Dari Panggung Literasi ke Panggung Budaya: Sujiwo dan Gagasan Besar Menenun Masa Depan Kubu Raya
![]() |
Ilustrasi AI |
Sungai Raya, Kubu Raya—Deru tepuk tangan mengalun dari
pelataran SMP Negeri 2 Sungai Raya. Festival Literasi Budaya Nusantara edisi
keempat baru saja dimulai, namun semangat yang membuncah dari para peserta
seolah menyulut bara semangat kolektif. Di tengah antusiasme para siswa, guru,
dan seniman lokal yang berjejer di sudut-sudut panggung dan stan, Bupati Kubu
Raya, Sujiwo, berdiri di hadapan audiens dengan mimik yang tidak main-main. Ia
bukan hanya datang untuk membuka acara. Ia membawa sebuah gagasan besar yang
bertumbuh dari kedalaman sejarah dan budaya tanah yang ia pimpin—gagasan bahwa
literasi tak bisa lagi dibatasi hanya pada lembar-lembar bacaan, melainkan
harus dijelmakan sebagai pemahaman terhadap jati diri, terhadap warisan,
terhadap kebudayaan yang mencerminkan wajah asli bangsa.
“Kerajaan-kerajaan telah berkontribusi terhadap berdirinya Republik ini,” ujar Sujiwo dengan nada yang dalam, bukan sebagai seruan kosong, tapi sebagai pengingat keras yang menggugah kesadaran kolektif akan akar yang sering kita lupakan. Di bawah langit cerah Kubu Raya, ia menggugat persepsi lama tentang literasi yang hanya berkutat pada membaca dan menulis. Sujiwo mengajak agar literasi diinterpretasikan ulang: bukan sekadar keterampilan mekanis, melainkan kesanggupan menyerap makna, menafsirkan peristiwa, dan mewarisi nilai.
Dalam narasinya yang mengalir laksana cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun, Sujiwo menyentuh aspek sejarah yang selama ini tersembunyi di balik buku-buku pelajaran yang kerap dilompati siswa. Ia menegaskan pentingnya nilai sejarah dalam kurikulum pendidikan menengah, terutama sejarah lokal yang terpatri dalam jejak-jejak kerajaan Melayu, Dayak, dan berbagai entitas budaya yang pernah berjaya di Kalimantan Barat. Dalam kacamata Sujiwo, sejarah bukan sekadar tanggal dan nama, melainkan napas kolektif yang membentuk siapa kita hari ini.
Dan tidak berhenti di situ. Ia melangkah lebih jauh ke dalam ranah yang kerap terlupakan dalam kebijakan pendidikan formal: seni dan budaya sebagai ruang aktualisasi literasi. “Literasi selama ini identik dengan bacaan. Padahal, literasi sejati berasal dari lubuk sanubari yang mencintai literasi itu sendiri. Memahami, mendefinisikan, menjentawantahkan, dan menafsirkan—itu semua bagian dari literasi,” ujarnya. Kalimat itu melesat seperti anak panah, menyasar langsung ke jantung paradigma pendidikan yang kerap terjebak pada angka dan rapor, alih-alih pengalaman dan pemahaman mendalam.
Festival Literasi Budaya Nusantara kali ini seolah menjadi panggung konkret bagi gagasan Sujiwo. Berbagai penampilan tari tradisional dari pelajar SMP—dengan kostum megah, warna-warna cerah yang mencerminkan identitas lokal—bermunculan silih berganti. Di sudut lain, stan-stan kecil memajang manuskrip tua, peralatan adat, miniatur istana kerajaan, dan berbagai artefak yang disediakan oleh komunitas budaya lokal. Di balik setiap stan itu, berdiri para pelajar yang tak hanya mengenakan seragam sekolah, tetapi juga semangat sebagai penjaga warisan.
Dalam pandangan Sujiwo, semua itu bukan sekadar pertunjukan, melainkan cermin dari penghayatan literasi yang sesungguhnya—yang hidup, yang bergerak, dan yang terus berevolusi. Ia berbicara tentang pentingnya pelestarian adat istiadat dan kesenian tradisional sebagai bentuk literasi yang lebih dalam. Ketika seorang anak mampu menari tarian daerahnya dengan penuh penghayatan, ia sedang membaca sejarahnya sendiri. Ketika seorang remaja menghafal mantra-mantra kuno dalam bahasa leluhurnya, ia sedang menulis ulang identitasnya yang sempat tergerus zaman.
“Saya juga memiliki impian agar Kubu Raya memiliki taman budaya, sebagai ruang ekspresi bagi anak-anak. Ini akan saya diskusikan lebih lanjut,” katanya. Ucapan itu disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai. Sebuah taman budaya—bukan sekadar taman bermain atau ruang terbuka hijau—tapi wadah yang menghimpun nilai, ekspresi, dan semangat kreatif generasi muda. Dalam bayangan Sujiwo, taman budaya bukan hanya tempat berkumpul, tetapi menjadi titik temu antara masa lalu dan masa depan, antara tradisi dan inovasi, antara literasi dan budaya.
Ia percaya bahwa ruang semacam itu akan menjadi tempat di mana anak-anak bisa mengenal wayang kulit tanpa perlu menunggu pergelaran setahun sekali, tempat di mana alat musik tradisional seperti sape’ atau gambus bisa dimainkan bersama gitar listrik dan piano dalam satu panggung yang sama, tempat di mana dongeng nenek moyang bisa ditransformasi menjadi film pendek karya pelajar SMP, tempat di mana semangat literasi tidak sekadar didiktekan melalui kurikulum, melainkan dijalani sebagai gaya hidup.
Pada titik ini, Festival Literasi Budaya Nusantara bukan sekadar perayaan simbolik. Ia menjadi semacam laboratorium sosial tempat ide-ide besar diuji dalam kenyataan. Di salah satu sesi, guru-guru dari berbagai SMP di Kubu Raya berkumpul dalam diskusi panel. Mereka membahas cara-cara inovatif mengintegrasikan sejarah lokal dalam pelajaran, berbagi pengalaman tentang tantangan dalam melibatkan siswa dalam kegiatan seni budaya, hingga memetakan peluang kolaborasi lintas sekolah untuk menghidupkan kembali sanggar-sanggar seni yang mulai sepi peminat.
Seorang guru dari SMP di kawasan Kubu menuturkan bagaimana ia dan rekan-rekannya mengajak murid untuk membuat pertunjukan teatrikal berdasarkan sejarah kerajaan Kubu. “Kami tidak hanya ajarkan kronologi, tapi juga minta mereka menggali sumber lisan dari orang tua dan tetua kampung. Mereka mewawancara, mereka menulis naskah, mereka tampil. Itu membuat sejarah lebih hidup,” ujarnya. Cerita ini menjadi bukti bahwa semangat Sujiwo bukan sekadar retorika panggung, tapi mulai hidup dalam gerakan kecil di ruang-ruang kelas.
Semakin lama, acara ini terasa seperti persilangan antara sekolah, museum, teater, dan balai adat. Para siswa bukan hanya menjadi peserta, tapi juga kurator, penampil, dan pencipta. Salah satu grup tari dari Sungai Kakap menampilkan pertunjukan “Jejak Panembahan,” yang mengisahkan kisah heroik pemimpin kerajaan kuno. Dengan kostum yang megah dan gerakan yang menggambarkan simbol-simbol kebesaran masa lampau, mereka membawa penonton ke zaman di mana literasi tidak ditulis dalam huruf latin, tapi ditorehkan dalam kayu, disulam dalam tenunan, dan dituturkan lewat nyanyian.
Yang menarik, gagasan Sujiwo ini tidak datang secara tiba-tiba. Ia telah lama dikenal sebagai figur yang dekat dengan isu-isu budaya. Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, ia kerap menyinggung pentingnya “merekam kembali suara tanah” yang kian tenggelam oleh modernitas. Ia meyakini bahwa pembangunan tidak boleh hanya berorientasi pada fisik, tetapi juga harus menyertakan dimensi kultural yang mengakar pada identitas lokal.
Di antara kerumunan peserta festival, terlihat juga para pegiat budaya, tokoh adat, dan seniman lokal yang turut menyumbangkan perspektif mereka. Salah satunya, seorang seniman tari bernama Erawati, menuturkan bahwa gagasan taman budaya dari Bupati Sujiwo adalah mimpi lama yang akhirnya menemukan resonansi. “Sudah lama kami ingin ada ruang seperti itu. Selama ini kami hanya punya ruang kecil di rumah masing-masing. Kalau ada taman budaya, itu seperti rumah bersama,” ujarnya.
Bagi Sujiwo, literasi bukanlah instrumen akademik semata. Ia melihatnya sebagai lensa besar yang bisa menjembatani generasi muda dengan akar mereka. Dan akar itu, menurutnya, tidak hanya tumbuh dari buku-buku yang dibaca, tapi dari kesadaran akan sejarah, dari tubuh yang menari, dari lisan yang bertutur, dari simbol-simbol budaya yang tetap hidup di tengah derasnya arus globalisasi.
Dengan panggung sebagai medium dan semangat kolektif sebagai bahan bakarnya, Festival Literasi Budaya Nusantara di Kubu Raya bukan lagi sekadar agenda tahunan, melainkan tanda dari sebuah pergeseran paradigma: dari sekadar membaca ke memahami makna, dari sekadar menonton ke merasakan ruh budaya, dari sekadar menghafal ke menjelmakan nilai dalam keseharian. Dan di tengah semua itu, Sujiwo berdiri bukan hanya sebagai pemimpin daerah, tetapi sebagai penutur zaman yang sedang menenun benang-benang masa depan dengan motif yang ia gali dari masa lalu.