Skandal Tambang Ilegal Bukit Soeharto: Bareskrim Ungkap Perusakan Lingkungan di Jantung IKN
Di tengah geliat pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang
digadang-gadang sebagai simbol peradaban baru Indonesia, sebuah praktik hitam
yang mencoreng marwah pemerintah akhirnya terkuak. Direktorat Tindak Pidana
Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri berhasil membongkar praktik penambangan
batu bara ilegal yang berlangsung di kawasan konservasi Taman Hutan Raya
(Tahura) Bukit Soeharto, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur—tepat di jantung kawasan yang ditetapkan sebagai bagian vital
dari IKN. Temuan ini tidak hanya mengungkap aktivitas kejahatan lingkungan
skala besar, tetapi juga menyeret praktik manipulasi dokumen, pencucian uang,
dan kerusakan alam yang diperkirakan menimbulkan kerugian negara hingga lebih
dari Rp5 triliun.
Penindakan dilakukan pada 23 Juni 2025, setelah tim penyidik Bareskrim Polri mendapat informasi dari masyarakat mengenai adanya aktivitas mencurigakan di sekitar Bukit Soeharto. Dirjen Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri, Brigjen Pol Nunung Syaifudin, dalam konferensi pers yang digelar Kamis (17/7/2025), menyampaikan bahwa praktik ilegal ini bukanlah kegiatan dadakan. Sebaliknya, tambang batu bara ilegal tersebut telah beroperasi sejak tahun 2016, dan selama hampir satu dekade, mereka mengeruk keuntungan dari kawasan yang seharusnya dilindungi.
“Kami telusuri dan investigasi selama beberapa bulan, dan ternyata kegiatan ini telah dilakukan sejak lama. Ini bukan kejahatan biasa, karena dilakukan di kawasan konservasi, yang secara hukum dan moral seharusnya steril dari kegiatan eksploitasi,” ujar Brigjen Nunung dengan nada geram. Lebih lanjut ia menambahkan, “IKN merupakan marwah dari pemerintah. Sehingga dengan ungkap kasus ini, kami berharap tidak ada lagi aktivitas ilegal ke depannya di IKN.”
Tiga pelaku yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini masing-masing berinisial YH, CH, dan MH. Ketiganya memiliki peran sebagai penjual hasil tambang ilegal. Dalam menjalankan aksinya, para tersangka tidak main-main. Mereka menggunakan alat berat untuk menggali batu bara dari perut bumi Tahura Bukit Soeharto. Aktivitas tersebut secara langsung merusak ekosistem hutan dan mengganggu keseimbangan alam yang selama ini menjadi penopang kawasan tersebut.
Setelah berhasil menambang batu bara, para pelaku mengemas hasil tambang ke dalam karung-karung besar dan selanjutnya memasukkannya ke dalam kontainer. Dalam penggerebekan, aparat berhasil menemukan sebanyak 351 kontainer berisi karung batu bara. Sebanyak 248 kontainer disita di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, sementara 103 kontainer lainnya masih berada di Pelabuhan Balikpapan, menunggu verifikasi dokumen.
Yang lebih mencengangkan, para pelaku melengkapi pengiriman ilegal itu dengan dokumen yang terkesan sah—seolah-olah batu bara tersebut ditambang dari lokasi legal. Mereka menyusun dokumen-dokumen yang mencakup Surat Keterangan Asal Barang, Surat Keterangan Kebenaran Dokumen, Laporan Hasil Verifikasi, Shipping Instruction, hingga dokumen Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) serta izin pengangkutan.
“Ini bukan sekadar tambang ilegal, tapi juga manipulasi sistem. Mereka menggunakan dokumen resmi untuk melegalkan yang ilegal. Itulah mengapa kami juga mengenakan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kasus ini,” terang Brigjen Nunung. Ia menambahkan bahwa penyidikan terhadap kasus ini masih terus dikembangkan. Pihak kepolisian membuka kemungkinan adanya keterlibatan pihak lain yang lebih besar, mengingat skema tambang ilegal ini berlangsung selama hampir 10 tahun tanpa terendus secara langsung.
Pihak Bareskrim Polri tak sendirian dalam menindaklanjuti kasus besar ini. Mereka bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Otorita IKN. Investigasi bersama ini menjadi bukti nyata bahwa pemerintah tidak tinggal diam menghadapi ancaman terhadap kawasan yang memiliki nilai strategis tinggi, baik dari sisi politik, ekologis, maupun ekonomi.
“Dampak kerugiannya tidak hanya ekonomi. Kerusakan hutan yang terjadi di Tahura Bukit Soeharto tidak bisa diukur hanya dengan uang. Ekosistem yang terganggu akan membutuhkan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk pulih,” jelas perwakilan dari KLHK dalam pernyataan tertulis. Mereka mengungkap bahwa beberapa spesies endemik di kawasan itu terancam habitatnya akibat kegiatan tambang ilegal tersebut.
Aktivitas penambangan liar juga secara langsung mengancam keberlanjutan proyek IKN. Tahura Bukit Soeharto sejak awal ditetapkan sebagai kawasan strategis yang menjadi penyangga utama lingkungan hidup bagi wilayah IKN. Keberadaannya sangat vital dalam menjaga kualitas udara, suhu mikroklimat, dan cadangan air tanah. Maka, praktik tambang di wilayah ini tak ubahnya ancaman langsung terhadap proyek nasional bernilai ratusan triliun yang sedang digarap.
Di sisi lain, skandal ini membuka mata publik bahwa pengawasan terhadap kawasan-kawasan strategis, sekalipun itu di bawah label “konservasi” atau “proyek nasional,” masih memiliki celah. Ada pertanyaan besar yang kini menggantung: bagaimana mungkin aktivitas sebesar itu bisa berlangsung selama bertahun-tahun tanpa tersentuh hukum? Apakah ada pembiaran, atau justru perlindungan dari oknum-oknum yang belum tersentuh?
Banyak pihak kini mendorong agar pengungkapan kasus ini tidak berhenti pada level eksekutor di lapangan. Tiga tersangka yang sudah ditahan hanyalah ujung dari gunung es. Jejak digital, aliran dana, serta jaringan distribusi perlu ditelusuri hingga tuntas. Pasalnya, distribusi batu bara hingga ke pelabuhan dan disertai dokumen legal tentu melibatkan lebih dari sekadar tiga orang.
Di berbagai platform media sosial, masyarakat menyambut baik langkah Bareskrim namun juga menuntut agar investigasi tidak mandek di tengah jalan. Beberapa aktivis lingkungan bahkan mendesak adanya audit menyeluruh terhadap aktivitas pertambangan di seluruh Kalimantan Timur, terutama di sekitar wilayah IKN. “Kalau kasus sebesar ini bisa luput, jangan-jangan masih banyak yang belum terbongkar,” tulis seorang netizen yang aktif dalam kampanye pelestarian lingkungan.
Pengungkapan ini bisa menjadi titik balik, sekaligus cermin bagi pemerintah pusat dan daerah, bahwa pembangunan IKN tidak boleh mengorbankan alam dan harus dijalankan dengan penuh integritas. IKN memang dibangun untuk masa depan, namun masa depan itu tidak akan pernah cerah jika fondasinya dibiarkan retak oleh kejahatan lingkungan dan mafia tambang.
Saat ini, proses hukum terhadap para tersangka tengah berjalan, dan publik menanti dengan seksama apakah pengadilan akan menjatuhkan hukuman yang setimpal. Tak kalah penting, masyarakat berharap agar kasus ini menjadi preseden kuat bagi penegakan hukum di kawasan IKN dan seluruh wilayah yang selama ini menjadi sasaran empuk tambang ilegal. Pemerintah, melalui berbagai lembaga, harus memastikan bahwa tidak ada satu pun kawasan konservasi di negeri ini yang berubah menjadi ladang eksploitasi tanpa izin.
Dengan kerugian negara yang ditaksir lebih dari Rp5 triliun serta rusaknya lingkungan yang tak ternilai, kasus tambang ilegal Bukit Soeharto bukan sekadar kriminal biasa. Ini adalah bentuk nyata dari pengkhianatan terhadap cita-cita pembangunan berkelanjutan. Dan dari sinilah, komitmen terhadap IKN dan lingkungan Indonesia diuji, diukur, dan akan diingat dalam sejarah.