Amarah Toleransi di Desa Kapur: Suara Tegas Bupati Sujiwo atas Penolakan Pembangunan Gereja
Kubu Raya kembali menjadi sorotan setelah sebuah surat
penolakan pembangunan gereja mencuat ke publik. Surat yang bertanda tangan
resmi dari 10 ketua RT/RW dan satu kepala dusun di Desa Kapur, Kecamatan Sungai
Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, memantik perdebatan hangat di
tengah masyarakat. Reaksi cepat dan tegas pun langsung datang dari pucuk
pimpinan daerah—Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan Sujiwo, atau yang lebih
akrab disapa Sujiwo, yang menyatakan sikap kerasnya terhadap segala bentuk intoleransi.
Dalam nada bicara yang tidak biasa, Sujiwo menyuarakan amarahnya kepada mereka
yang disebutnya anti-toleransi, seraya menegaskan bahwa tidak akan ada ruang
untuk kelompok atau individu yang mencoba merusak harmoni keberagaman yang
selama ini telah terjalin erat di wilayahnya.
Surat yang menyulut emosi itu bernomor 005/RT-004/VII/2025 dan menyatakan secara eksplisit penolakan terhadap rencana pendirian rumah ibadah berupa gereja di RT 004 RW 005, Jalan Nurul Huda Aliamin, Dusun Parit Mayor Darat. Selain menyuarakan ketidaksediaan mereka atas pembangunan tersebut, surat itu juga mendesak agar kepala Desa Kapur tidak memberikan rekomendasi terhadap pengajuan pendirian gereja di lokasi tersebut. Penolakan kolektif itu bukan hanya dianggap sebagai ekspresi keberatan warga, melainkan telah menyentuh ranah yang lebih fundamental—yaitu kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi.
Ketika kabar ini merebak, Sujiwo tidak tinggal diam. Dalam konferensi pers yang digelar Kamis, 17 Juli 2025, ia menggelar pernyataan keras tanpa tedeng aling-aling. “Saya tidak akan berikan ruang kepada siapapun yang anti-toleransi,” tegasnya, dengan nada yang sarat ketegasan dan kemarahan. Bupati Sujiwo bukan kali pertama menyuarakan pentingnya keberagaman, namun kali ini, ia berbicara dengan nada lebih keras dan menggelegar—seakan ingin mengirim sinyal bahwa Kubu Raya tidak akan menjadi panggung bagi kelompok yang memelihara benih diskriminasi berbasis agama.
Baginya, keharmonisan yang selama ini telah dirawat antara berbagai suku dan umat beragama di Kabupaten Kubu Raya bukanlah warisan yang bisa diinjak-injak begitu saja. "Saya akan berikan peringatan secara tegas dan keras," serunya. Dalam kesempatan itu, Sujiwo juga mengumumkan bahwa ia akan memanggil seluruh perangkat desa dan elemen yang terlibat dalam aksi penolakan tersebut untuk dimintai pertanggungjawaban. “Siang ini akan kamu tindak,” ujarnya, penuh determinasi.
Langkah cepat ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak ingin kecolongan dalam menjaga kondusifitas wilayah, terlebih dalam urusan yang menyangkut sensitifitas agama. Sujiwo pun mengimbau kepada seluruh masyarakat, terutama warga Desa Kapur, agar tetap tenang dan tidak terpancing emosi oleh isu ini. Ia menyerukan agar masyarakat menyerahkan seluruh proses penyelesaian persoalan kepada pemerintah daerah. “Saya harap untuk tetap dingin, tetap sejuk, percayakan kepada pemerintah. Kita pastikan akan kita atasi bersama nanti,” pesannya yang ditujukan agar tidak terjadi gesekan horizontal di masyarakat.
Sikap tegas juga datang dari Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan. Dalam komentarnya, ia menyayangkan sikap sejumlah pihak yang menolak pembangunan rumah ibadah. “Tidak boleh begitu, saya tak ingin ada orang-orang memiliki sikap seperti itu,” katanya dengan ekspresi kecewa. Menurutnya, Kalimantan Barat adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, di mana Pancasila sebagai dasar negara menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga negara.
Krisantus menegaskan bahwa semua agama di negeri ini memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, masyarakat wajib menjaga keharmonisan yang telah terjalin selama ini, serta mendukung upaya pemerintah dalam membangun ruang toleransi yang sehat. “Semua agama berhak mendapatkan haknya sesuai peraturan pemerintah. Dan masyarakat wajib mendukung pemerintah dalam hal menjaga harmonisasi di Kalbar,” tutupnya.
Namun, di balik pernyataan keras para pejabat itu, suasana di lapangan masih menyimpan berbagai pertanyaan. Apa sebenarnya alasan di balik penolakan tersebut? Apakah semata-mata soal administratif dan tata ruang? Atau ada isu yang lebih dalam yang belum terkuak ke publik?
Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, pihak insidepontianak.com masih berupaya untuk menghubungi Kepala Desa Kapur maupun pihak Paroki Santo Agustinus untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut. Publik pun menanti penjelasan yang lebih jernih dari dua pihak tersebut agar tidak terjadi bias informasi yang dapat merusak citra desa maupun menciptakan narasi konflik horizontal.
Beberapa tokoh masyarakat setempat yang tidak terlibat dalam surat penolakan tersebut juga mulai menyuarakan keprihatinannya. Mereka menyebut bahwa selama ini warga Desa Kapur hidup berdampingan secara damai, dan tidak pernah terdengar ada gesekan serius antar pemeluk agama. Surat penolakan tersebut, bagi sebagian pihak, dianggap sebagai suara segelintir orang yang tidak mewakili suara mayoritas masyarakat desa.
Menariknya, penolakan terhadap pendirian rumah ibadah bukanlah persoalan baru di Indonesia. Berkali-kali, sejumlah wilayah mengalami hal serupa dengan berbagai motif, mulai dari kekhawatiran sosial hingga sentimen yang lebih bersifat eksklusif. Namun, setiap kali kasus seperti ini mencuat, yang menjadi sorotan utama bukan hanya masalah teknis atau administrasi, tetapi soal bagaimana negara hadir untuk menjamin hak konstitusional warganya.
Konstitusi Republik Indonesia telah sangat jelas menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Maka ketika sekelompok warga secara kolektif menolak berdirinya rumah ibadah, tidak dapat tidak, hal itu akan berhadapan langsung dengan nilai-nilai dasar negara. Tidak bisa pula diabaikan bahwa surat penolakan semacam ini, jika dibiarkan tanpa penindakan dan penjelasan, akan menjadi preseden buruk yang membuka ruang lebih luas bagi lahirnya intoleransi secara sistemik.
Bagi Sujiwo dan Krisantus, ini bukan sekadar persoalan surat atau rencana pembangunan, ini adalah ujian bagi komitmen bersama dalam menjaga semangat pluralisme. Sikap mereka yang keras menunjukkan bahwa ada keberanian politik untuk berdiri tegak membela prinsip toleransi—sesuatu yang sayangnya masih langka di tengah pusaran populisme identitas yang marak belakangan ini.
Masyarakat pun kini tengah menunggu langkah selanjutnya dari pemerintah daerah. Akankah pembangunan gereja tersebut tetap dilanjutkan? Apakah akan ada mediasi antara pihak gereja dan warga yang menolak? Ataukah peristiwa ini akan menjadi awal dari upaya rekonsiliasi dan penguatan nilai-nilai kebhinekaan di Desa Kapur?
Satu hal yang pasti, langkah pertama telah diambil. Dan itu adalah suara keras dari seorang bupati yang tidak ingin tanah yang dipimpinnya ternoda oleh intoleransi. Ketika negara hadir membela hak warganya untuk beribadah, di situlah peran Pancasila dan konstitusi benar-benar menjadi nyata—bukan sekadar tulisan dalam buku pendidikan kewarganegaraan.