Uji Materi UU IKN: Masyarakat Adat Dayak Melawan, Mahkamah Konstitusi Diuji Soal Keadilan Sosial
Gema pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang selama ini
dikemas dengan semangat modernitas, keberlanjutan, dan transformasi nasional,
kini diguncang oleh pertarungan konstitusional yang menyentuh akar terdalam
dari makna keadilan. Dua warga Kalimantan Timur, Stepanus Febyan Babaro dan
Ronggo Warsito, telah mengajukan permohonan pengujian materiil terhadap
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023, yang merupakan perubahan dari UU Nomor 3
Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Mereka tidak sekadar menggugat klausul
hukum, tetapi menggugat narasi pembangunan yang menurut mereka mengorbankan
masyarakat adat Dayak—penduduk asli yang sudah hidup turun-temurun di tanah
yang kini menjadi jantung megaproyek IKN.
Permohonan itu telah terdaftar secara resmi di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Nomor Perkara 185/PUU-XXII/2024, dan pada sidang lanjutan yang digelar Rabu, 25 Juni 2025, perdebatan mulai mengerucut pada pasal-pasal kunci yang dinilai berpotensi merampas hak-hak masyarakat adat, merusak lingkungan hidup, dan melanggar prinsip-prinsip dasar dalam UUD 1945, terutama Pasal 33 yang mengatur tentang perekonomian nasional dan penguasaan negara atas sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat.
Pusat kontroversi adalah Pasal 16A UU IKN, yang memberikan dasar hukum bagi pemerintah untuk memberikan Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah selama 95 tahun, dan dapat diperpanjang satu kali lagi untuk jangka waktu yang sama, sehingga totalnya bisa mencapai 190 tahun. Tidak hanya HGU, aturan serupa juga berlaku untuk Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai, yang bisa berlangsung hingga 160 tahun.
Bagi masyarakat adat Dayak, angka-angka ini lebih dari sekadar hitungan hukum. Ia adalah simbol kekhawatiran: bahwa tanah ulayat mereka akan dikunci selama dua abad oleh negara dan investor, sementara mereka terpinggirkan secara sistematis dari tanah yang telah mereka rawat, warisi, dan hidupkan sejak lama.
Dalam sidang di MK, dua ahli yang dihadirkan pemohon, yakni Salfius Seko, akademisi hukum adat dari Universitas Tanjungpura, dan Erika Siluq, dosen hukum dari Universitas 17 Agustus Samarinda, membuka dimensi lebih dalam dari persoalan ini. Bagi Salfius, tanah bagi masyarakat Dayak bukan hanya perkara administratif atau kepemilikan legal.
"Dalam kosmologi Dayak, tanah, hutan, sungai, dan gunung adalah bagian dari dunia kosmos yang tidak bisa dipisahkan dari manusia. Hak atas tanah bukan semata-mata soal kepemilikan administratif, tapi mencakup dimensi religio-magis, ekologis, sosial budaya, dan ekonomi," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa ketentuan dalam Pasal 16A berpotensi “merobohkan pilar-pilar kehidupan masyarakat adat” dan bahkan “mengoyak keseimbangan mikrokosmos dan makrokosmos Dayak”—sebuah istilah yang merujuk pada keharmonisan antara manusia, alam, dan leluhur dalam sistem kepercayaan tradisional.
Sementara itu, Erika Siluq menyentil ketidakadilan struktural dalam pengaturan agraria yang diatur dalam UU IKN. Ia menekankan bahwa pengaturan soal pengelolaan tanah seharusnya merujuk pada prinsip keadilan dan pengakuan hak masyarakat adat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan sejumlah pasal dalam UUD 1945 yang menjamin hak konstitusional warga negara.
“Pemberian jangka waktu sampai 190 tahun sangat tidak masuk akal secara sosial maupun ekologis. Ini bukan sekadar investasi, tapi perampasan masa depan generasi lokal,” kata Erika lantang.
Kedua ahli tersebut menyoroti bahwa pembangunan yang baik seharusnya berpijak pada partisipasi masyarakat, terutama kelompok rentan seperti masyarakat adat. Mereka mengingatkan bahwa pembangunan tanpa keadilan sosial akan selalu melahirkan luka struktural yang panjang.
Namun di sisi lain, pemerintah tidak tinggal diam. Dalam sidang yang sama, hadir pula dua ahli dari pihak Presiden, yakni Prof. Wicipto Setiadi dan Prof. Nurhasan Ismail, yang membela Pasal 16A sebagai sebuah lex specialis—aturan hukum yang bersifat khusus dan hanya berlaku untuk situasi tertentu, dalam hal ini proyek strategis nasional seperti pembangunan IKN.
“Pemberian hak 95 tahun bukanlah pemindahtanganan kekuasaan atas tanah. Hak-hak tersebut tetap bersyarat, terbatas, dan berada dalam kendali negara,” terang Prof. Wicipto.
Ia menjelaskan bahwa model pengaturan seperti ini juga digunakan di negara-negara maju seperti Inggris, Singapura, dan Vietnam. Menurutnya, UU IKN justru dirancang untuk memberikan kepastian hukum dan iklim investasi yang stabil, agar pembangunan IKN dapat berjalan sesuai target serta mendatangkan manfaat ekonomi jangka panjang bagi bangsa.
Pemerintah berargumen bahwa perpanjangan hak hingga hampir dua abad bukanlah bentuk pengabaian terhadap masyarakat adat, melainkan affirmative action yang ditujukan untuk menjamin keberhasilan proyek besar negara.
Namun, justru di sinilah konflik nilai mulai terlihat terang: antara logika investasi jangka panjang dan etika pengakuan terhadap hak komunal masyarakat adat. Di satu sisi, pemerintah membangun narasi “kepastian hukum bagi investor”, sementara di sisi lain, masyarakat adat Dayak melihat ini sebagai ancaman terhadap warisan budaya dan ruang hidup mereka yang tidak tergantikan.
Perkara ini pun menjadi sorotan tajam bagi banyak kalangan. Bukan hanya soal isi pasal, tapi juga mengenai arah dasar pembangunan Indonesia: apakah pembangunan nasional harus selalu didorong oleh logika pasar dan kapital, ataukah masih ada ruang untuk mengedepankan prinsip-prinsip keadilan sosial yang menjadi inti dari konstitusi.
Pasal 33 UUD 1945, yang menjadi rujukan utama gugatan ini, berbicara tentang penguasaan negara atas sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun kini, muncul pertanyaan mendalam: siapa yang dimaksud dengan “rakyat” itu? Apakah komunitas adat Dayak, yang sudah turun-temurun hidup dari dan bersama alam, masih masuk dalam definisi itu? Ataukah mereka telah tersingkir dari prioritas pembangunan modern?
Di tengah debat hukum yang memanas, para pemohon juga menegaskan bahwa pengujian materiil ini bukan upaya untuk menghentikan pembangunan IKN, melainkan untuk mengingatkan negara bahwa pembangunan sejati harus bersifat inklusif, adil, dan berkelanjutan, bukan hanya bagi investor dan elite politik, tapi terutama bagi masyarakat lokal yang paling terdampak.
Sidang MK ini menjadi salah satu momen krusial dalam perjalanan panjang proyek IKN. Apakah Mahkamah Konstitusi akan berpihak pada narasi pembangunan yang berpijak pada kepastian investasi, ataukah akan menjadi benteng terakhir yang membela makna sejati keadilan sosial dan hak-hak masyarakat adat?
Pertanyaan itu masih menunggu jawaban. Namun yang pasti, perkara ini telah membuka kembali diskusi publik tentang arah pembangunan nasional, relasi negara dengan komunitas adat, serta kesetiaan kita semua terhadap cita-cita konstitusi yang menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan, dan keberlanjutan.