Enam Kepala Terjerat Skandal Korupsi Bandara Rahadi Oesman: Di Balik Pembangunan yang Berujung Penjara
Skandal korupsi kembali mencoreng wajah pembangunan
infrastruktur di Kalimantan Barat. Kali ini, mega proyek pengembangan Bandara
Rahadi Oesman di Ketapang menjadi titik api baru dalam upaya penegakan hukum
oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalbar. Pekerjaan fisik yang seharusnya menjadi
landasan kemajuan dan mobilitas masyarakat justru berubah menjadi ladang
penyelewengan anggaran yang menyebabkan kerugian negara hingga miliaran rupiah.
Selasa, 17 Juni 2025 menjadi hari bersejarah dalam
pengusutan kasus ini, di mana enam tersangka resmi ditetapkan dan langsung
ditahan oleh tim penyidik dari Bidang Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejati
Kalbar. Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Kalbar, Siju, dalam
keterangannya menyebut bahwa langkah hukum ini merupakan hasil dari
penyelidikan massif dan menyeluruh terhadap pekerjaan pengembangan Bandara
Rahadi Oesman tahun anggaran 2023.
“Para tersangka terbukti melakukan penyimpangan yakni
pekerjaan yang tidak sesuai dengan volume dan spesifikasi sebagaimana yang
termuat dalam Addendum Pekerjaan Berdasarkan Perhitungan dari Ahli Fisik
Bangunan,” kata Siju dengan nada tegas, memperlihatkan keseriusan Kejati Kalbar
dalam menindak segala bentuk korupsi tanpa pandang bulu.
Menurut hasil audit fisik yang dilakukan oleh tenaga ahli
independen, ditemukan adanya ketidaksesuaian antara pekerjaan yang tercantum
dalam kontrak dengan realisasi di lapangan. Selisih volume dan mutu pekerjaan
itu tidak main-main—nilainya mencapai lebih dari delapan miliar rupiah.
Tepatnya, kerugian negara ditaksir sebesar Rp8.095.293.709,48. Jumlah ini cukup
besar untuk menghidupkan kembali program-program sosial di Kalbar atau
membangun berbagai fasilitas publik lainnya.
Siju menjelaskan bahwa dari hasil penyelidikan yang mendalam
dan berlapis, enam nama mencuat sebagai pelaku utama dalam praktik kotor
tersebut. Mereka adalah AH, ASD, H, BEP, AS, dan HJ. Dari enam tersangka ini,
lima merupakan laki-laki dan satu orang perempuan. Nama-nama tersebut, meskipun
disingkat, mewakili jabatan penting yang berkaitan langsung dengan proses
pengadaan dan pelaksanaan proyek. Mereka pun kini telah resmi ditahan untuk
menjalani proses hukum lebih lanjut.
Penahanan para tersangka dilakukan setelah tim penyidik
merasa cukup bukti dari serangkaian pemeriksaan saksi, dokumen kontrak, hasil
audit teknis, hingga keterangan para ahli. Penahanan ini sekaligus menjadi
sinyal keras kepada siapa saja yang terlibat atau berniat menyalahgunakan
proyek negara. Menurut Siju, penindakan ini tidak hanya bertujuan memberikan
efek jera, tetapi juga mengembalikan marwah hukum serta menjaga integritas
proyek pembangunan.
Penyelidikan ini sendiri bukan perkara mudah. Tim Kejati
Kalbar harus bekerja ekstra keras menyisir setiap dokumen kontrak, menelusuri
proses pengadaan, serta melakukan pengukuran ulang fisik bangunan yang telah
dikerjakan. Pekerjaan ini melibatkan tim teknis dari berbagai bidang—baik
hukum, konstruksi, hingga keuangan. Semua bergerak dalam koordinasi yang ketat
untuk memastikan tidak ada celah bagi para pelaku untuk lolos dari jeratan
hukum.
Namun, Siju juga menegaskan bahwa penyidikan belum berhenti
sampai di sini. Kejati Kalbar masih membuka kemungkinan adanya tersangka baru
seiring perkembangan pemeriksaan yang terus berjalan. Beberapa saksi tambahan
tengah dipanggil untuk memberikan keterangan, sementara tim audit juga masih
bekerja mendalami aspek lain dari pelaksanaan proyek yang belum sepenuhnya
tergali.
“Terkait tersangka baru dalam kasus penyelewengan Pekerjaan
Pengembangan Bandar Udara Rahadi Oesman Ketapang, Kejati Kalimantan Barat masih
terus melakukan upaya penyelidikan dan tidak menutup kemungkinan adanya saksi
dan tersangka baru,” tegas Siju dalam pernyataannya.
Proyek pengembangan Bandara Rahadi Oesman sendiri merupakan
salah satu agenda prioritas pembangunan infrastruktur di Kalimantan Barat.
Bandara ini diharapkan mampu menjadi pintu masuk utama ke wilayah selatan
Kalbar dan menopang pertumbuhan ekonomi daerah, terutama dalam hal pariwisata
dan logistik. Namun, alih-alih menjadi simbol kemajuan, proyek tersebut kini
justru menjadi lambang dari bagaimana pembangunan bisa gagal jika dijalankan
tanpa integritas dan pengawasan yang kuat.
Di balik proyek bernilai puluhan miliar rupiah itu, ternyata
tersimpan jaringan kepentingan yang hanya mementingkan keuntungan pribadi.
Praktik-praktik manipulasi volume pekerjaan, pengurangan kualitas bahan
bangunan, hingga pengaturan tender—semuanya menjadi modus klasik yang kembali
berulang. Dengan hasil audit teknis yang jelas menyatakan bahwa ada
penyimpangan antara pekerjaan yang direncanakan dengan hasil yang terealisasi,
maka tidak sulit bagi aparat penegak hukum untuk membongkar siapa yang bermain di
balik layar.
Penangkapan enam tersangka ini juga menjadi cermin dari
keseriusan Kejati Kalbar dalam menjalankan mandat pemberantasan korupsi. Tidak
hanya mengejar angka kerugian negara, tapi juga menelusuri akar sistemik dari
praktik korupsi itu sendiri. Ke depan, tidak tertutup kemungkinan bahwa
penyelidikan ini akan merembet pada pihak lain, termasuk rekanan swasta atau
pihak-pihak yang selama ini menikmati keuntungan dari ketidakberesan proyek.
Dalam konteks yang lebih luas, kasus Bandara Rahadi Oesman
menjadi pelajaran penting bagi pemerintah daerah dan pusat. Bahwa setiap proyek
pembangunan, sekecil apa pun nilainya, harus diawasi ketat dari awal hingga
akhir. Terutama pada proyek strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak,
seperti infrastruktur transportasi. Keterlibatan aparat hukum, masyarakat
sipil, media, dan lembaga pengawas sangat penting untuk memastikan tidak ada
celah yang bisa dimanfaatkan oleh oknum tak bertanggung jawab.
Publik Kalimantan Barat pun kini menunggu, bagaimana
kelanjutan proses hukum ini akan berjalan. Apakah enam tersangka ini akan
segera disidangkan? Apakah Kejati Kalbar mampu membuktikan semua dakwaan di
pengadilan? Dan yang paling penting: akankah uang negara yang telah dikorupsi
bisa dikembalikan?
Pertanyaan-pertanyaan ini menggantung di udara, sembari
masyarakat berharap bahwa keadilan akan ditegakkan secara menyeluruh, tanpa
kompromi dan tanpa diskriminasi. Sebab publik sudah terlalu jengah melihat
proyek-proyek megah yang hanya menjadi panggung pertunjukan bagi para pemburu
rente, bukan sebagai bukti kemajuan yang nyata.
Dengan semakin terbukanya informasi dan keterlibatan publik
dalam pengawasan proyek-proyek pembangunan, harapannya skandal serupa tidak
lagi terulang. Bandara seharusnya menjadi simbol konektivitas, bukan penjara
bagi para pejabat dan kontraktor yang menyalahgunakan wewenang.
Kini, enam nama telah resmi mendekam di balik jeruji besi. Masyarakat Kalimantan Barat menantikan langkah-langkah lanjutan: apakah kejaksaan akan menjerat nama-nama besar lain di balik proyek ini? Atau adakah tokoh politik lokal yang juga akan terseret? Yang jelas, pintu keadilan telah dibuka. Dan jika benar bahwa hukum adalah panglima, maka siapa pun yang terlibat harus bertanggung jawab di hadapan pengadilan—apa pun latar belakang dan jabatannya.