Mendidik di Era Kecerdasan Artifisial: MAFINDO Kalsel dan FISIP ULM Bangun Literasi Digital Guru
![]() |
Ilustrasi AI |
BANJARMASIN — Di tengah gelombang transformasi digital yang
semakin meluas ke berbagai sektor kehidupan, dunia pendidikan menghadapi
tantangan baru yang kompleks. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana para
pendidik, khususnya guru, dapat memahami dan mengadaptasi teknologi kecerdasan
artifisial (AI) secara kritis dan etis dalam proses pembelajaran. Menjawab
tantangan tersebut, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) Kalimantan
Selatan bersama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung
Mangkurat (FISIP ULM) menggelar kelas literasi digital bertema “Kecerdasan
Artifisial dan Pendidikan Kritis” yang diperuntukkan bagi para guru dari
berbagai jenjang pendidikan.
Kegiatan ini berlangsung pada pertengahan September 2025 dan
diikuti oleh puluhan guru dari wilayah Kalimantan Selatan. Tujuannya bukan
sekadar mengenalkan teknologi AI sebagai alat bantu pembelajaran, tetapi juga
membekali para guru dengan pemahaman mendalam tentang bagaimana AI bekerja,
bagaimana algoritma membentuk perilaku digital, serta bagaimana guru dapat
menjadi agen literasi digital yang kritis di tengah arus informasi yang semakin
kompleks dan sering kali menyesatkan.
Dalam sambutannya, perwakilan MAFINDO Kalsel menekankan
bahwa guru memiliki peran strategis sebagai penjaga gerbang literasi digital di
sekolah. Mereka bukan hanya bertugas menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga
membentuk cara berpikir siswa agar mampu memilah informasi, memahami konteks,
dan bersikap kritis terhadap konten digital yang mereka konsumsi setiap hari.
“Di era AI, guru harus lebih dari sekadar pengajar. Mereka harus menjadi
fasilitator literasi digital yang mampu memahami bagaimana teknologi bekerja
dan bagaimana dampaknya terhadap pola pikir generasi muda,” ujar salah satu
fasilitator dari MAFINDO.
Materi yang disampaikan dalam kelas ini mencakup pengenalan
dasar tentang kecerdasan artifisial, cara kerja algoritma, potensi dan risiko
teknologi dalam pendidikan, serta strategi mengenali dan menangkal hoaks yang
tersebar melalui media sosial dan platform digital. Para peserta diajak untuk
berdiskusi secara aktif mengenai bagaimana AI dapat digunakan secara produktif
dalam pembelajaran, misalnya melalui aplikasi pembelajaran adaptif, chatbot
edukatif, dan sistem evaluasi berbasis data. Namun, para fasilitator juga
mengingatkan bahwa AI bukanlah solusi mutlak. Tanpa pemahaman kritis, teknologi
justru bisa memperkuat bias, mempersempit ruang berpikir, dan memperburuk
ketimpangan akses.
Salah satu sesi yang paling menarik perhatian peserta adalah
simulasi bagaimana algoritma media sosial bekerja dalam menyaring dan
menyebarkan informasi. Guru diajak untuk melihat bagaimana preferensi pengguna,
interaksi, dan pola klik dapat membentuk “gelembung informasi” yang membuat
seseorang hanya terpapar pada konten yang sesuai dengan pandangan mereka, dan
menutup akses terhadap perspektif lain. Dalam konteks pendidikan, fenomena ini
sangat berbahaya karena dapat menghambat kemampuan berpikir kritis dan
memperkuat polarisasi di kalangan siswa.
Beberapa guru peserta menyampaikan bahwa selama ini mereka
hanya mengenal AI sebagai bagian dari tren teknologi, tanpa benar-benar
memahami implikasinya terhadap pembentukan karakter dan pola pikir siswa. “Saya
baru sadar bahwa AI bukan hanya soal aplikasi canggih, tapi juga soal bagaimana
kita mengajarkan nilai dan logika kepada anak-anak. Teknologi bisa membantu,
tapi juga bisa menyesatkan kalau kita tidak paham cara kerjanya,” ujar salah
satu guru peserta.
FISIP ULM, sebagai mitra akademik dalam kegiatan ini,
menegaskan komitmennya untuk terus mendorong kolaborasi antara dunia pendidikan
dan masyarakat sipil dalam membangun ekosistem literasi digital yang sehat.
Dekan FISIP ULM menyampaikan bahwa kampus tidak boleh menjadi menara gading,
melainkan harus aktif menjembatani pengetahuan akademik dengan kebutuhan
praktis di lapangan. “Literasi digital dan pemahaman AI harus menjadi bagian
dari kurikulum pendidikan guru. Kita tidak bisa membiarkan pendidik berjalan
sendiri di tengah kompleksitas teknologi,” tegasnya.
Kegiatan ini juga menjadi bagian dari kampanye nasional
MAFINDO untuk memperkuat ketahanan masyarakat terhadap hoaks dan manipulasi
informasi. Di era di mana AI dapat digunakan untuk menghasilkan konten palsu
secara masif—seperti deepfake, teks otomatis, dan manipulasi data—peran guru
sebagai agen literasi menjadi semakin penting. Mereka bukan hanya mengajarkan
pengetahuan, tetapi juga membentuk cara berpikir yang kritis dan etis.
Sebagai tindak lanjut dari kegiatan ini, MAFINDO Kalsel dan
FISIP ULM berencana mengembangkan modul pelatihan literasi AI untuk guru, yang
dapat diakses secara daring dan digunakan sebagai referensi di sekolah-sekolah.
Modul ini akan mencakup studi kasus, panduan etis, dan strategi pedagogis untuk
mengintegrasikan AI dalam pembelajaran tanpa kehilangan nilai-nilai
kemanusiaan. Dengan pendekatan yang inklusif dan berbasis kebutuhan lokal,
literasi AI di kalangan guru dapat menjadi fondasi penting dalam membangun
generasi yang tidak hanya cerdas secara digital, tetapi juga bijak dan
berintegritas.
Kegiatan ini mendapat apresiasi luas dari peserta dan
pemangku kepentingan pendidikan di Kalimantan Selatan. Banyak yang berharap
agar kelas serupa dapat diperluas ke daerah lain, termasuk wilayah pedesaan
yang masih minim akses terhadap pelatihan teknologi. Guru-guru di daerah
terpencil sering kali menjadi satu-satunya sumber informasi bagi siswa,
sehingga membekali mereka dengan literasi digital dan pemahaman AI menjadi
sangat krusial.
Dalam jangka panjang, inisiatif seperti ini diharapkan dapat
mendorong perubahan paradigma dalam dunia pendidikan. Teknologi tidak lagi
dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai alat yang harus dipahami dan
dikendalikan secara bijak. Guru sebagai aktor utama pendidikan harus diberi
ruang dan dukungan untuk terus belajar, beradaptasi, dan mengembangkan metode
pengajaran yang relevan dengan zaman.
Kelas literasi digital yang digagas oleh MAFINDO Kalsel dan
FISIP ULM ini menjadi contoh nyata bagaimana kolaborasi antara masyarakat sipil
dan institusi pendidikan dapat menghasilkan dampak positif yang berkelanjutan.
Di tengah tantangan global seperti disinformasi, polarisasi, dan ketimpangan
akses teknologi, pendidikan kritis berbasis literasi digital menjadi kunci
untuk membangun masyarakat yang tangguh dan berdaya.
Dengan semangat kolaboratif dan visi jangka panjang,
kegiatan ini bukan hanya menjadi ruang belajar, tetapi juga menjadi titik tolak
perubahan dalam cara kita memahami dan mengelola teknologi dalam pendidikan. Di
era kecerdasan artifisial, guru bukan hanya pengajar, tetapi juga penjaga
nilai, penuntun etika, dan pembentuk masa depan yang lebih cerdas dan
manusiawi.