![]() |
| Ilustrasi AI |
IKN, 13 Oktober 2025 – Di tengah hiruk-pikuk
pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang kian masif, sebuah inisiatif hijau
mencuri perhatian nasional: penanaman 1.010 pohon kopi Liberika oleh 1.486
peserta di DAS Sanggai, Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) Nusantara. Capaian
ini resmi memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk aksi penanaman
pohon kopi Liberika terbanyak sekaligus, menandai komitmen Otorita IKN dalam
mewujudkan kota masa depan yang berkelanjutan. Lebih dari sekadar rekor,
peristiwa ini membuka pintu lebar bagi kopi Liberika Kalimantan—yang dijuluki
"emas hijau"—untuk menembus pasar global, dengan pesanan ekspor awal
mencapai 20 kontainer ke Qatar.
Sebagai jurnalis yang telah bertahun-tahun mengikuti
dinamika pertanian berkelanjutan di Kalimantan Timur, saya melihat momen ini
sebagai titik balik. Kopi Liberika, varietas langka yang tumbuh subur di tanah
Borneo, bukan hanya komoditas biasa. Ia mewakili potensi ekonomi rakyat yang
bisa menggeser dominasi sawit, sambil menjaga kelestarian lingkungan. Bayangkan
ribuan bibit muda yang ditanam hari itu, yang dalam beberapa tahun akan
menghasilkan biji kopi premium, siap bersaing di rak-rak kafe internasional.
Ini bukan mimpi; permintaan dari Timur Tengah sudah mengantre.
Latar Belakang: Dari Hutan Tropis ke Rekor Dunia
Kopi Liberika bukanlah pendatang baru di panggung pertanian
Indonesia. Varietas ini, yang berasal dari Liberia dan beradaptasi sempurna
dengan iklim tropis Kalimantan, dikenal karena rasa uniknya yang kaya akan
nuansa buah dan cokelat, dengan kafein rendah yang disukai pasar premium.
Namun, selama ini, Liberika sering terpinggirkan oleh saudaranya yang lebih
populer, Arabika dan Robusta. Di Kalimantan Timur, luas lahan kopi Liberika
baru mencapai sekitar 5.000 hektare, jauh di bawah sawit yang mendominasi 3
juta hektare. Tantangannya? Kurangnya promosi dan akses pasar.
Masuklah Otorita IKN, yang sejak 2022 telah menjadikan
pertanian berkelanjutan sebagai pilar utama visi "IKN Hijau". Pada 10
Oktober 2025, di bawah naungan Universitas Mulawarman (Unmul), acara
"Penanaman Massal Kopi Liberika" digelar. Berlokasi di DAS
Sanggai—sebuah daerah aliran sungai strategis yang menjadi penyangga ekologis
IKN—kegiatan ini melibatkan berbagai kalangan: dari ASN, mahasiswa Unmul,
petani lokal, hingga komunitas adat. Total 1.486 peserta berpartisipasi,
menanam tepat 1.010 bibit Liberika yang telah disiapkan dari persemaian
berkualitas.
Rekor MURI ini bukan kebetulan. Menurut Ketua Umum MURI, Ibu
Basuki, yang hadir secara virtual untuk menyerahkan sertifikat, "Ini
adalah bentuk nyata partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan.
Penanaman terbanyak ini mencerminkan semangat gotong royong bangsa, sekaligus
mendukung target net zero emission IKN pada 2045." Data Otorita IKN
menunjukkan, setiap pohon Liberika yang ditanam dapat menyerap hingga 20 kg CO2
per tahun, berkontribusi pada penurunan emisi karbon sebesar 20 ton dari aksi
ini saja.
Kolaborasi dengan Unmul patut diapresiasi. Sebagai
universitas negeri terbesar di Kaltim, Unmul tidak hanya menyediakan tenaga
ahli agronomi, tapi juga riset tentang adaptasi Liberika terhadap perubahan
iklim. Rektor Unmul, Prof. Dr. H. Syaiful Anwar, menyatakan, "Melalui
inisiatif ini, kami memperkuat visi IKN sebagai kota hutan. Kopi Liberika bukan
hanya tanaman; ia adalah simbol ketahanan pangan dan ekonomi hijau."
Detail Acara: Ribuan Tangan untuk Satu Tujuan Hijau
Bayangkan pemandangan pagi itu: matahari terbit menyinari
lahan hijau di Sepaku, dengan suara tawa dan sorak-sorai dari 1.486 peserta
yang berbaris rapi. Acara dimulai pukul 08.00 WIB, dengan pembukaan oleh Kepala
Otorita IKN, Basuki Hadimuljono. "IKN bukan hanya gedung-gedung tinggi,
tapi juga akar-akar yang menjaga tanah ini tetap subur," ujarnya, sambil
menyerahkan bibit pertama ke tangan seorang petani adat Dayak.
Proses penanaman berlangsung dua jam, dengan setiap peserta
menangani minimal satu bibit. Tim teknis Unmul memastikan jarak tanam ideal 2x2
meter, menggunakan pupuk organik dari limbah pertanian lokal untuk
memaksimalkan kelangsungan hidup hingga 90%. Selain itu, ada sesi edukasi
tentang pengelolaan lahan berkelanjutan, termasuk pencegahan erosi di DAS
Sanggai yang rawan banjir musiman.
Yang menarik, acara ini terintegrasi dengan program nasional
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, mengirimkan pesan dukungan: "Penanaman
ini selaras dengan target 12,7 juta hektare reboisasi nasional. Kopi Liberika
bisa menjadi model agroforestry yang menguntungkan petani sekaligus alam."
Hasilnya? Lahan seluas 2 hektare kini berubah menjadi kebun demonstrasi, yang
akan dipantau via drone untuk pertumbuhan bibit.
Dampak Ekonomi: Dari Rekor ke Rak Global
Rekor MURI hanyalah permulaan; yang lebih krusial adalah
potensi ekonominya. Kopi Liberika Kalimantan diklaim lebih menguntungkan
daripada sawit, dengan harga jual biji kering mencapai Rp 100.000 per kg—dua
kali lipat dari sawit mentah. Satu hektare lahan Liberika bisa menghasilkan 1
ton biji per panen, dengan siklus tiga kali setahun, berpotensi meraup Rp 300
juta per tahun. Bandingkan dengan sawit yang butuh 3-4 tahun baru panen dan
rentan fluktuasi harga global.
Kabar baiknya, pasar global sudah mengintip. Hanya seminggu
pasca-acara, eksportir lokal di Balikpapan melaporkan pesanan 20 kontainer
(sekitar 400 ton) dari Qatar, senilai Rp 40 miliar. "Ini berkat
sertifikasi organik yang kami kejar sejak 2024," kata Andi Rahman, Ketua
Asosiasi Kopi Kaltim. Pasar Timur Tengah, yang doyan kopi premium rendah
kafein, melihat Liberika sebagai alternatif halal dan ramah lingkungan. Tak
ketinggalan, Eropa dan AS mulai menjajaki, dengan proyeksi ekspor naik 50% pada
2026.
Bagi petani kecil, ini berarti transformasi. Di Sepaku,
ratusan keluarga yang bergantung pada karet dan sawit kini dilatih
diversifikasi ke Liberika. Program Otorita IKN menyediakan bibit gratis dan
pelatihan pasca-panen, termasuk pengolahan roasting untuk nilai tambah.
"Dulu, kami ragu tanam kopi karena takut gagal panen. Kini, dengan
dukungan IKN, kami punya jaminan pasar," cerita Siti Aminah, petani 45
tahun dari Desa Wangun.
Secara lebih luas, inisiatif ini mendukung target RPJMN
2025-2029, yang menargetkan kontribusi pertanian berkelanjutan 15% terhadap PDB
IKN. Dengan lahan pertanian IKN direncanakan 25% dari total 256.000 hektare,
kopi Liberika bisa jadi andalan, menciptakan 10.000 lapangan kerja baru dalam
lima tahun.
Tentu, tak ada jalan mulus. Tantangan utama adalah perubahan
iklim, yang bisa mengurangi hasil panen hingga 20% tanpa adaptasi. Unmul sedang
mengembangkan varietas tahan hama, sementara Otorita IKN berencana bangun
pabrik pengolahan di KIPP untuk kurangi ketergantungan impor peralatan. Selain
itu, edukasi pasar domestik perlu digencarkan; survei Kementan 2024 menunjukkan
hanya 30% konsumen Indonesia kenal Liberika.
Proyeksi ke depan optimis. Dengan momentum rekor MURI,
Otorita IKN targetkan penanaman 10.000 pohon lagi pada 2026, terintegrasi
dengan wisata agro di IKN. Ini bisa tarik wisatawan, sekaligus promosi kopi via
festival tahunan. Secara global, Liberika berpotensi capai sertifikasi Fair
Trade, buka akses ke chain supply Starbucks atau Nespresso.
Pecahnya rekor MURI oleh kopi Liberika IKN bukan sekadar prestasi statistik; ia adalah manifesto hijau untuk Indonesia masa depan. Di mana pembangunan sering kali berbenturan dengan alam, inisiatif ini membuktikan keduanya bisa berjalan seiring. Bagi petani Kalimantan, ini harapan baru: dari lahan tandus ke kebun produktif, dari pasar lokal ke meja internasional. Saat bibit-bibit itu tumbuh, begitu pula mimpi Nusantara—hijau, adil, dan makmur.
Jika Anda petani atau pengusaha kopi, jangan lewatkan peluang ini. Hubungi Otorita IKN atau Unmul untuk bergabung. Kopi Liberika bukan hanya minuman; ia adalah warisan yang kita tanam hari ini untuk panen besok.







