![]() |
| Ilustrasi AI |
Pontianak, 27 November 2025 – Kasus dugaan tindak pidana Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menjerat kreator konten asal Pontianak, Rizky Kabah, memasuki babak baru. Berkas perkara dan barang bukti secara lengkap (P-21) telah diserahkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Barat (Kalbar), menandai transisi kewenangan penuh ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk tahap penuntutan. Penyidik Siber Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Kalbar, yang menangani sejak laporan awal, menegaskan proses berjalan objektif dan prosedural, di tengah sorotan publik soal ujaran kebencian berbasis Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) terhadap masyarakat Dayak.
Kepala Bidang Humas Polda Kalbar, Kombes Pol Bayu Suseno,
mengonfirmasi kelengkapan berkas pada Kamis (27 November 2025). "Berkas
perkara RK (Rizky Kabah) telah dinyatakan lengkap atau P-21 oleh Kejaksaan
Tinggi Kalbar. Dengan demikian, kewenangan penanganan perkara sepenuhnya
beralih ke Jaksa Penuntut Umum untuk memasuki tahap penuntutan," ujar Bayu
melalui pernyataan resminya. Penyerahan berkas ini dilakukan sehari sebelumnya,
pada 26 November 2025, sebagai bagian dari Tahap II proses pidana, sesuai Pasal
184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Kasus ini mencuat setelah konten video Rizky Kabah dianggap
menghina suku Dayak dengan menyebut mereka menganut "ilmu hitam".
Video tersebut direkam di depan Rumah Radakng Pontianak, rumah adat ikonik yang
menjadi simbol kebanggaan masyarakat Dayak di Kalbar. Laporan dari berbagai
organisasi masyarakat (ormas) dan organisasi kepemudaan (OKP) Dayak telah
memicu gelombang kecaman, menyoroti isu sensitif SARA di wilayah multietnis
seperti Kalbar, di mana suku Dayak, Melayu, dan Tionghoa hidup berdampingan.
Kronologi Kasus: Dari Konten Viral hingga Penetapan Tersangka
Kontroversi bermula pada 9 September 2025, ketika Rizky
Kabah, kreator konten berusia 28 tahun asal Pontianak, mengunggah video di
platform media sosialnya. Dalam rekaman berdurasi 2 menit itu, ia disebut-sebut
membuat pernyataan yang merendahkan tradisi Dayak, termasuk tuduhan soal
praktik mistis yang dianggap sebagai "ilmu hitam". Video ini cepat
viral, ditonton ribuan kali, dan memicu kemarahan netizen serta komunitas adat.
"Konten itu bukan hanya hinaan, tapi juga provokasi yang bisa memecah
belah masyarakat Kalbar yang damai," kata salah seorang pelapor dari OKP
Dayak Kalbar, yang enggan disebut namanya untuk alasan keamanan.
Laporan resmi masuk ke Polresta Pontianak pada hari yang
sama, didukung oleh bukti digital seperti screenshot, link video, dan saksi
mata. Penyidik Siber Dit Reskrimsus Polda Kalbar segera bergerak, melakukan
pemeriksaan awal terhadap Rizky. Pada awal Oktober 2025, setelah pengumpulan 15
alat bukti – termasuk rekaman CCTV Rumah Radakng dan keterangan saksi – Rizky
resmi ditetapkan sebagai tersangka. Ia sempat ditahan selama 20 hari untuk
pemeriksaan lebih lanjut, sebelum dibebaskan dengan status wajib lapor.
"Penyidik bekerja objektif, transparan, dan prosedural berdasarkan alat
bukti yang sah sesuai dengan Pasal 184 KUHAP," tegas Bayu Suseno,
menekankan komitmen Polri terhadap proses hukum yang adil.
Kasus ini dijerat Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU
Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 Tahun
2016, dengan ancaman pidana penjara hingga 6 tahun dan denda Rp1 miliar. Selain
itu, ada potensi tambahan Pasal 156a KUHP tentang penghinaan berbasis SARA,
yang bisa perberat hukuman. Hingga kini, Rizky belum memberikan keterangan
publik; akun media sosialnya yang sebelumnya aktif kini diam, diduga atas saran
kuasa hukum.
Dampak Sosial: Ujaran Kebencian di Media Sosial Ancaman bagi Harmoni Kalbar
Kalbar, sebagai provinsi dengan 4,3 juta jiwa dan
keberagaman etnis yang kaya, sering jadi uji coba toleransi. Rumah Radakng,
yang dibangun tahun 1776 sebagai pusat upacara adat Dayak, bukan sekadar
bangunan; ia simbol identitas budaya. Penghinaan melalui konten digital seperti
kasus Rizky dianggap mengikis nilai itu, terutama di era media sosial di mana
berita hoaks dan hate speech menyebar cepat. Data Kominfo Kalbar mencatat,
kasus ITE berbasis SARA naik 25% sepanjang 2025, dengan 150 laporan, mayoritas
dari Pontianak dan Singkawang.
Dampaknya merembet ke masyarakat. Komunitas Dayak, yang
mewakili 30% populasi Kalbar, gelar aksi damai di depan Polresta Pontianak pada
Oktober lalu, menuntut keadilan tanpa kekerasan. "Kami bukan menyerang
pribadi, tapi lindungi warisan leluhur dari konten yang merusak citra,"
kata Ketua Ormas Dayak Kalbar, Yohanes Kurniawan, dalam konferensi pers. Di
sisi lain, kelompok hak asasi manusia seperti LBH Pontianak ingatkan soal
kebebasan berekspresi: "Kasus ini harus proporsional; jangan sampai UU ITE
jadi alat pembungkam kritik budaya."
Secara ekonomi, insiden ini picu boikot tidak langsung
terhadap konten kreator lokal. Rizky, yang sebelumnya punya 50.000 follower dan
endorse produk UMKM, kini kehilangan kolaborasi. Ini jadi pelajaran bagi 10.000
kreator konten di Kalbar: konten viral bisa untung, tapi juga beresiko hukum
jika sentuh isu sensitif.
Respons Aparat: Proses Hukum Transparan Menuju Sidang
Polda Kalbar patut diapresiasi atas kecepatan penanganannya.
Bayu Suseno menambahkan, "Proses ini terbuka dan sesuai hukum, demi
keadilan bagi semua pihak." Kejati Kalbar, di bawah Kepala Kejati Kalbar,
Andi Saragih, kini pegang kendali. JPU akan verifikasi berkas dalam 14 hari,
sebelum tuntutan dibacakan di Pengadilan Negeri Pontianak. Kuasa hukum Rizky,
yang diduga libatkan pengacara senior dari Jakarta, siap bantah tuduhan dengan
argumen konteks budaya.
Pemerintah daerah Kalbar, melalui Gubernur Hadi Ohana,
dorong mediasi pra-sidang. "Harmoni SARA prioritas; kami fasilitasi dialog
antara pelapor dan terlapor," katanya. Kominfo pusat pula rencanakan
sosialisasi literasi digital ke 5.000 pemuda Pontianak, cegah kasus serupa.
Kasus Rizky Kabah jadi pengingat: di era digital, kata-kata bisa jadi senjata. Dengan berkas lengkap, harapan sidang adil tinggi, tapi juga peluang rekonsiliasi. Bagi masyarakat Kalbar, ini momentum perkuat toleransi, lindungi rumah adat sebagai jembatan budaya.
Pantau perkembangan via situs Kejati Kalbar atau hotline
Polri 110. Semoga proses ini bukan akhir konflik, tapi awal pemahaman
antar-suku di tanah Borneo.





.webp)

