Dari Ladang ke Negeri Jiran: Kiprah Polri dalam Ekspor Jagung dan Misi Ketahanan Pangan Nasional

  

Di tengah geliat reformasi sektor pertanian dan desakan akan kemandirian pangan nasional, satu langkah besar kembali tercatat dalam sejarah modern Indonesia. Pada Kamis, 5 Juni 2025, sebuah momen monumental terjadi di Kalimantan Barat: Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) secara resmi melepas ekspor perdana jagung hasil panen dalam negeri ke Malaysia. Sebanyak 1.200 ton jagung diberangkatkan menuju Serawak, negeri jiran, sebagai bagian dari strategi besar menuju swasembada pangan.

Namun, ekspor itu hanyalah puncak gunung es dari rangkaian kerja panjang dan lintas sektor yang digawangi Polri. Di balik keberhasilan itu, tersimpan kerja keras ribuan petani, keterlibatan institusi negara, dan kolaborasi tak terputus dari berbagai pemangku kepentingan. Bukan hanya sebuah cerita tentang ekspor jagung, ini adalah narasi tentang transformasi peran Polri, dari sekadar penjaga keamanan menjadi salah satu pilar utama dalam pembangunan nasional, khususnya dalam sektor pangan.

Panen Raya Jagung Kuartal II Tahun 2025 yang menjadi latar peristiwa ekspor ini, dipimpin langsung oleh Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Dalam suasana meriah penuh semangat di Kalimantan Barat, Presiden menyaksikan sendiri bagaimana kontribusi nyata berbagai elemen bangsa mulai menunjukkan hasil. Salah satu sorotan utamanya tentu saja peran Polri, yang diwakili langsung oleh Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.

Dalam keterangannya, Sigit menjelaskan bahwa Polri, khususnya Polres Bengkayang, bekerja bahu membahu bersama TNI AU melalui Lanud Harry Hadisoemantri, masyarakat lokal, dan berbagai stakeholder lainnya. Kolaborasi ini tak hanya sebatas penjagaan atau pengawalan, tetapi masuk hingga ke inti pertanian: pengelolaan lahan, penanaman, edukasi pertanian, serta penyediaan alat dan mesin pertanian (Alsintan). Hasilnya tidak main-main. Panen kali ini mencatat peningkatan produksi yang sangat signifikan.

Salah satu kunci kesuksesan panen tersebut adalah pemanfaatan teknologi dan inovasi. Bibit unggul Hibrida P27 yang digunakan terbukti tahan penyakit dan memiliki hasil panen tinggi. Selain itu, pemupukan dilakukan dengan menggunakan produk hasil riset lokal, yaitu pupuk presisi MIGO Bhayangkara yang dikembangkan oleh Polda Kalimantan Barat. Sinergi antara ilmu pengetahuan dan semangat gotong royong inilah yang menjadi pondasi keberhasilan panen raya kali ini.

Peningkatan produksi tidak hanya menjadi kebanggaan nasional, namun juga berdampak langsung terhadap kesejahteraan petani. Jika sebelumnya pendapatan petani jagung di daerah tersebut berkisar pada angka Rp500 ribu per bulan, kini melonjak drastis menjadi Rp4 juta. Lonjakan ini bukan hanya soal angka, tetapi menyiratkan lompatan besar dalam taraf hidup, akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan masa depan yang lebih baik bagi keluarga para petani.

Namun, sukses panen tentu membawa tantangan baru: surplus. Diperkirakan produksi jagung nasional akan mengalami surplus hingga 6 juta ton. Situasi ini menjadi tantangan tersendiri dalam menjaga kestabilan harga dan menyerap hasil petani. Menyadari hal ini, Polri mengambil langkah cepat dan strategis dengan menggandeng Perum Bulog untuk menyerap hasil panen dengan harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp5.500 per kilogram.

Lebih jauh lagi, Polri pun bergerak untuk membangun sistem distribusi dan penyimpanan yang memadai. Sebanyak 18 gudang penyimpanan jagung akan dibangun di lahan milik Polri yang tersebar di 12 provinsi. Total kapasitas penyimpanan diproyeksikan mencapai 18.000 ton, dan seluruh proyek ini ditargetkan rampung pada Agustus 2025. Dengan langkah ini, penyimpanan jagung hasil panen dapat dilakukan secara efisien dan dalam jangka panjang, menghindari pembusukan dan menjaga kualitas hingga ke tangan konsumen.

Jalur hilir pertanian pun tak luput dari perhatian. Polri mengembangkan kemitraan strategis dengan perusahaan pakan ternak berskala nasional seperti PT. Japfa dan PT. Charoen Pokphand. Lewat kerja sama ini, hasil panen jagung akan diolah di 47 pabrik pakan (feedmills) yang tersebar di 17 provinsi. Bahkan, dua pabrik pakan ternak baru kini tengah dibangun di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan dan Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Kedua pabrik ini dirancang untuk menjadi fasilitas pengolahan pakan ternak terbesar di Asia Tenggara—sebuah klaim ambisius yang mencerminkan visi besar pemerintah dan Polri dalam membangun industri pangan nasional.

Langkah lain yang menjadi sorotan dalam proyek raksasa ini adalah pembentukan dan penguatan koperasi. Salah satu yang paling menonjol adalah Koperasi Produsen Teguh Sejahtera. Koperasi ini bukan hanya menjadi simpul antara petani dan pasar, namun telah berhasil menjalin kontrak kerja sama ekspor langsung dengan perusahaan pengolah hasil pertanian di Malaysia. Ini adalah salah satu bukti bahwa petani Indonesia kini tidak lagi diposisikan sebagai objek, melainkan subjek utama dalam rantai pasok global.

Ekspor 1.200 ton jagung ke Serawak hanyalah langkah pertama dari kontrak lebih besar: pemenuhan kebutuhan jagung sebesar 20 ribu ton ke Malaysia. Harga yang disepakati adalah Rp5.900 per kilogram—lebih tinggi dari HPP nasional—yang tentu saja memberikan keuntungan lebih bagi petani. Kegiatan ekspor ini tidak hanya memperluas pasar bagi produk lokal, tetapi juga menjadi alat diplomasi ekonomi yang memperkuat posisi Indonesia sebagai lumbung pangan kawasan.

Apa yang dilakukan Polri di sini jauh melampaui tugas tradisionalnya sebagai penegak hukum. Mereka masuk ke sawah, memegang cangkul, membagikan ilmu pertanian, hingga memfasilitasi ekspor hasil bumi ke luar negeri. Langkah ini menyampaikan pesan kuat: stabilitas nasional tidak cukup hanya dijaga dengan senjata dan patroli. Ia harus dibangun dari akar, dari tanah yang subur dan hasil panen yang melimpah.

Transformasi peran ini tentu tidak terjadi secara instan. Ia adalah hasil dari visi strategis yang menyeluruh, yang menjadikan ketahanan pangan sebagai bagian integral dari keamanan nasional. Dalam konsep ini, ketahanan pangan dipandang sebagai pilar yang sama pentingnya dengan keamanan teritorial dan stabilitas sosial. Tanpa pangan yang cukup dan harga yang stabil, gejolak sosial akan lebih mudah tercipta.

Tentu saja, keberhasilan ini tidak bisa dilepaskan dari dukungan masyarakat, pemerintah daerah, dan berbagai lembaga riset serta mitra swasta. Namun peran Polri sebagai pemicu dan penggerak patut mendapat apresiasi khusus. Di tengah tantangan global, perubahan iklim, dan ketegangan geopolitik, Indonesia justru menunjukkan bahwa keberlanjutan dapat dimulai dari dalam negeri, dengan memberdayakan rakyat dan menjadikan pertanian sebagai poros kekuatan nasional.

Kehadiran Presiden Prabowo Subianto di Kalimantan Barat pada acara panen raya bukanlah seremoni semata. Itu adalah pernyataan politik, simbol dukungan penuh terhadap transformasi peran institusi negara demi mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Ia juga menjadi pengingat bahwa negara hadir hingga ke pelosok—bukan hanya melalui program bantuan, tetapi lewat kerja sama konkret yang meningkatkan produktivitas dan memberi harapan baru bagi jutaan petani.

Di tengah gemuruh alat panen, sorak petani, dan aroma tanah yang baru dipanen, ekspor 1.200 ton jagung ke Malaysia mungkin terdengar kecil bagi sebagian orang. Namun di balik itu, tersembunyi visi besar tentang negeri yang berdiri di atas pondasi swasembada, kerja sama, dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Polri, dalam peran barunya sebagai fasilitator dan pelopor pertanian modern, telah membuka jalan ke arah itu—jalan panjang yang tak mudah, tapi penuh harapan.

Next Post Previous Post