![]() |
| Ilustrasi AI |
IKN - Saat pertama kali diumumkan sebagai
calon Ibu Kota Negara baru, Ibu Kota Nusantara (IKN) sempat menjadi magnet bagi
ribuan wisatawan. Rasa penasaran terhadap wajah baru pusat pemerintahan
Indonesia membuat kawasan di Kalimantan Timur itu ramai dikunjungi, baik oleh
wisatawan domestik maupun asing. Mereka datang untuk melihat langsung
pembangunan kota yang digadang-gadang akan menjadi simbol kemajuan Indonesia
masa depan. Namun, euforia itu ternyata tidak bertahan lama. Kini, IKN justru
dilaporkan mulai sepi pengunjung. Sejumlah pengamat menilai, kota baru tersebut
belum memiliki daya tarik wisata yang kuat sehingga sulit mempertahankan
antusiasme masyarakat.
Profesor Azril Azhari, pakar pariwisata yang juga Ketua Forum Akademisi Pariwisata Indonesia, menyebut bahwa IKN masih belum memiliki tiga elemen utama yang menentukan keberhasilan sebuah destinasi wisata: keunikan, keotentikan, dan keeksotikan. Dalam wawancaranya dengan detikTravel, Azril mengatakan bahwa pembangunan IKN terlalu berfokus pada aspek fisik dan administratif, namun belum menyentuh sisi emosional yang mampu menarik wisatawan. “Keunikannya nggak ada, keotentikan juga belum tampak, dan eksotiknya pun belum terasa. Orang datang mungkin hanya karena penasaran, tapi tidak ada alasan untuk kembali,” ujarnya tegas.
Menurut Azril, daya tarik wisata sejati bukan hanya soal bangunan megah atau taman hijau yang rapi. Kota wisata harus memiliki “jiwa” — karakter yang membedakannya dari tempat lain. Dalam konteks IKN, kota ini justru tampak kehilangan identitas khas. Ia dibangun dengan konsep modern, canggih, dan berwawasan lingkungan, tetapi belum menunjukkan sisi budaya dan keaslian Kalimantan yang bisa membuat pengunjung terpesona. “Kalau mau menarik wisatawan, kota ini harus punya karakter yang kuat. Misalnya, menonjolkan warisan budaya lokal Dayak, atau menciptakan suasana yang membuat orang merasakan pengalaman khas Kalimantan,” tambahnya.
Fenomena sepinya wisatawan ini sebenarnya sudah terlihat sejak beberapa bulan terakhir. Setelah gelombang kunjungan besar pada masa-masa awal pembangunan, angka wisatawan yang datang menurun drastis. Banyak dari mereka yang awalnya datang hanya untuk melihat proyek infrastruktur seperti Istana Negara, jalan utama, dan jembatan penghubung. Namun setelah rasa ingin tahu itu terjawab, tak banyak alasan untuk kembali. Infrastruktur pariwisata yang belum memadai—seperti penginapan, transportasi, dan fasilitas publik—menjadi faktor yang memperburuk situasi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa IKN belum siap menjadi destinasi wisata yang berkelanjutan. Banyak fasilitas masih dalam tahap pembangunan, dan sebagian besar kawasan belum bisa diakses dengan mudah. Jalan yang terbatas, minimnya pilihan kuliner, serta kurangnya atraksi wisata membuat pengunjung merasa bahwa IKN hanyalah proyek konstruksi besar tanpa kehidupan kota yang sesungguhnya. Beberapa turis bahkan menyebut kunjungan ke IKN seperti datang ke “daerah proyek”, bukan ke tempat wisata.
Padahal, potensi IKN sebenarnya sangat besar. Dengan lanskap alam Kalimantan yang indah, hutan tropis yang luas, dan keanekaragaman budaya lokal yang kaya, seharusnya kota ini bisa menjadi ikon ekowisata modern. Namun potensi tersebut belum dimanfaatkan sepenuhnya. Azril menilai, pemerintah perlu lebih berani menonjolkan sisi budaya dan alam Kalimantan, bukan sekadar membangun gedung pemerintahan futuristik. “Bayangkan kalau istana presiden dibuat dengan arsitektur khas Nusantara, dikombinasikan dengan elemen budaya Dayak. Itu pasti menarik, punya cerita, dan membuat orang ingin datang melihat. Tapi kalau semua gedungnya seragam, orang tidak akan merasa terpesona,” ujarnya.
Selain kurangnya keunikan, strategi promosi wisata juga dinilai belum efektif. Hingga kini, belum ada narasi kuat yang mengundang wisatawan untuk datang ke IKN selain rasa penasaran terhadap kota baru. Tidak ada ikon wisata yang benar-benar diingat publik seperti halnya Tugu Khatulistiwa di Pontianak atau Jembatan Mahakam di Samarinda. “Setiap kota besar di Indonesia punya landmark yang melekat di benak wisatawan. Kalau IKN ingin menjadi destinasi wisata, ia harus punya simbol yang kuat, yang membuat orang berkata ‘Aku harus ke sana,’” jelas Azril.
Kehadiran wisatawan bukan hanya penting untuk sektor pariwisata, tetapi juga untuk ekonomi lokal. Ketika jumlah pengunjung menurun, dampaknya langsung terasa bagi masyarakat sekitar yang bergantung pada aktivitas ekonomi turistik seperti warung makan, penginapan, transportasi lokal, dan produk kerajinan tangan. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata di IKN tidak bisa hanya dipandang sebagai pelengkap, melainkan komponen penting dalam membangun ekosistem kota yang hidup dan berdenyut.
Untuk menghidupkan kembali minat wisatawan, sejumlah langkah konkret perlu segera dilakukan. Pertama, pemerintah dapat menggandeng komunitas lokal dan pelaku budaya untuk menciptakan event tematik yang menonjolkan tradisi dan seni Kalimantan. Misalnya, festival budaya tahunan, pameran kerajinan Dayak modern, atau pertunjukan tari di ruang publik IKN. Kedua, mengembangkan wisata alam dan edukasi, seperti jalur trekking hutan tropis, taman botani Nusantara, atau wisata observasi satwa liar yang dikelola secara berkelanjutan. Ketiga, pemerintah perlu memperkuat akses transportasi dan infrastruktur pendukung, termasuk fasilitas ramah wisatawan seperti pusat informasi dan area kuliner khas.
Tak kalah penting, branding IKN sebagai destinasi wisata harus digarap secara profesional. Kota ini bisa dipromosikan sebagai “kota masa depan di jantung alam Indonesia”, tempat di mana teknologi, budaya, dan alam berpadu. Cerita tentang keberlanjutan dan inovasi bisa menjadi magnet, tetapi harus dikemas dengan pengalaman nyata, bukan hanya slogan. Wisatawan harus bisa merasakan bahwa IKN bukan sekadar kota pemerintahan, melainkan ruang hidup yang menyatu dengan lingkungan dan masyarakatnya.
Azril menegaskan, tanpa strategi yang menyentuh sisi emosional pengunjung, IKN hanya akan menjadi “kota besar tanpa kehidupan”. Ia mencontohkan banyak kota modern di dunia yang gagal menjadi destinasi wisata karena tidak punya identitas yang jelas. “Kota modern bisa dibangun di mana saja. Tapi kota yang punya jiwa, yang membuat orang ingin datang lagi, itu langka. Kalau IKN mau menjadi kota berkelas dunia, ia harus punya ruh yang bisa dirasakan,” katanya menutup pembicaraan.
Kini, ketika geliat pembangunan fisik terus berlanjut, IKN dihadapkan pada tantangan lain: bagaimana membuat kota ini hidup di mata publik. Sepinya wisatawan bukan hanya masalah ekonomi, melainkan tanda bahwa kota ini belum berhasil membangun koneksi emosional dengan masyarakat. Jika tidak segera diatasi, IKN berisiko menjadi kota administratif yang megah tetapi hampa makna — tempat orang bekerja, tapi tidak tempat orang ingin berkunjung.







