Kalteng Dorong Legalitas Tambang Rakyat: Usulan 35.000 Hektare WPR Menanti Restu Pusat
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menunjukkan langkah proaktif dalam membenahi sektor pertambangan rakyat yang selama ini berkembang tanpa kerangka hukum yang memadai. Dengan mengusulkan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) seluas 35.000 hektare ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, pemerintah daerah menandai satu babak penting dalam upaya legalisasi dan pemberdayaan masyarakat lokal di sektor pertambangan. Usulan ini bukan sekadar rutinitas administratif, melainkan representasi dari aspirasi nyata yang datang dari berbagai kabupaten dan kota di wilayah Kalteng, khususnya mereka yang secara turun-temurun telah bergantung pada pertambangan sebagai sumber penghidupan. Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kalteng, Vent Christway, menyebutkan bahwa daerah-daerah yang mengajukan wilayahnya untuk ditetapkan sebagai WPR di antaranya adalah Kabupaten Gunung Mas, Murung Raya, Barito Utara, serta sejumlah kabupaten lain yang memang dikenal memiliki potensi tambang rakyat. Menurut Vent, dalam wawancaranya dengan awak media di Palangka Raya pada Senin, 16 Juni 2025, proses pengusulan ini bukanlah langkah yang berdiri sendiri melainkan bagian dari skema yang lebih luas, yakni penyusunan peta jalan pembangunan sektor pertambangan rakyat yang berkelanjutan, berkeadilan, dan tentunya, legal di mata hukum nasional. Ia menegaskan bahwa WPR merupakan satu-satunya kanal resmi yang memungkinkan masyarakat umum untuk mengelola aktivitas pertambangan skala kecil dengan status yang sah dan diakui oleh negara. Keberadaan WPR pun menjadi dasar hukum utama dalam pengeluaran izin pertambangan rakyat yang selama ini sering menjadi perdebatan antara masyarakat, pemerintah daerah, dan aparat penegak hukum. Dalam praktiknya, banyak masyarakat di wilayah pedalaman dan kawasan mineral Kalteng yang melakukan aktivitas pertambangan secara tradisional karena keterbatasan akses terhadap izin formal, sementara di sisi lain, negara belum cukup cepat memberikan regulasi yang akomodatif. Oleh karena itu, inisiatif Pemprov Kalteng ini menjadi titik terang bagi ribuan penambang kecil yang selama ini berada dalam zona abu-abu hukum. Vent menjelaskan bahwa dalam mekanismenya, Kementerian ESDM akan menetapkan kawasan WPR secara nasional setiap lima tahun sekali, dan untuk periode saat ini, pihaknya tengah menunggu agar usulan dari Kalteng bisa segera dikaji dan ditetapkan. Setelah mendapatkan persetujuan, barulah pemerintah provinsi dapat melanjutkan ke tahap berikutnya, yakni penerbitan izin pertambangan rakyat kepada para pelaku usaha yang tergolong sebagai penambang kecil atau tradisional. Di sinilah peran pemerintah daerah menjadi sangat krusial, tidak hanya sebagai fasilitator administratif, tetapi juga sebagai pembina dan pengawas kegiatan tambang rakyat agar sesuai dengan kaidah teknis, hukum, dan lingkungan yang berlaku. Wilayah Pertambangan Rakyat, seperti dijelaskan lebih lanjut oleh Vent, merupakan solusi konkret untuk menjawab berbagai tantangan yang selama ini melingkupi kegiatan pertambangan rakyat. Dengan adanya penetapan WPR, maka segala aktivitas pertambangan yang sebelumnya dikategorikan ilegal atau liar dapat dilegalkan, selama memenuhi syarat dan ketentuan yang ditetapkan. Ini mencakup aspek keselamatan kerja, teknik penambangan yang sesuai standar, kelestarian lingkungan, serta pelaporan kegiatan produksi kepada instansi terkait. Pemerintah daerah juga akan membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam skema pelatihan dan peningkatan kapasitas agar mereka mampu mengelola pertambangan rakyat dengan pendekatan yang lebih profesional. Hal ini menjadi penting, karena legalisasi tanpa pemberdayaan justru dapat melahirkan persoalan baru, di mana masyarakat yang diberi izin namun tidak didampingi dengan baik dapat tetap terjebak pada praktik lama yang tidak aman dan merusak lingkungan. Untuk itu, Vent menegaskan bahwa usulan WPR seluas 35.000 hektare ini tidak berhenti pada tataran pengakuan hukum semata, melainkan akan diikuti dengan berbagai program pendampingan seperti pelatihan teknis, penguatan kelembagaan tambang rakyat, serta pembentukan koperasi tambang yang dapat menjadi wadah usaha berbasis komunitas. Ia mengakui bahwa selama ini banyak warga yang menggantungkan hidup dari aktivitas penambangan emas, batu bara, dan mineral lainnya tanpa izin resmi, yang pada akhirnya rawan terhadap tindakan penertiban, konflik lahan, dan persoalan hukum lainnya.
Dengan WPR, maka masyarakat tidak hanya terlindungi secara hukum tetapi juga
dapat mengakses bantuan pemerintah dalam bentuk pelatihan, alat kerja, hingga
permodalan. Bahkan, dalam skema jangka panjang, WPR ini bisa menjadi batu
loncatan menuju pembangunan kawasan industri tambang rakyat yang terintegrasi
dengan pusat pemrosesan logam atau mineral skala kecil. Pemerintah Provinsi pun
tengah menggagas model tata kelola tambang rakyat yang lebih terstruktur, di
mana setiap WPR akan memiliki pengelola teknis, pendamping lapangan, dan sistem
pelaporan produksi yang bisa dimonitor oleh pemerintah daerah. Dalam konteks
yang lebih luas, Vent menilai bahwa legalisasi tambang rakyat juga akan memberi
kontribusi pada penerimaan daerah, baik melalui pajak maupun retribusi yang
selama ini tidak dapat dimaksimalkan akibat status ilegal kegiatan tersebut. Ia
juga berharap penetapan WPR bisa membantu menurunkan konflik antara masyarakat
dengan aparat keamanan yang kerap terjadi saat dilakukan penertiban terhadap
tambang ilegal. Melalui pendekatan legal, kolaboratif, dan partisipatif,
pemerintah optimis bahwa tambang rakyat bisa menjadi bagian dari perekonomian
daerah yang sah, berdaya saing, dan berkelanjutan. Selain itu, Pemprov Kalteng
juga berupaya menjadikan kegiatan tambang rakyat sebagai salah satu penopang
ekonomi desa. Dengan pengelolaan yang baik, keberadaan tambang rakyat bisa
menciptakan lapangan kerja lokal, mengurangi kemiskinan, serta mendorong
pertumbuhan ekonomi di kawasan tertinggal. Bahkan, Vent menyebutkan bahwa dalam
jangka menengah, pemerintah provinsi akan mendorong terbentuknya klaster
industri berbasis tambang rakyat yang terintegrasi dengan sektor lain seperti
kerajinan logam, suvenir mineral, hingga jasa transportasi hasil tambang.
Artinya, dampak dari penetapan WPR tidak hanya dirasakan oleh para penambang,
tetapi juga oleh pelaku ekonomi lainnya di wilayah tersebut. Pemprov juga telah
menjalin komunikasi dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk
mengembangkan teknologi tepat guna yang dapat digunakan oleh penambang rakyat
agar aktivitas mereka lebih efisien dan tidak merusak lingkungan. Di sisi lain,
pemerintah juga tengah menyusun regulasi teknis agar setiap aktivitas dalam WPR
harus memenuhi standar kelestarian lingkungan, seperti penggunaan metode
tambang tanpa merkuri, pengelolaan limbah tambang, dan rehabilitasi lahan pasca
tambang. Vent mengakui bahwa tantangan utama dalam mengelola WPR adalah
memastikan bahwa aspek legalitas dan kelestarian lingkungan dapat berjalan
beriringan. Namun ia tetap optimis, dengan dukungan dari kementerian, aparat,
akademisi, dan masyarakat itu sendiri, maka tambang rakyat dapat dijadikan
sebagai contoh model pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Ia
menekankan bahwa saat ini pihaknya tinggal menunggu keputusan dari Kementerian
ESDM untuk menetapkan usulan 35.000 hektare tersebut sebagai WPR yang sah.
Harapannya, proses penetapan ini bisa segera dilakukan agar tidak menghambat
tahapan selanjutnya yang melibatkan pengurusan izin dan program pendampingan.
Vent pun menyatakan kesiapan pemerintah provinsi untuk segera bergerak begitu
keputusan dari pusat dikeluarkan. Penetapan ini nantinya akan diumumkan secara
terbuka dan disosialisasikan kepada seluruh masyarakat di wilayah yang masuk
dalam daftar WPR agar mereka mengetahui hak dan kewajibannya sebagai penambang
legal. Ia juga mengingatkan bahwa penetapan WPR bukanlah akhir dari perjuangan,
melainkan awal dari proses panjang menuju pertambangan rakyat yang berdaya,
terorganisir, dan berkelanjutan. Maka dari itu, dukungan dari semua pihak
sangat dibutuhkan, mulai dari tokoh adat, kepala desa, Bupati, hingga
masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, langkah Kalimantan Tengah dalam
mendorong 35.000 hektare Wilayah Pertambangan Rakyat bukan hanya mencerminkan
kepedulian pemerintah terhadap masyarakat kecil, tetapi juga menunjukkan visi
jangka panjang dalam membangun ekonomi daerah yang lebih inklusif, berlandaskan
hukum, dan tetap menjaga harmoni dengan alam yang menjadi rumah bersama.