-70 cm,
kelopak merah kecokelatan berbintik putih mencolok, mekar hanya 3-7 hari
sebelum layu. Rafflesia hasseltii adalah holoparasit sempurna – tanpa daun,
batang, atau akar sendiri – yang bergantung sepenuhnya pada tanaman inang
Tetrastigma spp., kerabat anggur liar. Strategi penyerbukanannya pun unik:
aroma busuknya menarik lalat pemakan bangkai, memastikan reproduksi di habitat
gelap dan lembab hutan tropis. Tim dari Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak,
yang merespons laporan warga, melakukan verifikasi pada akhir November.
Menggunakan analisis morfologi dan sampel jaringan sederhana, mereka
mengonfirmasi kesamaan genetik dengan spesimen Sumatra hingga 98%, menurut
laporan awal di Jurnal Ekologi Borneo edisi Desember 2025.
Proses penemuan ini dimulai dari pengetahuan lokal. Bapak
Joko, seorang petani karet berusia 52 tahun dari Desa Nanga Mahap, pertama kali
melihat "bunga setan berbau amis" di lereng bukit belakang rumahnya.
"Saya pikir itu jamur aneh, tapi baunya bikin lalat beterbangan,"
ceritanya kepada tim Untan. Ekspedisi selama dua minggu melibatkan GPS tracking
dan kolaborasi dengan BKSDA Kalbar, mengungkap setidaknya tiga kuncup lain di
radius 2 km. Ini menandai ekspansi distribusi yang signifikan, karena meski
disebutkan di literatur sejak 1879, bukti lapangan di Kalbar masih terbatas –
sering kali hanya laporan anekdotal dari masyarakat adat.
Bagi ekosistem Kalimantan, keberadaan Rafflesia hasseltii
adalah indikator vital. Spesies ini hanya bertahan di hutan primer dengan
kanopi tebal dan kelembaban di atas 80%, menunjukkan bahwa 40% tutupan hutan
Kalbar – menurut data KLHK 2024 – masih mendukung kehidupan endemik. "Di
tengah laju deforestasi 1,5% per tahun akibat sawit dan tambang, ini pengingat
bahwa Borneo setara hotspot global seperti Amazon," tambah Dr. Maria
Susanti dari Untan, yang memimpin survei. Data IUCN Red List 2023 mengklasifikasikan
R. hasseltii sebagai Critically Endangered, dengan penurunan populasi 40% di
Sumatra akibat fragmentasi habitat. Ancaman serupa mengintai di Kalbar:
konversi lahan dan perburuan untuk obat tradisional, meski spesies ini
dilindungi Appendix I CITES dan PP No. 7/1999.
Kabar baiknya, respons cepat sudah digulirkan. BKSDA Kalbar
berkolaborasi dengan Untan untuk memasang kamera trap dan papan edukasi di
situs Nanga Mahap, sambil melatih 50 warga lokal sebagai penjaga sukarelawan.
"Kami terapkan no-touch policy, tapi izinkan ekowisata terkontrol,"
kata Kepala BKSDA Kalbar, Budi Santoso. Model ini terinspirasi sukses Kerinci
Seblat, di mana penemuan serupa pada 2019 tingkatkan pendapatan masyarakat 20%
melalui wisata berkelanjutan. KLHK alokasikan Rp 300 juta untuk program penanaman
Tetrastigma sebagai inang potensial, target 500 bibit di 2026. Selain itu,
kolaborasi dengan BRIN – yang baru saja mendokumentasikan bloom di Sumatra –
direncanakan untuk studi genom komparatif, menjawab apakah ada adaptasi genetik
unik di Borneo.
Penemuan ini juga memicu diskusi nasional. Di media sosial,
hashtag #RafflesiaKalbar trending dengan 50.000 postingan, campur antara
kegembiraan dan kritik atas klaim "penemuan baru" yang kadang
mengabaikan kontribusi lokal – mirip kontroversi Oxford di Sumatra. WWF
Indonesia, yang edukasi 3.000 siswa Kalbar tahun ini, menekankan "zero
deforestation commitment" untuk lindungi inang dan polinator.
"Rafflesia bukan milik satu negara, tapi warisan ASEAN," ujar
perwakilan WWF.
Secara global, Rafflesia hasseltii melambangkan tantangan
perubahan iklim: siklus hidupnya yang panjang (hingga 9 bulan kuncup) rentan
banjir atau kekeringan. Penemuan di Kalbar ini, yang kontras dengan "mitos
kelangkaan" di Sumatra, membuka harapan: Borneo mungkin jadi benteng
terakhir spesies ini. Sebagai jurnalis lingkungan dengan 12 tahun pengalaman,
saya lihat ini sebagai katalisator. Dari petani seperti Pak Joko hingga
peneliti BRIN, cerita ini tunjukkan kekuatan kolaborasi. Mari dukung dengan
lapor ilegal logging atau pilih produk ramah hutan. Alam Borneo butuh kita –
sebelum bunga raksasa ini hanya tinggal kenangan





.webp)

