Kalimantan Barat Simpan Potensi 2,9 Juta Hektar Hutan Adat: Dari Pengakuan Terbatas hingga Harapan Besar Masyarakat Adat
Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) kembali menjadi sorotan nasional sebagai provinsi dengan potensi hutan adat terbesar di Indonesia. Berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), daerah ini telah mendapatkan pengakuan resmi untuk sekitar 117 ribu hektar hutan adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), namun di balik angka itu tersimpan fakta yang jauh lebih besar, di mana potensi hutan adat Kalbar diperkirakan mencapai 2,9 juta hektar atau setara dengan 80 persen dari total wilayah tanah adat yang ada di provinsi ini. Potensi besar ini disampaikan langsung oleh Kepala BRWA Pusat, Kasmita Widodo, dalam Diskusi Terfokus Rilis Data BRWA Update Agustus 2025 yang digelar di Pontianak pada 11 Agustus 2025, di mana ia menegaskan bahwa Kalbar memegang peranan penting dalam upaya nasional memperluas pengakuan hutan adat sekaligus menjadi contoh bagi provinsi lain dalam mengelola kekayaan alam berbasis kearifan lokal. “Region Kalimantan Barat ini yang paling banyak, tetapi kalau melihat potensinya, hutan adatnya masih jauh lebih besar dari yang sudah diakui. Penting sekali kita bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan kementerian agar pengakuannya lebih luas,” ujarnya. Hingga saat ini, BRWA mencatat bahwa pengakuan resmi terhadap hutan adat di Kalbar baru menyentuh sebagian kecil dari wilayah adat yang sebenarnya ada, sementara sisanya yang jumlahnya mencapai jutaan hektar masih berada dalam tahap pencadangan, proses verifikasi, atau bahkan belum diajukan sama sekali. Di atas kertas, peta wilayah adat yang dimiliki masyarakat adat Kalbar sebenarnya sudah cukup jelas, namun proses formal untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah sering kali memakan waktu lama karena kompleksitas aturan, tumpang tindih klaim lahan, dan keterbatasan akses masyarakat adat terhadap informasi serta pendampingan hukum. Kasmita menjelaskan bahwa pengakuan hutan adat tidak hanya berlaku untuk lahan yang berada di dalam kawasan hutan negara, karena lahan di luar kawasan hutan pun bisa diakui sebagai hutan adat asalkan masyarakat adat dapat membuktikan adanya keterhubungan historis, sosial, dan budaya dengan tanah tersebut, termasuk sejarah pemanfaatan lahan turun-temurun, situs budaya, maupun sistem adat yang masih berlaku hingga saat ini. Salah satu poin penting yang ditekankan Kasmita adalah perlunya pemetaan wilayah adat yang dilakukan oleh masyarakat sendiri, karena pemetaan ini menjadi langkah awal dan krusial dalam proses pengakuan, di mana peta yang dihasilkan tidak hanya berfungsi sebagai dokumen administratif tetapi juga menjadi senjata bagi masyarakat adat untuk mempertahankan hak mereka dari klaim pihak lain, termasuk perusahaan yang memegang izin konsesi. “Dengan peta wilayah adat yang lengkap dan terregistrasi, masyarakat memiliki pegangan kuat untuk menagih haknya. Ini bukan hanya soal lahan, tapi juga soal menjaga kelestarian hutan dan memperkuat identitas masyarakat adat,” tegasnya. Peta wilayah adat yang akurat membantu pemerintah daerah dan kementerian untuk memahami batas-batas wilayah adat sehingga meminimalkan risiko konflik, dan dokumen ini juga menjadi dasar untuk menilai apakah suatu wilayah berada dalam kawasan perizinan tambang, perkebunan, atau proyek strategis lainnya. Bagi masyarakat adat di Kalbar, hutan adat bukan sekadar hamparan pepohonan atau sumber kayu, melainkan sumber kehidupan yang menyediakan pangan, obat-obatan, bahan bangunan, serta menjadi ruang sakral bagi berbagai ritual adat. Banyak komunitas adat yang memiliki aturan ketat terkait pemanfaatan hutan yang diwariskan secara turun-temurun untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Di beberapa daerah seperti di pedalaman Kapuas Hulu dan
Ketapang, hutan adat menjadi tempat berlangsungnya upacara adat tahunan yang
melibatkan seluruh anggota komunitas, di mana ritual-ritual ini tidak hanya
memperkuat ikatan sosial tetapi juga menjadi sarana transfer pengetahuan antar
generasi tentang bagaimana menjaga alam. Dengan pengakuan resmi, masyarakat
adat memiliki kepastian hukum untuk terus melestarikan hutan mereka, sebaliknya
tanpa pengakuan, wilayah tersebut rentan diambil alih oleh pihak luar yang
mengejar keuntungan ekonomi semata tanpa mempertimbangkan keberlanjutan
lingkungan. Meski potensinya besar, memperluas pengakuan hutan adat bukanlah
hal yang mudah karena ada beberapa tantangan yang harus dihadapi seperti
tumpang tindih lahan yang sering memicu konflik antara masyarakat adat,
perusahaan, dan pemerintah; proses administrasi yang rumit mulai dari pemetaan,
verifikasi lapangan, hingga persetujuan dari berbagai tingkat pemerintahan; kurangnya
pendampingan teknis bagi komunitas adat untuk membuat peta wilayah atau
mengurus dokumen hukum; serta minimnya kesadaran publik terhadap pentingnya
hutan adat meskipun keberadaannya berperan langsung dalam mitigasi perubahan
iklim dan keberlanjutan sumber daya alam. Kasmita optimis bahwa dengan
kolaborasi yang baik antara masyarakat adat, pemerintah daerah, kementerian
terkait, dan organisasi pendamping, pengakuan hutan adat di Kalbar dapat
diperluas secara signifikan dalam beberapa tahun ke depan, yang akan memberikan
dampak positif tidak hanya bagi masyarakat adat tetapi juga bagi Indonesia
secara keseluruhan. Dengan menjaga hutan adat berarti juga menjaga fungsi
ekologisnya sebagai penyerap karbon, pelindung keanekaragaman hayati, dan
penyangga kehidupan jutaan orang. BRWA sendiri berkomitmen untuk terus
memfasilitasi proses pemetaan dan registrasi wilayah adat melalui dukungan
teknis, pelatihan, dan penyediaan data. Untuk mempercepat pengakuan, beberapa
langkah strategis direkomendasikan seperti peningkatan kapasitas masyarakat
adat melalui pelatihan pemetaan, dokumentasi sejarah adat, dan advokasi hukum;
integrasi data wilayah adat ke dalam rencana tata ruang; penguatan regulasi
dengan menyederhanakan prosedur pengakuan dan memberikan perlindungan hukum
yang lebih kuat terhadap wilayah dalam proses pengakuan; serta kampanye publik
yang masif untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya hutan adat. Potensi 2,9
juta hektar hutan adat di Kalbar adalah harta karun yang nilainya tak
terhitung, di mana tersimpan sejarah, budaya, dan kearifan lokal yang telah
menjaga keseimbangan alam selama ratusan tahun. Namun, tanpa pengakuan resmi
dan perlindungan memadai, warisan ini bisa hilang tergantikan oleh kepentingan
jangka pendek yang merusak. Upaya memperluas pengakuan hutan adat bukan hanya
soal administrasi atau dokumen hukum, tetapi juga perjuangan untuk memastikan
bahwa generasi mendatang masih bisa mewarisi alam yang lestari, budaya yang
hidup, dan identitas yang utuh. Kalbar memiliki peluang besar untuk menjadi
contoh sukses pengelolaan hutan adat di Indonesia, dan peluang ini tidak boleh
disia-siakan.