Menjaga Warisan di Era Digital: Raperda Pemajuan Kebudayaan Kalbar sebagai Tameng Identitas
![]() |
Ilustrasi AI |
PONTIANAK — Di tengah arus deras digitalisasi dan
globalisasi yang mengubah cara hidup masyarakat secara drastis, Pemerintah
Provinsi Kalimantan Barat mengambil langkah strategis untuk melindungi warisan
budaya lokal melalui pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pemajuan
Kebudayaan. Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan, menegaskan
bahwa regulasi ini bukan sekadar formalitas, melainkan tameng penting agar
identitas budaya masyarakat Kalbar tidak tergerus zaman.
Dalam rapat paripurna DPRD Kalbar yang digelar pada 16
September 2025, Krisantus menyampaikan urgensi Raperda tersebut dengan nada
tegas dan penuh keprihatinan. “Di zaman yang serba cepat dan digital ini, kalau
kita tidak jaga budaya, identitas kita sebagai bangsa, sebagai komunitas, akan
hilang. Bisa-bisa kita punah sebagai entitas budaya di dunia ini,” ujarnya
seusai sidang paripurna.
Kalimantan Barat dikenal sebagai miniatur Indonesia, dengan
keberagaman etnis dan budaya yang luar biasa. Terdapat 24 suku asli yang
tersebar di berbagai wilayah, ditambah komunitas pendatang dari Jawa, Sunda,
Sumatera, hingga Papua yang telah lama menetap dan berkontribusi dalam
kehidupan sosial Kalbar. Kekayaan budaya ini mencakup bahasa, adat istiadat,
seni pertunjukan, kuliner, hingga sistem pengetahuan lokal yang diwariskan
lintas generasi.
Krisantus menekankan bahwa seluruh komunitas, tanpa
terkecuali, harus didorong untuk menggali, melestarikan, dan menampilkan
budayanya masing-masing. “Orang Papua di Kalbar silakan tampilkan budaya Papua,
orang Jawa lestarikan budaya Jawanya, begitu juga Sunda, Dayak, Melayu, dan
lainnya. Ini kekayaan kita,” katanya.
Raperda Pemajuan Kebudayaan ini dirancang sebagai payung
hukum yang mengatur tata kelola pelestarian budaya dari tingkat kampung hingga
panggung nasional dan internasional. Regulasi ini akan menjadi panduan bagi
masyarakat dan pemerintah daerah dalam menelusuri, mengemas, menampilkan, dan
mempromosikan kekayaan budaya secara sistematis. “Tujuan akhirnya? Saya ingin
budaya Kalbar yang beragam ini bisa go nasional, bahkan mendunia,” tandas
Krisantus.
Lebih dari sekadar pelestarian, Raperda ini juga diharapkan
menjadi mesin penggerak ekonomi kreatif berbasis budaya. Dengan pengelolaan
yang tepat, warisan budaya lokal dapat menjadi sumber daya ekonomi yang
berkelanjutan, membuka peluang kerja, meningkatkan pariwisata, dan memperkuat
daya saing daerah. Dalam konteks ini, budaya tidak hanya dilihat sebagai
warisan, tetapi juga sebagai aset strategis pembangunan.
Kekhawatiran akan hilangnya identitas budaya di era digital
menjadi salah satu alasan utama di balik pengajuan Raperda ini. Krisantus
menyampaikan keprihatinannya bahwa generasi muda saat ini lebih mengenal budaya
melalui platform digital seperti YouTube dan TikTok, namun minim pengalaman
langsung terhadap tradisi leluhur mereka. “Jangan sampai anak cucu kita nanti
hanya tahu budaya lewat YouTube atau TikTok, tapi tidak pernah merasakan
langsung kekayaan budaya leluhurnya sendiri. Regulasi ini adalah langkah nyata
untuk mencegah itu,” tegasnya.
Dukungan terhadap Raperda ini juga datang dari kalangan
legislatif. Ketua Fraksi PAN DPRD Kalbar, Zulfydar Zaidar Mochtar, menyambut
positif usulan tersebut dan menyatakan kesiapan fraksinya untuk membahasnya
secara mendalam. Ia menilai bahwa regulasi ini sangat relevan dengan tantangan
zaman, di mana budaya lokal harus diperkuat agar tidak terpinggirkan oleh arus
budaya global.
Dalam implementasinya, Raperda ini akan melibatkan berbagai
pemangku kepentingan, mulai dari tokoh adat, seniman, akademisi, hingga
komunitas budaya lokal. Pemerintah daerah juga akan berperan aktif dalam
memfasilitasi kegiatan pelestarian budaya, termasuk penyediaan anggaran,
pelatihan, dan promosi. Di sisi lain, masyarakat diharapkan menjadi aktor utama
dalam menjaga dan mengembangkan budaya mereka sendiri.
Langkah Kalbar ini sejalan dengan kebijakan nasional yang
mendorong pemajuan kebudayaan sebagai bagian integral dari pembangunan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menjadi landasan
hukum yang mendukung inisiatif daerah seperti ini. Dengan adanya Raperda,
Kalbar menunjukkan komitmen nyata dalam mengintegrasikan nilai-nilai budaya ke
dalam kebijakan publik.
Dalam jangka panjang, regulasi ini diharapkan mampu
menciptakan ekosistem budaya yang inklusif dan berkelanjutan. Budaya tidak
hanya dilestarikan, tetapi juga dikembangkan sesuai dengan dinamika zaman.
Teknologi digital, alih-alih menjadi ancaman, dapat dimanfaatkan sebagai alat
untuk mendokumentasikan, mempromosikan, dan mengedukasi masyarakat tentang
kekayaan budaya lokal.
Raperda Pemajuan Kebudayaan Kalbar menjadi contoh bagaimana
daerah dapat merespons tantangan global dengan pendekatan lokal yang berbasis
nilai. Di tengah gempuran homogenisasi budaya, Kalbar memilih untuk memperkuat
identitasnya, bukan dengan menutup diri, tetapi dengan membuka ruang bagi semua
komunitas untuk tampil dan berkontribusi.
Jika disahkan, Raperda ini akan menjadi tonggak penting
dalam sejarah kebijakan kebudayaan Kalimantan Barat. Ia bukan hanya tentang
melestarikan masa lalu, tetapi juga tentang merancang masa depan yang berakar
pada nilai-nilai lokal. Di era digital yang serba cepat, langkah ini menjadi
pengingat bahwa identitas budaya adalah fondasi yang tak boleh diabaikan.