Tambahan Anggaran Otorita IKN Ditolak DPR, Target Pembangunan Tahap Dua Terancam Mundur
![]() |
Ilustrasi AI |
Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) kembali menghadapi tantangan serius setelah usulan tambahan anggaran dari Otorita IKN sebesar Rp14,92 triliun ditolak oleh Badan Anggaran (Banggar) DPR RI. Penolakan ini disampaikan dalam rapat kerja Komisi II DPR bersama mitra kerja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin, 16 September 2025. Kepala Otorita IKN, Basuki Hadimuljono, menyatakan bahwa keputusan tersebut akan berdampak langsung terhadap kelanjutan pembangunan tahap kedua IKN, khususnya pengembangan kawasan legislatif dan yudikatif yang sebelumnya ditargetkan rampung pada tahun 2028.
Dalam rapat tersebut, Komisi II DPR RI menyampaikan bahwa
seluruh usulan tambahan anggaran dari mitra kerja, termasuk Otorita IKN, tidak
disetujui oleh Banggar DPR. Penolakan ini juga berlaku bagi Kementerian PANRB,
Badan Kepegawaian Negara (BKN), Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI),
Ombudsman, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin, menyebutkan bahwa surat
resmi dari Banggar telah diterima dan menyatakan bahwa tidak ada tambahan
anggaran yang disetujui untuk tahun anggaran 2026. Dengan demikian, seluruh
mitra kerja Komisi II harus menyesuaikan rencana kerja mereka dengan anggaran
yang telah disetujui sebelumnya.
Basuki Hadimuljono menjelaskan bahwa tambahan anggaran yang
diajukan Otorita IKN mencakup tiga kategori utama. Pertama, pembangunan
lanjutan senilai Rp4,73 triliun yang mencakup gedung dan kawasan lembaga DPR,
DPD, MPR, ruang sidang paripurna, Mahkamah Agung, Plaza Keadilan, Mahkamah
Konstitusi, Komisi Yudisial, masjid, serta jalan kawasan kompleks legislatif
dan yudikatif di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) 1A. Kedua, pembangunan
baru senilai Rp9,59 triliun yang meliputi rumah tapak dan hunian vertikal bagi
legislatif, yudikatif, aparatur sipil negara (ASN), dan masyarakat umum, serta
peningkatan jalan, sistem penyediaan air minum (SPAM), prasarana sumber daya
air dan irigasi, serta infrastruktur pendukung aksesibilitas dan utilitas
kawasan. Ketiga, pengelolaan operasional senilai Rp600 miliar untuk
pemeliharaan Kantor Presiden, Istana Negara, kantor-kantor Kemenko, pengelolaan
air minum, jalan dan terowongan utilitas (MUT), ruang terbuka hijau, embung,
sanitasi, dan sistem persampahan.
Menurut Basuki, tanpa tambahan anggaran tersebut, sejumlah
proyek yang telah dirancang dalam skema tahun jamak (multi-year contract/MYC)
tidak dapat dilanjutkan sesuai jadwal. Ia menyebut bahwa pembangunan tahap
kedua, yang mencakup ekosistem legislatif dan yudikatif, sangat bergantung pada
alokasi anggaran tambahan tersebut. Jika tidak ada solusi pembiayaan
alternatif, target penyelesaian pada 2028 kemungkinan besar akan mundur. Hal
ini berpotensi mengganggu agenda pemindahan fungsi pemerintahan secara penuh ke
IKN, sebagaimana telah dirancang dalam peta jalan pembangunan ibu kota baru.
Penolakan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap kelangsungan
proyek IKN yang telah ditetapkan sebagai proyek strategis nasional. Pemerintah
sebelumnya telah menetapkan IKN sebagai pusat pemerintahan baru yang mengusung
konsep kota pintar dan berkelanjutan. Namun, dengan terbatasnya anggaran,
pelaksanaan proyek-proyek utama seperti gedung parlemen dan lembaga yudikatif
bisa tertunda, yang pada akhirnya memengaruhi keseluruhan fungsi pemerintahan
di ibu kota baru. Selain itu, keterlambatan pembangunan juga dapat berdampak
pada persepsi publik dan investor terhadap komitmen pemerintah dalam mewujudkan
IKN sebagai simbol kemajuan dan reformasi tata kelola pemerintahan.
Di sisi lain, DPR menegaskan bahwa penolakan tambahan
anggaran bukan berarti menolak pembangunan IKN secara keseluruhan. Komisi II
menyatakan bahwa anggaran yang telah disetujui sebelumnya tetap berlaku dan
dapat digunakan sesuai rencana. Namun, untuk tambahan dana, pemerintah diminta
melakukan penyesuaian dan pengkajian ulang, termasuk mempertimbangkan kondisi
fiskal nasional dan prioritas belanja negara. Dalam konteks ini, efisiensi dan
ketepatan penggunaan anggaran menjadi sorotan utama, mengingat tekanan terhadap
APBN yang semakin besar di tengah berbagai kebutuhan pembangunan nasional
lainnya.
Dalam menghadapi situasi ini, Otorita IKN perlu merumuskan
strategi baru untuk menjaga kelangsungan pembangunan. Salah satu opsi yang
dapat dipertimbangkan adalah skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU)
atau pembiayaan swasta. Pendekatan ini memungkinkan proyek tetap berjalan meski
tanpa dukungan penuh dari APBN. Selain itu, Otorita IKN juga perlu memperkuat
koordinasi lintas kementerian dan lembaga untuk memastikan bahwa proyek-proyek
prioritas tetap mendapat dukungan teknis dan administratif. Dalam jangka
pendek, penyesuaian terhadap rencana kerja dan prioritas pembangunan menjadi
langkah yang tak terhindarkan.
Basuki juga menekankan pentingnya transparansi dan
komunikasi publik dalam menyikapi dinamika anggaran ini. Ia berharap masyarakat
tetap mendukung visi jangka panjang pembangunan IKN, meski terdapat penyesuaian
dalam pelaksanaan proyek. Menurutnya, tantangan anggaran bukan hal baru dalam
proyek infrastruktur berskala besar, dan pemerintah harus mampu merespons
dengan solusi yang realistis dan terukur. Ia juga menyebut bahwa Otorita IKN
akan terus berupaya mencari sumber pembiayaan alternatif dan menyusun ulang
skema pelaksanaan proyek agar tetap sejalan dengan target pembangunan nasional.
Secara keseluruhan, penolakan tambahan anggaran oleh DPR
menjadi titik penting dalam perjalanan pembangunan IKN. Meski bukan akhir dari
proyek, keputusan ini menuntut penyesuaian strategi dan penguatan koordinasi
antar lembaga. Otorita IKN harus mampu merespons tantangan ini dengan
pendekatan yang adaptif, agar target pembangunan tetap dapat dicapai dan IKN
dapat berfungsi sebagai pusat pemerintahan yang modern dan efisien. Jika tidak,
keterlambatan pembangunan tahap kedua bisa berdampak pada keseluruhan agenda
pemindahan ibu kota dan pencapaian visi jangka panjang yang telah ditetapkan
pemerintah.
Dalam konteks yang lebih luas, dinamika ini mencerminkan
kompleksitas pembangunan ibu kota baru yang tidak hanya bergantung pada aspek
teknis dan fisik, tetapi juga pada dukungan politik, fiskal, dan kelembagaan.
Keberhasilan IKN sebagai proyek strategis nasional sangat ditentukan oleh
kemampuan pemerintah dalam mengelola sumber daya, membangun konsensus, dan
menjaga kepercayaan publik. Oleh karena itu, langkah-langkah lanjutan yang
diambil oleh Otorita IKN dan pemerintah pusat akan menjadi penentu arah pembangunan
IKN dalam beberapa tahun ke depan.
Dengan tantangan yang ada, pembangunan IKN memasuki fase
yang menuntut ketahanan institusional dan fleksibilitas kebijakan. Penyesuaian
terhadap kondisi anggaran harus dilakukan tanpa mengorbankan kualitas dan
integritas proyek. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap keputusan yang
diambil tetap berorientasi pada kepentingan jangka panjang, dan bahwa IKN tetap
menjadi representasi dari cita-cita pembangunan nasional yang inklusif,
berkelanjutan, dan berdaya saing global.