![]() |
| Ilustrasi AI |
Kalsel – Di tengah tekanan fiskal akibat
penurunan dana transfer pusat ke daerah (TKD) yang mencapai hingga 50 persen,
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) menegaskan komitmennya untuk
tidak menaikkan pajak daerah. Gubernur Kalsel, Muhidin, memastikan kebijakan
ini diambil untuk menjaga beban masyarakat tetap ringan, sekaligus memastikan
kesejahteraan warga di tengah tantangan ekonomi yang kian kompleks. Langkah ini
menjadi sinyal kuat bahwa Pemprov Kalsel berupaya menjaga stabilitas sosial dan
ekonomi, meskipun anggaran daerah menghadapi keterbatasan signifikan pada tahun
2025.
Berbicara di Banjarbaru pada Jumat, 3 Oktober 2025, Muhidin
menegaskan bahwa meskipun dana transfer dari pemerintah pusat berkurang
drastis, kebijakan menaikkan pajak bukanlah solusi yang diambil. “Kami pastikan
tidak akan ada kenaikan pajak. Masyarakat tidak boleh terbebani lebih berat di
saat seperti ini,” ujarnya dengan tegas. Sebaliknya, Pemprov Kalsel justru
fokus memberikan insentif dan stimulus ekonomi untuk meringankan tekanan
finansial warga. Langkah ini mencerminkan pendekatan yang berorientasi pada
kesejahteraan, dengan menempatkan kepentingan masyarakat sebagai prioritas
utama di tengah dinamika fiskal yang menantang.
Penurunan TKD, yang meliputi Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK), dan dana bagi hasil, berdampak signifikan pada 13
kabupaten/kota di Kalsel. Berdasarkan data yang diungkapkan Muhidin, Kabupaten
Tanah Bumbu menjadi wilayah yang paling terpukul dengan penurunan anggaran
hingga 49 persen, diikuti oleh kabupaten lain dengan angka yang bervariasi.
Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), misalnya, mengalami penurunan terkecil
sebesar 11 persen. Kondisi ini memaksa pemerintah daerah untuk melakukan penyesuaian
strategis dalam pengelolaan anggaran, tanpa mengorbankan program-program yang
bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat. “Kami harus cerdas mengatur
ulang prioritas anggaran yang tersedia agar tetap bisa melayani publik secara
optimal,” tambah Muhidin.
Untuk mengatasi keterbatasan ini, Gubernur Muhidin
menginstruksikan seluruh bupati dan wali kota di Kalsel untuk memfokuskan
anggaran pada sektor-sektor yang memiliki dampak langsung bagi warga, seperti
kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dasar. Ia menekankan pentingnya
efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan dana yang ada, dengan menghindari
proyek-proyek yang bersifat seremonial atau kurang esensial. “Anggaran harus
benar-benar menyentuh kepentingan rakyat, seperti akses air bersih, jalan desa,
atau layanan kesehatan yang terjangkau,” katanya. Pendekatan ini sejalan dengan
visi Kalsel sebagai provinsi yang inklusif, di mana pembangunan tidak hanya
terpusat di kota besar seperti Banjarmasin dan Banjarbaru, tetapi juga
menjangkau wilayah pedalaman seperti Barito Kuala dan Hulu Sungai Utara.
Selain itu, Pemprov Kalsel juga mendorong inovasi dalam
peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) tanpa membebani masyarakat. Salah satu
strateginya adalah mengoptimalkan potensi ekonomi lokal, seperti sektor
pariwisata dan pertambangan yang selama ini menjadi tulang punggung
perekonomian Kalsel. Kabupaten Tanah Bumbu, misalnya, dikenal sebagai pusat
pertambangan batu bara, sementara Banjarbaru memiliki potensi wisata religi dan
budaya yang terus digenjot. “Kami sedang mendorong digitalisasi pajak daerah
dan retribusi untuk meningkatkan efisiensi, sekaligus menjalin kerja sama
dengan sektor swasta agar PAD bisa naik tanpa menekan warga,” jelas Muhidin.
Langkah ini diharapkan dapat mengimbangi penurunan TKD tanpa harus menambah
beban pajak baru.
Konteks penurunan TKD ini sendiri tidak terlepas dari
dinamika anggaran nasional. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, alokasi TKD
pada APBN 2025 mengalami penyesuaian akibat prioritas belanja negara untuk
proyek strategis nasional, termasuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di
Kalimantan Timur. Meski demikian, pemerintah pusat menegaskan bahwa penurunan
ini akan diimbangi dengan peningkatan kapasitas fiskal daerah melalui insentif
dan otonomi khusus. Di Kalsel, tantangan ini diperparah oleh kebutuhan mendesak
untuk mendanai program pemulihan pasca-banjir yang melanda sejumlah wilayah
pada awal 2025, serta upaya mitigasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang
masih menjadi ancaman musiman.
Dalam hal ini, Muhidin juga mengapresiasi kerja sama
antar-kabupaten/kota dalam menghadapi krisis fiskal. Forum komunikasi kepala
daerah di Kalsel telah menggelar rapat koordinasi pada September 2025 untuk
menyusun strategi bersama, termasuk berbagi praktik terbaik dalam pengelolaan
anggaran. Kabupaten Banjar, misalnya, berhasil meningkatkan PAD melalui
optimalisasi retribusi pasar tradisional, sementara Kota Banjarmasin fokus pada
pengembangan ekonomi kreatif berbasis teknologi. “Kita harus saling belajar dan
mendukung. Jika satu daerah kuat, itu akan berdampak positif pada seluruh
provinsi,” ujar Muhidin, menegaskan pentingnya solidaritas regional.
Secara lebih luas, kebijakan ini mencerminkan sensitivitas
Pemprov Kalsel terhadap kondisi sosial masyarakat. Data Badan Pusat Statistik
(BPS) Kalsel menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di provinsi ini masih berada
di angka 4,5 persen pada 2024, dengan sebagian besar warga bergantung pada
sektor informal seperti pertanian dan perdagangan. Kenaikan pajak, meskipun
bisa menjadi solusi cepat untuk menutup defisit anggaran, berisiko memicu
ketidakpuasan sosial dan memperlambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Oleh
karena itu, insentif seperti pembebasan pajak kendaraan untuk petani atau
subsidi listrik bagi UMKM menjadi bagian dari paket kebijakan yang digulirkan
Pemprov Kalsel sejak awal 2025.
Ke depan, Muhidin optimistis bahwa Kalsel mampu melewati
tantangan ini dengan pendekatan yang berimbang. Ia menekankan bahwa komunikasi
dengan pemerintah pusat akan terus dijalin untuk memastikan alokasi dana yang
adil, sambil mendorong kabupaten/kota untuk lebih kreatif dalam mencari sumber
pendapatan baru. “Kesejahteraan masyarakat adalah tujuan utama. Dengan anggaran
yang terbatas, kita harus lebih pintar memilih program yang benar-benar
berdampak,” tuturnya. Langkah ini juga didukung oleh DPRD Kalsel, yang telah
membentuk tim khusus untuk mengawasi realokasi anggaran dan memastikan
transparansi dalam penggunaan dana publik.
Kebijakan ini bukan tanpa risiko. Penurunan TKD yang
signifikan berpotensi memperlambat sejumlah proyek infrastruktur, seperti
pembangunan jalan lintas kabupaten di Tapin atau revitalisasi pelabuhan di
Kotabaru. Namun, dengan fokus pada efisiensi dan prioritas yang jelas, Kalsel
berpeluang menjaga stabilitas fiskalnya tanpa mengorbankan kesejahteraan warga.
Komitmen Muhidin untuk tidak menaikkan pajak menjadi angin segar bagi
masyarakat, sekaligus tantangan bagi pemerintah daerah untuk lebih inovatif dalam
menghadapi keterbatasan anggaran. Di tengah dinamika ini, Kalsel menunjukkan
bahwa kepemimpinan yang berpihak pada rakyat tetap menjadi kunci untuk
mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.







