Kasus Kekerasan Anak Meningkat di Kalbar, Gubernur Ria Norsan Soroti Peran KPAD dan Imbau Orang Tua Lebih Peduli
PONTIANAK — Provinsi Kalimantan Barat kembali diguncang
keprihatinan mendalam atas meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak. Salah
satu kasus terbaru yang menggemparkan masyarakat adalah meninggalnya seorang
balita berusia 1 tahun 11 bulan di Kota Singkawang akibat tindakan kekerasan.
Peristiwa ini memantik reaksi keras dari Gubernur Kalbar, Ria Norsan, yang
menegaskan bahwa perlindungan anak harus menjadi perhatian serius pemerintah
daerah melalui keterlibatan aktif Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD)
Kalbar.
Dalam pernyataannya, Ria Norsan menekankan bahwa pemerintah tidak akan tinggal diam terhadap meningkatnya insiden kekerasan yang menyasar kelompok rentan seperti anak-anak. Ia menegaskan komitmennya untuk memastikan setiap kasus kekerasan anak ditangani secara serius dan menyeluruh.
“Untuk kekerasan pada anak ini tetap kita tangani, karena kita juga kan ada Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kalbar,” ujarnya saat dimintai keterangan pada Sabtu (14/6/2025).
Pernyataan Gubernur ini menandai pentingnya KPAD sebagai ujung tombak perlindungan anak di daerah. Lembaga ini diharapkan mampu melakukan penanganan kasus secara komprehensif, mulai dari investigasi, pendampingan korban, hingga langkah-langkah preventif ke masyarakat luas. KPAD juga diharapkan menjadi penghubung antara pemerintah, lembaga hukum, dan komunitas dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi tumbuh kembang anak.
Kekerasan Tak Selalu oleh Orang Asing
Kasus kekerasan terhadap balita di Singkawang memang
dilakukan oleh orang lain di luar keluarga. Namun, Gubernur Norsan menyoroti
fenomena lain yang tak kalah mencemaskan: banyak kasus kekerasan terhadap anak
justru terjadi di lingkungan keluarga sendiri, bahkan oleh orang tua
kandungnya.
“Kalau yang kemarin kan memang bukan orang tuanya. Tapi yang sering terjadi ini biasanya kekerasan pada anak dilakukan oleh orang tuanya sendiri,” tuturnya.
Fenomena ini menunjukkan adanya krisis dalam pola pengasuhan yang dialami sebagian keluarga. Kondisi ekonomi, tekanan sosial, ketidaktahuan dalam mendidik, hingga trauma psikologis menjadi faktor pemicu kekerasan di rumah tangga. Anak yang seharusnya mendapatkan kasih sayang dan perlindungan justru menjadi korban dari lingkungan terdekatnya sendiri.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa program perlindungan anak tidak bisa hanya difokuskan pada aspek hukum semata, namun juga harus merambah ke ranah edukasi keluarga dan pemberdayaan psikososial. Pemerintah daerah, bersama KPAD dan instansi terkait, ditantang untuk menyusun strategi perlindungan yang lebih membumi, menyentuh langsung persoalan akar dari kekerasan itu sendiri.
Imbauan kepada Orang Tua
Sebagai pemimpin daerah, Ria Norsan tidak hanya menyampaikan
penegasan kebijakan, tetapi juga menyampaikan imbauan moral kepada seluruh
orang tua di Kalimantan Barat. Ia meminta para orang tua agar meningkatkan
kesadaran dalam mendidik anak, menjauhi praktik kekerasan dalam rumah tangga,
serta menjaga komunikasi yang sehat di dalam keluarga.
“Orang tua harus berhati-hati saat mendidik anak, sehingga anak tidak salah dan terjerumus dalam pergaulan yang tidak baik,” katanya.
Imbauan ini mencerminkan kekhawatiran yang mendalam atas kerentanan anak terhadap pengaruh negatif, baik di dalam rumah maupun di lingkungan sosial. Dalam konteks perkembangan zaman yang serba cepat, termasuk teknologi digital dan media sosial, anak-anak menghadapi berbagai risiko mulai dari kekerasan verbal, perundungan siber, eksploitasi seksual, hingga keterlibatan dalam perilaku menyimpang. Maka, peran orang tua menjadi sangat sentral untuk memastikan anak tetap berada dalam jalur tumbuh kembang yang sehat dan aman.
Norsan menambahkan bahwa peran orang tua bukan hanya soal memberi makan dan pendidikan formal, tetapi juga membangun karakter dan membentuk perilaku yang kuat dalam diri anak. Kegagalan orang tua dalam mengelola emosi dan menyampaikan nilai-nilai secara tepat sering kali berujung pada kekerasan sebagai bentuk pelampiasan frustrasi atau keputusasaan.
Urgensi Perlindungan Anak di Kalbar
Kalimantan Barat, seperti banyak provinsi lain di Indonesia,
menghadapi tantangan serius dalam isu perlindungan anak. Meski telah ada
undang-undang yang mengatur tentang hak-hak anak serta lembaga-lembaga
pelindung, implementasinya di lapangan masih belum optimal. Keterbatasan sumber
daya manusia, rendahnya literasi pengasuhan, serta budaya patriarkis yang masih
kuat menjadi hambatan besar dalam menciptakan sistem perlindungan anak yang
efektif.
Dalam banyak kasus, kekerasan terhadap anak tidak dilaporkan karena dianggap sebagai urusan keluarga. Ada pula ketakutan dari korban atau keluarganya untuk membuka suara karena tekanan sosial atau kekhawatiran akan stigma. Akibatnya, banyak anak yang menderita dalam diam, tanpa perlindungan dan pemulihan yang layak.
Meningkatnya kasus seperti di Singkawang menjadi cermin bahwa Kalimantan Barat membutuhkan pembenahan sistem perlindungan anak yang lebih terintegrasi. KPAD, sebagai institusi yang diamanahkan melindungi hak anak, harus diperkuat tidak hanya dari segi kewenangan, tetapi juga dukungan anggaran, fasilitas layanan psikologi, hingga kemitraan dengan lembaga swadaya masyarakat.
Arah Kebijakan ke Depan
Gubernur Ria Norsan mengisyaratkan bahwa pihaknya akan
menindaklanjuti lonjakan kasus kekerasan anak ini dengan sejumlah langkah
konkret. Salah satunya adalah memperkuat peran KPAD dengan memberikan mandat
yang lebih luas dalam pendampingan hukum dan psikososial terhadap korban.
Tak hanya itu, upaya edukasi masyarakat akan digencarkan melalui sinergi dengan dinas pendidikan, dinas sosial, dan lembaga-lembaga keagamaan. Program pelatihan parenting, kelas pengasuhan, serta kampanye anti-kekerasan rencananya akan diperluas hingga ke pelosok desa.
Dalam waktu dekat, Pemerintah Provinsi Kalbar juga berencana menginisiasi forum kolaboratif lintas sektor yang melibatkan unsur tokoh adat, akademisi, jurnalis, LSM, dan dunia usaha untuk merumuskan strategi bersama menekan angka kekerasan anak di Kalbar. Kesadaran bahwa persoalan ini tidak bisa ditangani satu pihak saja menjadi dasar dari pendekatan multi-stakeholder yang mulai diupayakan.
Di akhir pernyataannya, Ria Norsan berharap seluruh
masyarakat Kalbar bisa ikut ambil bagian dalam menjaga lingkungan yang aman dan
ramah anak. Ia mengajak semua kalangan untuk tidak diam jika melihat atau
mengetahui kasus kekerasan terhadap anak di sekitarnya.
“Anak-anak adalah masa depan Kalbar. Mereka harus dilindungi, disayangi, dan dibimbing dengan baik. Jangan sampai kita abai, karena satu kekerasan bisa menghancurkan satu generasi,” demikian pesan moral yang disampaikannya.
Dengan meningkatnya perhatian dari pemerintah provinsi, serta keterlibatan aktif masyarakat, diharapkan Kalbar ke depan bisa menjadi wilayah yang bebas dari kekerasan terhadap anak, dan justru menjadi contoh provinsi yang mengutamakan hak-hak anak sebagai fondasi utama pembangunan berkelanjutan.