Tanah Leluhur Terancam: Warga Dayak Gugat Aturan IKN demi Pertahankan Hak Adat

  

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi panggung perlawanan hukum yang menyuarakan keresahan masyarakat adat terhadap kebijakan pembangunan nasional. Rabu, 4 Juni 2025, ruang sidang MK dipenuhi ketegangan emosional saat permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) kembali dibacakan. Di tengah agenda besar pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur, suara dari pedalaman Borneo menggema ke jantung institusi hukum tertinggi di Indonesia.

Pemohon dalam perkara ini adalah Stepanus Febyan Babaro, seorang warga asli Suku Dayak. Ia menggugat Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) UU IKN. Gugatan itu bukan sekadar legal formality, tapi jeritan dari komunitas yang merasa terancam tergusur dari tanah yang telah mereka tinggali secara turun-temurun. Perkara tersebut tercatat di MK dengan nomor 185/PUU-XXII/2024.

Bagi Stepanus, persoalan ini lebih dari sekadar perdebatan yuridis. Ini menyangkut eksistensi identitas, sejarah, dan keberlangsungan hidup masyarakat adat di tanah mereka sendiri. Ia menilai pasal-pasal dalam UU IKN membuka ruang lebar bagi dominasi pihak luar atas tanah di kawasan Ibu Kota Nusantara, yang berpotensi menghapus jejak hak komunal masyarakat lokal, termasuk hak atas tanah, hutan, serta akses kehidupan tradisional lainnya.

Pasal-pasal yang digugat oleh Stepanus mengatur tentang pemberian Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai kepada badan usaha maupun perorangan. Namun, durasi hak-hak tersebut—yang bisa mencapai puluhan tahun—menurutnya tidak disertai dengan mekanisme perlindungan yang memadai terhadap kepentingan warga lokal.

Dalam petitumnya, Stepanus mendesak agar durasi pemberian hak atas tanah dibatasi. Ia mengusulkan HGU dan Hak Pakai maksimal 25 tahun, sedangkan HGB maksimal 20 tahun. Baginya, durasi panjang dalam pemberian hak tanah itu dapat menjelma menjadi bentuk penguasaan yang berkelanjutan oleh pihak non-pribumi, yang pada akhirnya memperkecil ruang gerak warga asli.

Lebih jauh, ia juga menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2024, khususnya Pasal 9 yang mengatur tentang jangka waktu hak atas tanah di kawasan IKN. Meski durasinya mirip, Stepanus menyayangkan tidak adanya jaminan dalam aturan tersebut mengenai perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Namun perjuangan Stepanus tidak berjalan mulus. Sidang keempat yang semula dijadwalkan untuk menghadirkan keterangan DPR, ahli, dan saksi dari pihak pemohon, harus ditunda. Penundaan terjadi karena DPR sedang dalam masa reses, dan Mahkamah tidak dapat memeriksa ahli yang diajukan pemohon lantaran dokumen dan riwayat hidup baru diserahkan satu hari sebelum sidang. Ditambah lagi, permohonan menghadirkan ahli secara daring tidak diajukan dalam batas waktu yang ditentukan.

Ketua MK, Suhartoyo, dalam persidangan menyampaikan: “Majelis tidak bisa memeriksa ahli pada hari ini. Namun Majelis menawarkan kepada Pemohon apakah keterangan ahli dan saksi cukup disampaikan secara tertulis saja? Atau tetap didengarkan keterangannya.”

Sebagai bentuk kompromi, Majelis Hakim Konstitusi akhirnya menetapkan penundaan sidang dan menjadwalkan ulang agenda serupa pada Rabu, 25 Juni 2025 pukul 10.30 WIB.

Langkah hukum Stepanus bukan hanya aksi pribadi. Ia membawa suara kolektif masyarakat adat Dayak yang selama ini merasa tercerabut dari proses pengambilan keputusan soal megaproyek nasional. Banyak dari mereka merasa bahwa pembangunan IKN dilakukan tanpa keterlibatan bermakna dari masyarakat asli Kalimantan. Kekhawatiran terbesar mereka adalah terpinggirkannya komunitas adat di tengah gelombang investasi dan urbanisasi masif.

Suara-suara dari pedalaman itu bukan tanpa dasar. Dalam beberapa tahun terakhir, proses pembangunan IKN di Kalimantan Timur memang berjalan cepat dan penuh dengan jargon efisiensi serta modernisasi. Pemerintah melalui Otorita IKN mengklaim bahwa proyek ini bukan hanya soal infrastruktur, tetapi tentang perubahan paradigma tata kelola perkotaan dan investasi nasional.

Kepala Otorita IKN, Basuki Hadimuljono, menyampaikan bahwa pemerintah sangat terbuka terhadap masuknya modal, dan telah menyiapkan berbagai kemudahan perizinan bagi para investor.

“Berbagai kemudahan ditawarkan pemerintah untuk investasi di IKN,” ujarnya dalam pernyataan resmi di Sepaku, Penajam Paser Utara, pada 4 Juni 2025.

Menurutnya, langkah strategis dilakukan dengan menyederhanakan proses perizinan yang bisa selesai dalam waktu satu pekan. Ia menyebut bahwa IKN bukan hanya sebuah kota, tapi model baru manajemen kota dan ekonomi masa depan yang efisien.

“Adanya berbagai kemudahan yang ditawarkan pemerintah untuk investasi itu, kami optimistis pembangunan IKN dapat berjalan sesuai jadwal,” kata Basuki.

Otorita IKN juga telah mengoperasikan sistem layanan satu pintu berbasis digital melalui platform online single submission (OSS), yang dirancang untuk memangkas birokrasi dan mempercepat alur pengajuan izin usaha.

Respons positif pun datang dari para pelaku usaha. Salah satunya adalah Direktur Utama PT Maxi Nusantara Raya, Soeny Yoewono.

“Kami terkesan dengan kecepatan layanan Otorita IKN, kemudahan investasi terasa sekali,” ujarnya.

Soeny mengungkapkan bahwa para investor tidak perlu lagi terlibat dalam proses administratif yang rumit. Semua dokumen dan proses izin diurus langsung oleh Otorita IKN. “Kepengurusan perizinan investasi semua diproses dilakukan Otorita IKN, perusahaan atau investor tinggal menunggu melakukan penandatanganan kerja sama,” ujarnya.

Di satu sisi, sistem efisien dan responsif ini menjadi magnet bagi para pemodal. Namun di sisi lain, justru menjadi alasan kekhawatiran dari komunitas adat seperti yang diwakili oleh Stepanus. Mereka melihat bahwa kecepatan pembangunan dan perizinan bisa menjadi pedang bermata dua, yang merugikan masyarakat adat bila tidak disertai dengan perlindungan yang konkret dan adil.

Ketimpangan dalam kecepatan penanganan urusan hukum dan investasi inilah yang menjadi ironi tersendiri. Ketika izin investor bisa diproses dalam sepekan, urusan hukum warga lokal yang menyangkut hak hidup dan keberlanjutan budaya harus tertunda karena dokumen administratif.

Situasi ini menyoroti jurang besar antara visi modernisasi negara dan realitas di lapangan. Proyek IKN yang digadang sebagai simbol masa depan, justru bisa menimbulkan luka sosial bila tidak ditopang oleh regulasi yang inklusif dan berpihak kepada kelompok rentan.

Masyarakat Dayak, yang selama ini hidup berdampingan dengan alam, menghadapi tantangan eksistensial. Mereka khawatir bahwa proyek-proyek besar akan mengubah lanskap sosial, budaya, dan ekologis Kalimantan secara drastis. Bila tanah adat mereka diberikan kepada korporasi dalam jangka panjang tanpa regulasi tegas, ruang hidup mereka bisa menyusut hingga akhirnya punah.

Dalam konteks inilah gugatan hukum yang diajukan oleh Stepanus menjadi penting. Ia bukan hanya menggugat pasal-pasal dalam UU IKN, melainkan juga menggugat cara pandang negara terhadap warganya yang hidup dalam struktur sosial dan nilai-nilai adat yang berbeda dari masyarakat urban.

Apakah negara mampu memadukan kemajuan dengan keadilan sosial? Apakah pembangunan IKN akan menjadi simbol kebanggaan bersama, atau justru melahirkan kesenjangan dan konflik baru? Pertanyaan-pertanyaan itu kini bergantung pada sejauh mana Mahkamah Konstitusi dan pemerintah bersedia mendengar suara yang datang dari hutan, bukan hanya dari gedung-gedung pencakar langit.

Sidang lanjutan pada 25 Juni mendatang mungkin hanya satu langkah kecil dalam perjalanan hukum ini. Namun bagi Stepanus dan komunitas Dayak, itu adalah momen penting untuk membuktikan bahwa mereka tidak akan tinggal diam menyaksikan tanah leluhur mereka diambil alih atas nama pembangunan. Mereka menuntut keadilan, bukan hanya demi generasi sekarang, tetapi untuk anak cucu yang kelak akan bertanya, "Mengapa kita terusir dari rumah sendiri?"

Next Post Previous Post