Protes Denda Rp 1,6 Miliar, Pemilik Kapal Nunukan Lawan Imigrasi: DPRD Minta Jangan Bayar

  

Ketegangan menguat di perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di Nunukan, Kalimantan Utara. Para pemilik kapal penyeberangan internasional yang melayani jalur vital Nunukan–Tawau mendatangi gedung DPRD Nunukan pada Selasa (17/6/2025) dengan satu tujuan: memprotes keras denda imigrasi senilai Rp 1,65 miliar yang dinilai tidak adil dan salah alamat.

Denda yang dijatuhkan oleh Kantor Imigrasi Nunukan ini menyulut polemik besar. Sebab, sanksi dijatuhkan kepada pihak yang sebenarnya tak punya kewenangan hukum untuk mengawasi paspor penumpang, yaitu pemilik kapal. Alasan imigrasi: kapal mereka telah mengangkut 33 penumpang asing—31 warga negara Malaysia dan 2 warga Filipina—dengan paspor yang masa berlakunya tinggal kurang dari enam bulan. Jumlah denda? Rp 50 juta per penumpang, total Rp 1.650.000.000.

Namun bagi para pemilik kapal, tindakan ini adalah kekeliruan yang mendasar. Dalam rapat dengar pendapat yang dipimpin oleh Ketua Komisi I DPRD Nunukan, Andi Mulyono, perwakilan pemilik kapal, Andi Darwin, mempertanyakan logika dan keadilan di balik keputusan ini.

"Di Malaysia, paspor dengan masa berlaku tiga bulan masih boleh digunakan. Di Indonesia harus enam bulan. Kami hanya penyedia jasa angkutan, kenapa kami yang dikenakan denda?" tegas Darwin dalam forum itu, suaranya menggema di ruang sidang DPRD yang sarat ketegangan.

Lebih lanjut, Darwin menyoroti ketimpangan dalam praktik lapangan. Selama ini, mereka tidak diberi wewenang untuk memeriksa paspor penumpang. Bahkan ketika meminta izin untuk melakukannya, menurutnya, pihak imigrasi justru melarang.

“Kami pernah minta izin memeriksa paspor penumpang, tapi ditolak. Kalau seperti ini terus, kami siap berhenti beroperasi,” ancamnya, menandai betapa seriusnya keresahan yang dirasakan para pelaku usaha pelayaran perbatasan.

Surat teguran resmi dari Kantor Imigrasi Nunukan, dengan nomor WIM.18.IMI.4.KU.04.03–042 dan ditandatangani langsung oleh Kepala Kantor Imigrasi Nunukan Adrian Soetrisno, menjadi dasar penetapan denda. Adrian menyatakan, langkah ini bukan keputusan lokal semata, melainkan instruksi langsung dari Direktorat Jenderal Imigrasi, sebagai respons atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mendeteksi tunggakan denda serupa.

“Kami hanya menjalankan instruksi. Ini berdasarkan pemeriksaan manifest oleh BPK, yang menyebut adanya pelanggaran paspor dengan masa berlaku kurang dari enam bulan,” jelas Adrian, mengacu pada UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, yang secara eksplisit mensyaratkan dokumen perjalanan harus memiliki masa berlaku minimal enam bulan sebelum kedaluwarsa.

Namun para pemilik kapal, seperti Nur Rahmat, menilai Imigrasi seharusnya bertindak sesuai dengan mandat dalam Pasal 18 UU Keimigrasian—yang mewajibkan petugas menolak atau memulangkan penumpang yang tidak memenuhi syarat. “Jangan kami yang ditagih, padahal bukan kami yang memberi izin masuk,” sergahnya.

Bagi DPRD Nunukan, polemik ini tak hanya soal uang atau paspor, tapi menyangkut keadilan dan logika hukum. Anggota DPRD Gat Khaleb menegaskan, “Keluar-masuk orang asing adalah wewenang Imigrasi, bukan pemilik kapal.”

Sementara itu, Andre Pratama, anggota DPRD lainnya, mengambil sikap tegas. Ia meminta pemilik kapal untuk tidak membayar denda, dan menantang BPK agar turun langsung ke Nunukan guna memahami konteks lokal yang kompleks.

“Saya sarankan jangan dibayar. Biarkan BPK turun ke lapangan untuk melihat kondisi Nunukan secara langsung,” tegas Andre.

Sadam Husein, anggota DPRD lain, bahkan menuding penagihan ini sebagai bentuk pemerasan oleh negara terhadap warganya sendiri. “Kalau seperti ini, Imigrasi juga harus kena denda,” sindirnya, menyulut tepuk tangan spontan di ruangan.

Ketua Komisi I DPRD, Andi Mulyono, menutup diskusi dengan sebuah analogi tajam. “Ini seperti mempersalahkan penjual pisau karena pisaunya dipakai untuk membunuh,” katanya, mengundang gelak kegetiran dari forum. Ia menyampaikan tiga rekomendasi tegas:

  1. Imigrasi wajib menyampaikan laporan resmi ke Dirjen Imigrasi terkait polemik ini.
  2. Para pemilik kapal tidak perlu membayar denda tersebut.
  3. DPRD akan mengawal langsung kasus ini hingga ke pusat dan meminta audiensi dengan Dirjen Imigrasi.

DPRD juga mengungkap rencana untuk membawa kasus ini ke tingkat lebih tinggi dengan melibatkan Ombudsman dan pihak Kemenkumham agar ada evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan aturan imigrasi di perbatasan.

Polemik ini membuka tirai besar atas betapa rumitnya birokrasi lintas batas yang seringkali menjebak pelaku usaha dalam situasi serba salah. Para pemilik kapal yang menjadi jembatan ekonomi dan sosial antara Indonesia dan Malaysia justru kini merasa menjadi korban sistem yang tidak berpihak.

Nunukan, sebagai kawasan perbatasan yang strategis, membutuhkan aturan yang kontekstual dan berpihak pada realitas lapangan. Sistem harus mampu membedakan antara kesengajaan pelanggaran dan kelalaian administratif. Bila aturan terlalu kaku tanpa ruang dialog, bukan tidak mungkin jalur vital penyeberangan ini lumpuh, dan dampaknya bukan hanya pada pengusaha, tetapi juga pada masyarakat yang menggantungkan hidup dari aktivitas perdagangan dan mobilitas perbatasan.

Sementara itu, respons dari pusat masih dinanti. Apakah akan ada peninjauan ulang terhadap temuan BPK? Apakah Dirjen Imigrasi akan mendengarkan suara dari pinggiran ini? Apakah pemerintah pusat mampu menunjukkan fleksibilitas hukum tanpa mengorbankan prinsip keimigrasian?

Yang pasti, para pemilik kapal telah menyatakan sikap. Mereka tak akan membayar denda yang menurut mereka bukan hanya tidak adil, tapi juga keliru dari segi tanggung jawab hukum. DPRD berdiri bersama mereka, siap menghadap ke Jakarta. Dan Nunukan pun kini menjadi panggung bagi pertarungan antara kebijakan, keadilan, dan akal sehat.

Next Post Previous Post