Modal Rp 50 Miliar untuk PT MMP: Sorotan DPRD Kaltim dan Transparansi
![]() |
Ilustrasi AI |
Di penghujung sidang paripurna perubahan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2025, suasana yang semula tenang mendadak berubah ketika Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Timur, Sabaruddin Panrecalle, melayangkan interupsi yang menggugah perhatian. Politikus dari Partai Gerindra itu menyuarakan kegelisahan yang telah lama mengendap di balik susunan anggaran yang baru saja disepakati bersama Pemerintah Provinsi Kaltim. Sorotan utamanya tertuju pada penyertaan modal tambahan sebesar Rp 50 miliar kepada PT Migas Mandiri Pratama (MMP), sebuah badan usaha milik daerah yang bergerak di sektor energi.
Sabaruddin tidak serta-merta menolak, namun ia menegaskan
bahwa Fraksi Gerindra belum sepenuhnya menyetujui alokasi dana tersebut.
Menurutnya, dukungan terhadap kebijakan pemerintah adalah hal yang lumrah dalam
dinamika legislatif, tetapi kehati-hatian tetap harus menjadi prinsip utama,
terlebih ketika menyangkut dana publik dalam jumlah besar. Ia mengingatkan
bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memberikan arahan agar
penyusunan anggaran dilakukan secara akrual, dengan transparansi dan akuntabilitas
sebagai fondasi utama. Karena itu, ia meminta agar penyertaan modal tersebut
tidak langsung disahkan menjadi peraturan daerah, melainkan dievaluasi secara
mendalam oleh komisi terkait.
Kekhawatiran Sabaruddin bukan tanpa dasar. Ia mempertanyakan
kejelasan penggunaan dana tersebut, serta studi kelayakan yang seharusnya
menjadi landasan utama dalam pemberian modal. “Hingga saat ini kita belum tahu
modal itu dipakai untuk apa, bagaimana studi kelayakan yang menjadi dasar modal
diberikan. Semua harus transparan, kompatibel, agar bisa
dipertanggungjawabkan,” tegasnya. Pernyataan ini mencerminkan keresahan yang
lebih luas di kalangan legislatif, terutama terkait potensi risiko hukum yang
bisa menyeret anggota dewan jika alokasi dana tersebut bermasalah di kemudian
hari.
Sebagai contoh, Sabaruddin mengangkat kasus hibah Desain
Besar Olahraga Nasional (DBON) yang sempat menyeret sejumlah anggota badan
anggaran DPRD Kaltim ke Kejaksaan Tinggi. Meski hanya dimintai keterangan,
pengalaman tersebut menjadi pengingat bahwa setiap keputusan anggaran harus
dilandasi oleh prinsip kehati-hatian dan dokumentasi yang kuat. Ia tidak ingin
kejadian serupa terulang, apalagi jika menyangkut dana sebesar Rp 50 miliar
yang dialokasikan untuk entitas yang masih menyisakan banyak tanda tanya.
Menanggapi interupsi tersebut, Wakil Gubernur Kaltim, Seno
Aji, menyatakan dukungannya terhadap fungsi pengawasan DPRD. Ia menegaskan
bahwa setiap rupiah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memang
harus berada dalam radar pengawasan dewan. “Silakan dan itu memang tugas dewan.
Pemerintah tentu menghormati,” ujarnya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa
eksekutif tidak menutup diri terhadap kritik, namun tetap berharap proses
evaluasi berjalan konstruktif.
Seno juga mengakui bahwa PT MMP memang menghadapi sejumlah
persoalan yang belum terselesaikan. Salah satunya adalah piutang yang masih
tertunggak, sebagaimana tercatat dalam temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Perwakilan Kaltim. Pemerintah telah menempuh berbagai langkah untuk menagih
piutang tersebut, baik melalui jalur litigasi maupun non-litigasi, dengan
bantuan Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Tinggi Kaltim. Namun,
hasilnya belum sepenuhnya memuaskan, dan hal ini menambah kompleksitas dalam
pengambilan keputusan terkait penyertaan modal.
Selain piutang, MMP juga belum menyetorkan sebagian dividen
ke kas daerah, dengan nilai mencapai sekitar Rp 26,39 miliar. Akar persoalan
ini, menurut Seno, terletak pada mekanisme Participating Interest (PI), yakni
pembagian dana dari pengelolaan blok migas pada periode 2023–2024 yang masih
tertahan di Pertamina. Nilainya diperkirakan mencapai Rp 100 miliar, namun dana
tersebut belum bisa dicairkan karena ada kewajiban pajak yang harus
diselesaikan terlebih dahulu. Pemerintah berencana mengirim surat resmi kepada
Pertamina untuk mempertanyakan mekanisme tersebut dan mencari solusi agar dana
bisa segera masuk ke kas daerah.
Situasi ini menempatkan DPRD dan Pemprov Kaltim dalam posisi
yang rumit. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk memperkuat peran BUMD dalam
pengelolaan sumber daya energi daerah. Di sisi lain, ada tuntutan transparansi
dan akuntabilitas yang tidak bisa diabaikan. Penyertaan modal bukan sekadar
soal angka, tetapi menyangkut kepercayaan publik dan integritas institusi.
Tanpa studi kelayakan yang jelas dan laporan keuangan yang dapat
dipertanggungjawabkan, alokasi dana sebesar Rp 50 miliar bisa menjadi bumerang
politik dan hukum.
Dalam konteks ini, interupsi Sabaruddin bukan hanya kritik
terhadap satu kebijakan, tetapi juga refleksi atas kegelisahan yang lebih luas
mengenai tata kelola keuangan daerah. Ia mengajak seluruh pihak untuk tidak
tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, dan memastikan bahwa setiap langkah
telah melalui proses evaluasi yang komprehensif. Pemerintah daerah, sebagai
pemegang kendali eksekutif, diharapkan mampu memberikan penjelasan yang rinci
dan terbuka, agar tidak menimbulkan spekulasi yang merugikan.
Sementara itu, DPRD Kaltim dituntut untuk memainkan peran
pengawasan secara aktif dan independen. Mereka harus berani mempertanyakan,
menelusuri, dan menolak jika ada kebijakan yang tidak memenuhi standar
transparansi dan akuntabilitas. Dalam sistem demokrasi, fungsi check and
balance bukan sekadar formalitas, tetapi mekanisme penting untuk menjaga
integritas pemerintahan.
Kasus PT MMP ini bisa menjadi momentum untuk memperbaiki
tata kelola BUMD di Kaltim. Pemerintah dan DPRD perlu duduk bersama, menyusun
kerangka kerja yang jelas, dan memastikan bahwa setiap penyertaan modal
didasarkan pada analisis yang mendalam. Studi kelayakan harus menjadi dokumen
wajib, bukan sekadar formalitas. Laporan keuangan harus diaudit secara
independen, dan hasilnya dipublikasikan secara terbuka. Hanya dengan cara ini,
kepercayaan publik bisa dibangun, dan potensi konflik hukum bisa dihindari.
Di tengah dinamika politik dan birokrasi, publik berharap
agar dana daerah digunakan secara bijak dan bertanggung jawab. Rp 50 miliar
bukan angka kecil, dan dampaknya bisa sangat besar jika dikelola dengan baik.
Namun, jika disalurkan tanpa dasar yang kuat, dana tersebut bisa menjadi sumber
masalah yang berkepanjangan. Oleh karena itu, transparansi, akuntabilitas, dan
kehati-hatian harus menjadi prinsip utama dalam setiap keputusan anggaran. Dan
DPRD Kaltim, bersama Pemprov, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan
hal itu terwujud.