![]() |
| Ilustrasi AI |
IKN - Di tengah hamparan hijau Kalimantan
Timur, berdiri sebuah ambisi besar bernama Ibu Kota Nusantara (IKN). Kota ini
dirancang sebagai simbol kemajuan baru Indonesia, pusat pemerintahan masa
depan, sekaligus representasi visi besar bangsa untuk keluar dari beban Jakarta
yang kian padat. Namun, di balik deretan gedung pemerintahan yang mulai
menjulang dan jalanan mulus yang terbentang, muncul sorotan tajam dari media
internasional. Surat kabar Inggris The Guardian melaporkan bahwa proyek
kebanggaan nasional ini kini menghadapi risiko besar: ancaman menjadi “kota
hantu” — megah secara fisik, tetapi hampa kehidupan.
Laporan tersebut menggambarkan suasana IKN yang jauh dari hiruk pikuk kota layaknya pusat pemerintahan. Bangunan-bangunan berdiri megah di tengah hutan, tetapi aktivitas manusia sangat minim. Hanya sebagian kecil pegawai negeri dan pekerja konstruksi yang menempati kawasan itu, sementara mayoritas area tampak lengang, seolah menunggu kehidupan yang belum juga datang. The Guardian mencatat bahwa hingga akhir 2025, jumlah penghuni di IKN baru sekitar 10 ribu orang, terdiri dari sekitar 2.000 aparatur sipil negara (ASN) dan 8.000 pekerja proyek. Jumlah itu sangat jauh dari target ambisius pemerintah yang mengharapkan 1,2 juta penduduk pada 2030. Di malam hari, kawasan yang seharusnya menjadi pusat administrasi negara berubah sunyi, dengan lampu-lampu jalan yang menyala namun tanpa lalu lintas dan aktivitas masyarakat.
Perlambatan ini semakin terasa ketika pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menyesuaikan alokasi anggaran negara untuk IKN. Jika pada tahun 2024 dana yang digelontorkan mencapai sekitar Rp 40 triliun, maka pada 2025 angkanya turun tajam menjadi sekitar Rp 15 triliun, dan diperkirakan menyusut lagi tahun depan. Pemerintah beralasan bahwa penyesuaian ini merupakan bentuk efisiensi, bukan penghentian proyek. Namun, bagi pengamat, pengurangan dana itu menunjukkan bahwa prioritas terhadap IKN mulai menurun. Sementara itu, investasi swasta yang diharapkan dapat menopang pembangunan juga belum menunjukkan realisasi signifikan. Banyak investor masih ragu menanamkan modal karena belum melihat jaminan keberlanjutan ekonomi di kota baru itu.
Kritik tak hanya datang dari luar negeri. Akademisi dan pengamat kebijakan publik dalam negeri juga menilai pembangunan IKN sedang berada di titik kritis. Dosen dari Universitas Mulawarman, misalnya, menilai proyek ini tampak seperti “ingin hidup, tetapi tidak mampu bernafas.” Maksudnya, proyek ini memang berdiri, tetapi tidak memiliki energi sosial dan ekonomi yang cukup untuk tumbuh. Pembangunan infrastruktur berjalan, namun kehidupan masyarakat—yang seharusnya menjadi jiwa kota—belum benar-benar hadir. Bahkan, beberapa warga lokal di Kecamatan Sepaku, lokasi utama pembangunan IKN, mengaku penghasilannya menurun karena aktivitas proyek tidak seramai tahun-tahun awal. Warung makan, toko kecil, dan penyedia jasa yang dulu ramai kini sepi pembeli karena sebagian besar pekerja konstruksi telah berpindah tugas.
Selain permasalahan ekonomi dan sosial, proyek IKN juga menghadapi tekanan dari isu lingkungan. Laporan The Guardian dan beberapa media Asia menyebutkan adanya risiko kerusakan ekologis akibat pembangunan masif di kawasan hutan tropis Kalimantan Timur. Data dari sejumlah organisasi lingkungan menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur IKN telah menyebabkan hilangnya sekitar 2.000 hektar hutan mangrove dan hutan sekunder di sekitar area inti. Padahal, kawasan ini merupakan habitat penting bagi satwa endemik seperti bekantan dan orangutan. Aktivis lingkungan menilai pembangunan yang terlalu cepat tanpa kajian ekologis mendalam dapat mengancam keanekaragaman hayati dan mengganggu keseimbangan ekosistem.
Kritik lain datang dari masyarakat adat yang tinggal di sekitar lokasi proyek. Mereka merasa belum sepenuhnya dilibatkan dalam proses perencanaan dan pembangunan IKN. Beberapa komunitas adat menyebut adanya pengalihan lahan tanpa konsultasi yang memadai, bahkan ada yang mengaku kehilangan akses terhadap tanah adat yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka. Bagi sebagian masyarakat lokal, pembangunan IKN memang membawa harapan baru, tetapi juga kekhawatiran: apakah mereka akan menjadi bagian dari kemajuan itu, atau justru tersisih oleh proyek besar yang berjalan terlalu cepat.
Pemerintah melalui Kepala Otorita IKN, Basuki Hadimuljono, menepis anggapan bahwa proyek ini akan menjadi kota hantu. Menurutnya, proyek tetap berjalan sesuai rencana, meskipun dengan langkah yang lebih terukur dan realistis. Ia menegaskan bahwa tidak ada pemotongan dana secara mendadak, melainkan penyesuaian agar pembangunan berjalan efisien dan fokus pada prioritas utama. “Komitmen politik tetap ada, dan pembangunan terus berlanjut. Tidak ada alasan untuk pesimis,” ujarnya menanggapi pemberitaan media internasional. Basuki juga menyebut bahwa pemerintah telah menyiapkan skema pembangunan bertahap hingga 2045, di mana fokus awal adalah membangun infrastruktur dasar dan fasilitas pemerintahan sebelum mengembangkan kawasan hunian dan ekonomi.
Namun, skeptisisme publik sulit dihindari. Sebuah kota tidak bisa hidup hanya dengan infrastruktur megah. Ia membutuhkan manusia, interaksi, dan kehidupan ekonomi yang berdenyut. Jalan lebar tanpa kendaraan, gedung tinggi tanpa penghuni, dan taman hijau tanpa pengunjung hanyalah simbol kosong tanpa makna sosial. Para pengamat mengingatkan bahwa banyak kota baru di dunia, seperti Naypyidaw di Myanmar atau Brasilia di Brasil pada masa awalnya, juga sempat mengalami fase “kota hantu” karena terlalu fokus pada pembangunan fisik dan mengabaikan dinamika sosial. Indonesia diharapkan belajar dari pengalaman itu agar IKN tidak mengalami nasib serupa.
Pemerintah sebenarnya memiliki visi besar: menjadikan IKN sebagai kota pintar yang hijau, inklusif, dan berkelanjutan. Hanya 25 persen dari total 256.000 hektar lahan yang akan dikembangkan menjadi kawasan kota, sementara sisanya dijaga sebagai hutan konservasi dan area hijau. Namun, agar visi itu terwujud, diperlukan strategi pembangunan yang lebih menyentuh aspek manusia. Program pemindahan ASN harus diikuti dengan dukungan bagi keluarga mereka, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai, serta penciptaan ekosistem ekonomi agar penduduk memiliki alasan kuat untuk menetap. Tanpa itu, IKN akan berisiko menjadi proyek monumental yang kehilangan ruhnya.
Di sisi lain, kehadiran kritik dari media asing seperti The Guardian seharusnya menjadi cermin, bukan celaan. Sorotan dunia internasional menunjukkan bahwa proyek IKN mendapat perhatian besar, dan itu berarti Indonesia memiliki kesempatan untuk menunjukkan keberhasilannya. Jika pemerintah mampu menyeimbangkan antara ambisi dan realitas, antara beton dan kehidupan, antara pembangunan dan lingkungan, maka IKN bisa menjadi contoh kota baru yang tumbuh dengan jiwa dan visi.
Kini, tantangan bagi IKN bukan lagi sekadar membangun gedung dan jalan, tetapi menghidupkan sebuah kota — menjadikannya tempat yang benar-benar berfungsi, bukan hanya berdiri. Di antara pepohonan Kalimantan yang rimbun, IKN masih menunggu nafas kehidupan: penduduk yang menetap, anak-anak yang bersekolah, pasar yang ramai, dan interaksi sosial yang tumbuh alami. Hanya dengan itu, IKN bisa lepas dari bayang-bayang “kota hantu” dan menjelma menjadi kota masa depan yang sesungguhnya.







