JAKARTA — Sebuah momentum penting bagi dunia kehutanan Indonesia digelar pada Senin, 8 Desember 2025, ketika buku Dipterokarpa Indonesia untuk Dunia – Seri 1: Pemuliaan Genetik Shorea parvifolia Dyer untuk Kesejahteraan Sosial resmi diluncurkan di Jakarta Selatan. Acara yang berlangsung secara hybrid itu menghadirkan akademisi, pemerintah, industri kehutanan, LSM, hingga mahasiswa, menandai lahirnya karya ilmiah yang disebut para pakar sebagai tonggak baru literasi hutan tropis Indonesia.
Buku ini lahir dari perjumpaan intelektual antara penulis
dan Dr. Petrus Gunarso pada peluncuran buku Palma Tropika Indonesia untuk
Dunia di Bappenas, Oktober lalu. Dari percakapan singkat itu, muncul
kesadaran bersama bahwa kekayaan Dipterocarpaceae—kelompok besar meranti yang
menjadi tiang kanopi hutan Borneo—tidak bisa lagi dibiarkan tenggelam di balik
isu komoditas lain. Shorea parvifolia, salah satu spesies kunci, justru tengah
berhadapan dengan penurunan populasi akibat pembalakan, konversi lahan, dan
degradasi habitat.
Dr. Petrus Gunarso, yang menjadi penanggung jawab kegiatan,
menyebut peluncuran buku ini sebagai “alarm sekaligus peta jalan” untuk membawa
kembali Dipterokarpa ke pusat perhatian nasional. Buku setebal hampir 300
halaman itu memuat kajian genetika, silvikultur, konservasi, hingga strategi
budidaya modern yang dapat menjadi rujukan kebijakan dan industri kehutanan.
Acara dibuka pukul 09.00 WIB dengan pengantar dari Dr. Petrus Gunarso selaku Penanggungjawab kegiatan, lalu menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ketua Umum
APHI, Dr. Soewarso, turut memberikan pandangan mengenai urgensi membangun
kembali hutan-hutan Dipterokarpa melalui pendekatan ilmiah dan kolaboratif.
Wamen LHK RI kemudian memberikan sambutan secara luring maupun video,
menekankan perlunya jembatan kuat antara riset dan kebijakan publik.
Momen puncak berlangsung pada pukul 09.30 saat Wamen LHK
meresmikan peluncuran buku: penayangan cover, penyerahan simbolis buku, serta
penegasan komitmen pemerintah untuk memperkuat konservasi dan pemanfaatan
lestari. Foto bersama secara hybrid menutup sesi seremonial.
![]() |
| Dr. Antonius saat memaparkan isi bukunya, di samping Ketua APHI (Dr. Soewarso) dan Dr. Petrus Gunarso, Penanggungjawab kegiatan. |
Dr. Antonius, S.Hut., MP sebagai penulis utama, memaparkan substansi buku selama 30 menit. Ia menekankan bahwa pemuliaan genetik Shorea parvifolia adalah kunci meningkatkan produktivitas hutan tanaman sekaligus memperkuat fungsi ekologisnya. “Jika Dipterokarpa adalah tiang langit hutan kita, maka pemuliaan genetika adalah cara memastikan tiang itu tetap kokoh untuk generasi berikutnya,” ujarnya.
Dua pakar silvikultur, Prof. Sambas Sabarnurdin dan Prof. M.
Naiem, memberikan tanggapan kritis sekaligus apresiatif. Mereka menilai buku
ini mampu menjembatani dunia riset dengan praktik lapangan—sebuah celah yang
sering kali dikeluhkan pelaku industri maupun pemerintah daerah.
Lebih dari 20 peserta hadir langsung di lokasi, sementara
sekitar 50 peserta mengikuti melalui Zoom. Mereka berasal dari dekan-dekan
fakultas kehutanan dalam jaringan FORETIKA, akademisi berbagai universitas,
BRIN, KLHK, Bappenas, pengusaha hutan, pegiat konservasi, hingga media. Diskusi
interaktif berlangsung hangat, menggambarkan besarnya antusiasme terhadap arah
baru riset Dipterokarpa.
Acara ditutup dengan sesi ramah tamah, penandatanganan buku. Panitia menyebut bahwa dokumentasi lengkap berupa
foto, video, dan laporan pelaksanaan akan disusun sebagai bahan tindak lanjut
untuk forum-forum ilmiah berikutnya.
Peluncuran buku ini bukan sekadar seremoni, tetapi upaya
memperkuat ingatan nasional bahwa masa depan kehutanan Indonesia bergantung
pada jenis pohon yang selama ini berdiri paling senyap: Dipterokarpa. Dari
batangnya yang menjulang, Indonesia berharap menemukan keseimbangan antara
ekonomi, ekologi, dan keberlanjutan. Sebuah langkah yang kecil di ruang
peluncuran, tetapi gema jangka panjangnya menuju hutan yang lebih utuh.








