Kaltara Serukan Aksi Nyata Malaysia di Perbatasan: Dari Gawai Dayak ke Mimpi Infrastruktur Bersama
Ketika bunyi gong dan denting sape mengalun menyambut Gawai
Dayak di Negeri Sarawak, ada makna lain yang dibawa Wakil Gubernur Kalimantan
Utara (Kaltara), Ingkong Ala, dalam kunjungannya ke jantung budaya rumpun Dayak
tersebut. Bukan sekadar menjadi bagian dari perayaan adat dan budaya,
kehadirannya mewakili suara dari kawasan yang selama ini seperti menjadi
bayang-bayang dalam wacana pembangunan lintas batas antara Indonesia dan
Malaysia.
Ingkong tidak datang hanya sebagai pejabat yang menyambut undangan budaya. Ia membawa misi, harapan, bahkan desakan: agar Malaysia tak lagi menutup mata terhadap realitas di balik pos lintas batas yang berdiri megah di sisi Indonesia, sementara di seberangnya, tanah Malaysia masih sunyi dari sentuhan infrastruktur yang setara. Terutama, wilayah perbatasan Kalimantan Utara yang berbatasan langsung bukan hanya dengan Sarawak, tetapi juga dengan Sabah.
"Ini bukan hanya soal seremoni budaya. Gawai Dayak ini kami gunakan untuk mengetuk pintu kesadaran, bahwa pembangunan di perbatasan itu harus dua arah," ungkap Ingkong saat dikonfirmasi usai menghadiri rangkaian Gawai Dayak, Senin (23/6/2025). Pernyataannya mengandung bobot politis dan sosial sekaligus—mengirim pesan halus namun tajam ke pemerintah negeri tetangga.
Berbeda dengan Kalimantan Barat (Kalbar) yang telah lama masuk dalam radar forum Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia (Sosek Malindo), Kaltara selama ini seperti belum benar-benar dianggap sebagai kawasan strategis yang layak diperhatikan secara seimbang. Padahal, kondisi geografis Kaltara jauh lebih kompleks. Ia tidak hanya bersentuhan dengan satu negara bagian Malaysia, tetapi dua sekaligus—Sarawak dan Sabah—dengan bentangan wilayah yang dihuni masyarakat-masyarakat adat dari rumpun Dayak yang sama, namun dipisahkan oleh garis imajiner negara.
Menurut Ingkong, ketimpangan perhatian itu terlihat jelas dari arah pembangunan. Di sisi Indonesia, Pemerintah telah membangun Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Long Nawang di Kabupaten Malinau. Sebuah proyek ambisius yang tidak hanya memperlihatkan kehadiran negara, tetapi juga menjadi simbol pelayanan dan akses masyarakat di pinggiran. Namun ketika pandangan dilempar ke seberang, ke sisi Malaysia, yang terlihat justru kontras: jalan tanah yang masih merintih, fasilitas publik yang minim, dan absennya sinyal dari upaya pembangunan yang setara.
"PLBN itu bukan sekadar gapura besar, bukan hanya bangunan gagah. Ia adalah pesan bahwa negara hadir untuk rakyatnya. Tapi kalau di sisi Malaysia tidak ada gerakan yang sepadan, ini seperti dialog yang kehilangan lawan bicara," kata Ingkong dalam nada getir namun tetap diplomatis.
Yang menjadi ironi, masyarakat yang tinggal di kedua sisi perbatasan itu sejatinya adalah satu darah, satu akar. Mereka berbicara dalam bahasa yang mirip, mengenakan manik dan kain yang tak berbeda, dan menari dalam irama yang sama ketika merayakan panen atau menyambut tamu. Namun kehidupan mereka tetap berjalan dalam dua realitas berbeda, tergantung dari sisi perbatasan mana mereka dilahirkan.
Pemerintah Kaltara melihat peluang untuk menjembatani perbedaan itu melalui pendekatan budaya. Gawai Dayak, yang menjadi momen besar bagi masyarakat Dayak di Sarawak, bukan hanya perayaan semata, tetapi juga momentum untuk menyuarakan kepentingan strategis. Dalam forum-forum informal yang menyertai perayaan itu, Ingkong dan delegasi Kaltara membuka obrolan serius mengenai pentingnya membangun akses di wilayah Malaysia yang berbatasan langsung dengan Long Nawang.
"Solidaritas antar Dayak bisa menjadi kekuatan moral. Kami ingin agar suara masyarakat yang hidup di perbatasan tidak lagi diabaikan. Mereka punya hak yang sama untuk hidup lebih layak," ujar Ingkong, menyampaikan harapan yang tidak hanya menjadi milik Pemerintah Provinsi, tetapi juga milik para kepala adat, tokoh masyarakat, dan generasi muda Dayak yang menyimpan impian tentang keterhubungan yang lebih adil dan nyata.
Ia juga menyinggung tentang pentingnya dukungan dari pemerintah pusat, baik di Jakarta maupun Kuala Lumpur. Menurutnya, jika hanya satu pihak yang terus bergerak membangun, maka pembangunan lintas batas akan pincang. Terlebih lagi, wilayah Kayan dan sekitarnya sangat potensial untuk dikembangkan, baik dari sisi ekonomi, budaya, maupun keamanan.
Ingkong menambahkan bahwa Sosek Malindo, sebagai forum bilateral yang seharusnya menjembatani komunikasi pembangunan lintas batas, masih belum sepenuhnya mencerminkan keseimbangan perhatian. Banyak pembahasan dalam forum tersebut yang cenderung menitikberatkan pada persoalan Kalbar. Sementara Kaltara, yang memiliki potensi lebih besar dalam konektivitas dan pengembangan sumber daya lintas batas, masih menunggu giliran untuk benar-benar diperhatikan secara penuh.
Pemerintah Provinsi Kaltara kini tengah menyiapkan sejumlah inisiatif untuk memperkuat suara mereka di tingkat pusat. Salah satunya adalah dengan mendorong integrasi antara program pembangunan daerah dengan agenda nasional, sehingga pengaruhnya bisa lebih kuat dalam pembahasan bilateral. Keterlibatan masyarakat adat, akademisi, dan tokoh lintas sektor juga dipandang krusial dalam membangun argumen yang kokoh untuk mendesak Malaysia ikut serta dalam proyek infrastruktur yang bersifat lintas batas.
Tidak hanya itu, pendekatan berbasis data dan fakta lapangan juga tengah dikumpulkan sebagai bahan advokasi. Pemerintah Kaltara ingin agar semua pihak memahami realitas di lapangan secara utuh: betapa sulitnya masyarakat mengakses layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan, dan betapa pentingnya infrastruktur jalan, jembatan, serta telekomunikasi untuk mengubah wajah perbatasan menjadi lebih manusiawi.
Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Indonesia telah menggelontorkan anggaran cukup besar untuk membangun PLBN di berbagai titik, termasuk Long Nawang. Namun pembangunan ini membutuhkan kesinambungan yang tidak bisa hanya mengandalkan satu sisi. Ketika satu negara membangun jalan sampai ke garis batas, sementara negara tetangganya berhenti di tengah hutan, maka konektivitas tidak pernah terjadi. Yang lahir hanyalah monumen diam yang menjadi saksi ketimpangan.
Ingkong menyadari bahwa diplomasi pembangunan ini bukan perkara mudah. Ada banyak lapisan persoalan, mulai dari perbedaan sistem pemerintahan, prioritas anggaran, hingga sensitivitas nasionalisme. Namun ia percaya, pintu pertama bisa dibuka melalui jalur budaya. Ia percaya, jika masyarakat Dayak bisa duduk bersama dalam satu perayaan, menari dan menyanyi dalam satu irama, maka pemimpin mereka juga seharusnya bisa duduk dalam satu meja, menyusun strategi bersama, membangun wilayah perbatasan dengan semangat kebersamaan yang tulus.
Dari Sarawak, suara itu kini telah sampai ke Kaltara. Dari Kaltara, gema itu diharapkan bisa menyeberang kembali, menembus dinding birokrasi di Kuala Lumpur dan menancap di ruang-ruang keputusan. Karena yang diinginkan bukan hanya bangunan megah dan jalan lebar. Yang dicari adalah rasa keadilan. Bahwa di ujung utara Kalimantan, ada masyarakat yang menanti kepastian. Bukan janji.
Dan Gawai Dayak itu, lebih dari sekadar pesta panen, telah menjadi simbol dari pertemuan dua bangsa yang ditautkan oleh akar sejarah yang sama. Sebuah perayaan yang secara diam-diam telah disusupi pesan pembangunan lintas batas yang menunggu untuk dijawab dengan tindakan nyata.