Sekda Kalbar Desak Percepatan Layanan Publik: “Jangan Biarkan Masyarakat Diperdaya Birokrasi”
PONTIANAK — Ketika keluhan masyarakat mulai terdengar
semakin nyaring soal lamanya waktu tunggu dalam mengurus berbagai pelayanan
publik, Sekretaris Daerah Kalimantan Barat (Kalbar), Harisson, tak lagi bisa
berdiam diri. Ia turun tangan, menyuarakan keprihatinan sekaligus mendesak
semua pihak yang terkait agar segera berbenah. Dari kantor pemerintahan tingkat
provinsi hingga kabupaten/kota, pesan Harisson jelas: percepat pelayanan atau
bersiap menerima gelombang ketidakpercayaan publik yang makin deras.
“Masyarakat sudah terlalu sering mengeluh. Yang jadi masalah utama adalah waktu layanan yang terlalu lama. Ini harus jadi bahan evaluasi rutin bagi seluruh perangkat daerah,” kata Harisson dalam pernyataan resminya pada Minggu, 1 Juni 2025.
Baginya, pelayanan publik adalah wajah paling nyata dari negara di mata rakyat. Ketika warga datang membawa dokumen, surat pengantar, atau sekadar permohonan informasi, mereka sebenarnya datang dengan harapan besar: bahwa negara hadir untuk membantu, bukan menghalangi. Maka, ketika layanan justru berjalan lamban, berbelit, dan terkadang tak manusiawi, itulah saatnya cermin negara pecah di hadapan warganya.
Dalam pernyataan yang terkesan lugas namun sarat makna, Harisson menyoroti akar dari persoalan tersebut. Ia mengatakan bahwa salah satu penyebab utama lambatnya pelayanan adalah kurangnya penyesuaian antara kebutuhan masyarakat dan sistem kerja di lapangan. Jam pelayanan yang pendek, jumlah pegawai yang terbatas, serta alur birokrasi yang tak fleksibel, menjadi kombinasi racun yang mematikan semangat publik.
“Kalau memang perlu, tambah jam layanan. Kalau itu belum cukup, perpanjang jam kerja pegawai. Kalau masih belum juga, tambah jumlah petugas di bagian layanan langsung. Kita tidak bisa hanya menunggu semuanya membaik dengan sendirinya,” katanya.
Tapi Harisson tidak berhenti sampai di situ. Ia menyentil kebiasaan birokrasi yang terjebak pada prosedur-prosedur yang ia sebut “remeh temeh.” Persyaratan administratif yang tidak esensial, menurutnya, seharusnya dihapus saja. Tidak sedikit pelayanan publik yang tersendat hanya karena selembar surat pendukung yang sebenarnya tak memiliki bobot substansi dalam proses tersebut.
“Hapus saja persyaratan yang remeh temeh, yang sebenarnya tidak perlu. Kalau tidak segera dibenahi, antrean akan semakin panjang,” ujarnya, tegas.
Lebih jauh, Harisson mengungkapkan keprihatinannya terhadap praktik-praktik yang kerap muncul dalam situasi layanan publik yang tidak efisien. Ia menyinggung secara terbuka soal peluang munculnya “oknum” di balik meja layanan, yang memanfaatkan kondisi tersebut untuk mencari keuntungan pribadi. Masyarakat yang frustrasi karena lamanya waktu tunggu, kadang dengan terpaksa menerima tawaran ‘jalan pintas’ dari oknum tersebut agar urusan mereka bisa cepat selesai.
“Jangan sampai masyarakat dipermainkan oleh oknum pegawai yang menawarkan ‘jalan pintas’ agar prosesnya lebih cepat. Itu jelas merugikan masyarakat dan mencederai semangat pelayanan publik yang bersih dan adil,” tuturnya dengan nada serius.
Harisson ingin memastikan, bahwa apa yang ia katakan bukan hanya retorika semata. Ia menegaskan bahwa birokrasi harus kembali pada semangat dasarnya: melayani. Layanan publik, katanya, seharusnya dirancang untuk membantu masyarakat, bukan justru menjebak mereka dalam alur yang memusingkan. Ia bahkan menyebut perlunya pendekatan yang lebih manusiawi dalam memberikan pelayanan.
“Pelayanan yang manusiawi, itu yang harus kita bangun. Bukan malah menyulitkan dengan birokrasi yang tak perlu,” katanya.
Pernyataan Harisson ini mendapat gema dari masyarakat. Hendra, seorang warga Pontianak, menyambut baik langkah Sekda tersebut. Ia sendiri mengaku pernah mengalami lamanya proses pelayanan ketika mengurus dokumen keluarga. Yang lebih disesalkannya, bukan hanya antrean panjang atau prosedur yang berliku, tetapi juga sikap sebagian pegawai yang tidak responsif terhadap keluhan warga.
“Banyak birokrat tidak benar-benar menjawab keluhan masyarakat. Kebanyakan hanya berkelit, menyebut bahwa mereka sudah bekerja sesuai prosedur,” ungkap Hendra.
Bagi Hendra, akar masalah sebenarnya bukan hanya soal jam kerja atau jumlah petugas. Tapi juga pada sistem yang masih konvensional dan tertutup. Ia menilai, sudah waktunya Kalbar mengadopsi sistem digital sepenuhnya untuk semua jenis layanan publik. Dengan sistem digital, warga bisa mengunggah dokumen secara daring, tanpa harus antre dan datang ke kantor pelayanan.
“Semua persyaratan bisa diunggah online. Masyarakat tidak perlu lagi ke kantor layanan, cukup dari rumah. Penyelesaian bisa lebih cepat karena digitalisasi. Semua permintaan layanan administratif yang masuk hari itu, harus selesai hari itu juga,” sarannya.
Gagasan Hendra bukan angan-angan. Di berbagai daerah lain, sistem pelayanan berbasis digital sudah mulai diterapkan. Dari e-KTP hingga pelayanan izin usaha, banyak layanan kini bisa diakses dari gawai di genggaman tangan. Kalbar, menurut banyak pihak, perlu mengejar ketertinggalan ini jika ingin mempercepat proses reformasi birokrasi dan memperbaiki kualitas hidup masyarakatnya.
Namun realita di lapangan menunjukkan bahwa implementasi digitalisasi layanan masih menghadapi banyak tantangan. Infrastruktur internet yang belum merata, kemampuan SDM aparatur yang belum semua siap secara teknologi, serta kurangnya pelatihan dan sosialisasi kepada masyarakat menjadi batu sandungan yang tidak kecil. Namun Harisson menegaskan, tantangan tidak boleh dijadikan alasan untuk terus berjalan di tempat.
“Kita tidak bisa menunggu semuanya sempurna. Perubahan harus dimulai dari sekarang,” ucapnya.
Pernyataan itu seolah menandai sebuah titik balik—di mana pemerintah provinsi Kalimantan Barat mulai menyadari bahwa reformasi pelayanan publik tidak bisa lagi dilakukan setengah hati. Ia harus menyeluruh, mulai dari reformasi mental pegawai, perombakan sistem kerja, pemangkasan prosedur, hingga integrasi teknologi secara menyeluruh.
Masyarakat Kalbar, khususnya mereka yang tinggal di daerah-daerah pelosok, sangat merasakan dampak lambannya pelayanan ini. Di beberapa kecamatan dan desa, pengurusan dokumen penting seperti KTP, KK, akta kelahiran, hingga izin usaha, bisa memakan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Belum lagi jika ada kendala teknis di lapangan, seperti jaringan yang down, printer yang rusak, atau petugas yang sedang cuti.
Situasi ini tidak jarang membuat warga merasa terpinggirkan, seolah-olah mereka tidak memiliki hak yang sama untuk dilayani dengan cepat dan baik. Di titik inilah, desakan Harisson menjadi sangat relevan. Ia tidak hanya berbicara sebagai seorang pejabat, tetapi juga sebagai representasi negara yang bertanggung jawab menghadirkan rasa keadilan dan kehadiran negara bagi seluruh warganya.
Langkah konkret yang bisa segera dilakukan, menurut sejumlah pakar kebijakan publik, adalah dengan mengembangkan sistem single window service berbasis daring di setiap kantor pemerintahan. Sistem ini memungkinkan semua jenis pelayanan—baik dari dinas kependudukan, perizinan, hingga pertanahan—diakses dari satu portal terpadu. Selain itu, pembentukan task force pelayanan cepat di setiap daerah dinilai penting untuk merespons kasus-kasus mendesak yang membutuhkan penanganan segera.
Di sisi lain, pelatihan intensif kepada aparatur sipil negara di semua level juga harus dilakukan secara berkala. Tidak hanya tentang penggunaan sistem digital, tetapi juga peningkatan kapasitas komunikasi dan pelayanan publik. ASN dituntut memiliki empati dan kepekaan terhadap keluhan warga, bukan justru bersikap dingin dan defensif setiap kali mendapat kritik.
Bukan tidak mungkin, dengan reformasi menyeluruh ini, Kalimantan Barat bisa menjadi contoh daerah yang berhasil membalik stigma buruk terhadap birokrasi. Dari yang semula dikenal lamban, kaku, dan sulit diakses, menjadi birokrasi yang gesit, transparan, dan berpihak kepada warga.
Namun untuk mencapai semua itu, dibutuhkan keberanian untuk memotong kebiasaan lama dan menggantinya dengan budaya baru yang berbasis pelayanan prima. Harisson sudah mengambil langkah pertama: menyuarakan keresahan masyarakat dan mendorong percepatan layanan. Kini, tinggal bagaimana jajaran pemerintah daerah menerjemahkan seruan itu menjadi aksi nyata di lapangan.