![]() |
| Ilustrasi AI |
Balikpapan – Meningkatnya deteksi titik panas di wilayah
Kalimantan Timur (Kaltim) menjadi sinyal bahaya bagi potensi kebakaran hutan
dan lahan (karhutla) yang bisa meluas seiring musim kemarau yang masih
berlangsung. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun
Balikpapan mencatat lonjakan signifikan jumlah hotspot dalam beberapa hari
terakhir, memicu imbauan darurat bagi masyarakat dan pemerintah daerah untuk
meningkatkan kewaspadaan. Kondisi ini tidak hanya mengancam ekosistem hutan tropis
yang luas di Kaltim, tetapi juga berpotensi memengaruhi pembangunan strategis
seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), yang menjadikan provinsi ini sebagai kawasan
prioritas nasional dalam penanganan karhutla tahun 2025.
Pada Kamis, 3 Oktober 2025, BMKG mendeteksi sebanyak 307
titik panas yang tersebar di sembilan kabupaten dan kota di Kaltim, menandakan
peningkatan aktivitas pembakaran yang mengkhawatirkan. Data satelit menunjukkan
hotspot ini terdistribusi merata, mulai dari Kutai Timur hingga Berau, dengan
sebagian besar memiliki tingkat kepercayaan tinggi yang menandakan kemungkinan
kebakaran aktif. Hanya sehari kemudian, pada Jumat 4 Oktober, jumlahnya merosot
menjadi 40 titik, terkonsentrasi di empat wilayah utama: Kabupaten Paser dengan
34 titik—terbanyak di Kecamatan Batu Engau (24 titik) dan Batu Sopang (7
titik)—serta sisanya di Berau, Kutai Barat, dan Kutai Kartanegara. Update
terbaru dari BMKG Stasiun Samarinda per 4 Oktober menunjukkan penurunan lebih
lanjut menjadi hanya empat titik panas, tiga di Kutai Timur (Kecamatan
Bengalon) dengan kepercayaan sedang, dan satu lagi dengan kepercayaan tinggi.
Meski demikian, tren fluktuatif ini tidak boleh menimbulkan kelengahan, karena
kondisi cuaca kering dan angin kencang bisa mempercepat penyebaran api.
Koordinator Bidang Data dan Informasi BMKG Balikpapan, Diyan
Novrida, menekankan peran lembaganya dalam pemantauan dini melalui citra
satelit seperti MODIS dari NASA. "Kami hanya menyediakan data titik panas
beserta koordinat dan tingkat kepercayaannya. Penanganan lapangan menjadi
tanggung jawab instansi terkait seperti Manggala Agni, BPBD, dan
TNI-Polri," ujar Diyan dalam pernyataan yang dikutip dari Antara. Ia
mengingatkan masyarakat untuk menghindari kebiasaan berbahaya seperti membuang
puntung rokok sembarangan atau membakar lahan secara tidak terkendali,
mengingat vegetasi kering yang saat ini rentan terhadap percikan api terkecil
sekalipun. "Ranting dan daun yang gugur akibat kekeringan musiman membuat
lahan begitu mudah terbakar. Pantau prakiraan cuaca melalui saluran resmi BMKG
untuk antisipasi dini," tambahnya.
Fenomena ini bukanlah kejadian terisolasi, melainkan bagian
dari pola musiman yang lebih luas di Kalimantan. Secara nasional, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendeteksi 2.173 titik panas pada 3
Oktober 2025, dengan Kaltim menyumbang 304 di antaranya—peringkat kedua setelah
Nusa Tenggara Timur. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat
1.304 hotspot di seluruh Indonesia pada 2 Oktober, di mana Kaltim berkontribusi
93 titik. Tren ini sejalan dengan prediksi BMKG bahwa risiko karhutla tetap
tinggi hingga akhir Oktober 2025, dipicu oleh perubahan iklim global yang
memperpanjang musim kemarau. Di Kaltim, yang ditetapkan sebagai kawasan
penanganan khusus karhutla oleh BNPB karena kedekatannya dengan IKN, pemerintah
telah melakukan 63 operasi pemadaman sejak Januari hingga Agustus 2025,
menyelamatkan ribuan hektare lahan dari kehancuran total.
Dampak karhutla di Kaltim tidak hanya ekologis, tetapi juga
multidimensional yang menyentuh aspek sosial, ekonomi, dan kesehatan. Secara
lingkungan, kebakaran lahan gambut—yang mendominasi wilayah Kaltim—melepaskan
karbon dioksida dalam jumlah besar, memperburuk emisi gas rumah kaca Indonesia
yang sudah tinggi. Pada Januari-Mei 2025, luas karhutla nasional mencapai
8.594,5 hektare, dengan faktor manusia seperti pembakaran sengaja untuk membuka
lahan sawit sebagai penyebab utama. Di Kaltim, kejadian serupa pada Juli 2025
melahap 1,3 hektare di Penajam Paser Utara, sementara secara keseluruhan Pulau
Kalimantan kehilangan 7,8 hektare lahan pada akhir bulan itu. Hilangnya tutupan
hutan mengancam keanekaragaman hayati, termasuk habitat orangutan dan spesies
endemik lainnya, serta merusak siklus air yang krusial bagi proyek IKN.
Dari sisi sosial-ekonomi, karhutla sering kali memicu kabut
asap tebal yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Petani di Kutai Kartanegara
dan Paser kerap kehilangan panen karena api yang tak terkendali, sementara
nelayan di Berau menghadapi penurunan tangkapan ikan akibat penurunan kualitas
air sungai. Pada 2019, karhutla di Kalimantan Tengah—tetangga
Kaltim—menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp 20 triliun, termasuk biaya
kesehatan untuk ribuan warga yang menderita ISPA akibat asap. Di tahun 2025,
meski luas terbakar lebih terkendali berkat upaya pencegahan, BNPB
memperkirakan biaya penanganan bisa mencapai miliaran rupiah jika hotspot
seperti di Batu Sopang tidak segera dipadamkan. Selain itu, status siaga
darurat di provinsi tetangga seperti Kalimantan Selatan yang berakhir pada 3
Oktober menunjukkan betapa rapuhnya kesiapan regional terhadap bencana lintas
batas ini.
Pemerintah pusat dan daerah telah menggelar berbagai
inisiatif untuk mitigasi. Apel Kesiapsiagaan Penanganan Karhutla Nasional 2025
di Pekanbaru, Riau, yang dihadiri Menteri Koordinator Polkam Budi Gunawan,
menekankan sinergi antarlembaga. Di Kaltim, Jambore Pengendalian Karhutla pada
Agustus 2025 di Samarinda mengajak masyarakat membentuk Posko Masyarakat Peduli
Api (MPA), dengan target 1.000 personel terlatih. Teknologi seperti patroli
udara, water bombing, dan operasi modifikasi cuaca (OMC) telah diterapkan,
berhasil menurunkan luas karhutla dari 72 ribu hektare pada 2024 menjadi lebih
rendah di 2025. KLHK juga mendorong perusahaan sawit untuk beralih ke teknologi
non-bakaran, dengan sanksi tegas bagi pelanggar—seperti yang dijanjikan Menko
Polkam: "Tidak ada toleransi untuk pembakaran lahan."
Meski demikian, tantangan tetap ada. Pegiat lingkungan
menyoroti impunitas korporasi yang kerap terlibat, dengan 231 hotspot di area
konsesi perusahaan pada Juli 2025. BBC Indonesia melaporkan bahwa karhutla
berulang di lahan gambut menunjukkan lemahnya penegakan hukum, meskipun
pemerintah telah menurunkan luas kebakaran secara signifikan sejak 2015. Di
Kaltim, kolaborasi dengan IKN Nusantara Authority menjadi kunci, di mana
pembangunan kota spons dan reboisasi diintegrasikan untuk mencegah kekeringan. BMKG
memprediksi puncak risiko pada September-Oktober, sehingga edukasi masyarakat
melalui aplikasi prakiraan cuaca menjadi senjata utama.
Kejadian terkini ini menjadi pengingat bahwa karhutla bukan
hanya bencana alam, tapi juga konsekuensi dari aktivitas manusia yang tidak
berkelanjutan. Dengan data satelit sebagai mata elang, dan partisipasi kolektif
sebagai tameng, Kaltim berpotensi lolos dari musim kemarau tanpa luka parah.
Namun, tanpa aksi segera, ancaman ini bisa mengganggu visi Indonesia Emas 2045,
termasuk transformasi IKN menjadi kota hijau. Masyarakat Kaltim diimbau tetap
waspada, karena setiap puntung rokok yang dibuang bisa menjadi pemicu
kehancuran yang lebih besar.







