Bara di Bumi Borneo: Karhutla Kalbar Membara di Tengah Tantangan Cuaca dan Akses

  

Kalimantan Barat kembali bergulat dengan bayang-bayang bencana tahunan yang seolah tak kunjung reda: kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Kali ini, api berkobar di sejumlah titik di Kabupaten Kubu Raya, menandai awal musim kemarau yang datang dengan segudang tantangan. Di tengah cuaca yang tidak menentu dan medan yang sulit dijangkau, para petugas di lapangan tak kenal lelah berjibaku memadamkan api yang melalap lahan gambut dan semak belukar. Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kalbar terus mengingatkan masyarakat akan potensi kebakaran yang masih tinggi, meski beberapa hari ke depan diperkirakan akan ada hujan ringan hingga sedang.

 

Api Menjalar di Lahan Gambut Kubu Raya

Sejak Selasa pagi, 10 Juni 2025, bara api mulai merambat di Jalan Sultan Agung, Desa Kuala Dua, Kecamatan Sungai Raya. Vegetasi yang didominasi pakis serta jenis tanah gambut membuat api cepat menyebar ke berbagai penjuru. Tidak hanya vegetasi, kondisi geografis yang sulit dan jarak sumber air yang jauh menjadi batu sandungan besar bagi petugas. Ditambah dengan tiupan angin yang cukup kencang, kebakaran pun semakin sulit dikendalikan.

Namun, berkat kerja keras tim gabungan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalbar dan TNI, api berhasil dijinakkan. Meski begitu, bukan berarti perjuangan berakhir. Asap pekat masih menggantung di udara, menyisakan kekhawatiran akan potensi kebakaran ulang yang sewaktu-waktu bisa terjadi.

Tak jauh dari lokasi tersebut, tim pemadam juga bergerak ke Jalan Parit Pangeran, Desa Arang Limbung. Di sini, tantangan lebih besar menanti. Minimnya sumber air menjadi kendala utama. Namun, upaya pemadaman terus dilakukan secara intensif. Daniel, Ketua Satgas Bencana BPBD Kalbar, mengatakan bahwa mereka menggunakan strategi pemblokiran dan pembasahan lahan untuk mencegah api menyala kembali. Menurutnya, jenis tanah gambut yang ada di wilayah ini menyulitkan proses pemadaman dan menyedot banyak tenaga serta waktu.

“Proses pemadaman di lahan gambut tidak bisa instan. Kita harus pastikan tidak hanya api di permukaan yang padam, tapi juga bara di bawah tanah. Karena itulah kita melakukan pembasahan total,” jelas Daniel saat diwawancarai di lokasi.

Daniel juga menambahkan bahwa operasi darat masih menjadi pilihan utama. Banyak titik api berada di lokasi yang sulit dijangkau kendaraan maupun alat berat. Oleh karena itu, pemadaman harus dilakukan secara manual oleh tim yang menyusuri semak dan rawa.

“Kerjasama tim dan koordinasi menjadi kunci utama kami. Meski medan berat dan cuaca tak menentu, kami berupaya maksimal untuk mengendalikan situasi,” tegasnya.

 

BMKG: Waspadai Kemudahan Terbakarnya Lahan

Sementara upaya pemadaman terus berjalan, BMKG Kalbar tak henti-hentinya menyuarakan peringatan. Fitri, Prakirawan Stasiun Meteorologi Kelas 1 Supadio, mengatakan bahwa kondisi cuaca di Kalimantan Barat masih berpotensi mendukung terjadinya karhutla dalam sepekan ke depan.

“Potensi kemudahan terbakarnya hutan dan lahan masih tinggi di beberapa wilayah Kalbar, dengan kategori mudah hingga sangat mudah terbakar,” ujarnya.

Fitri menjelaskan bahwa berdasarkan pengamatan meteorologi pada 8 titik di Kalimantan Barat, dari 10 hingga 11 Juni 2025, suhu udara cenderung panas dengan suhu tertinggi mencapai 34.6°C di Kapuas Hulu. Rata-rata suhu harian berkisar antara 27.1°C hingga 29.3°C. Suhu terendah, yaitu 22.9°C, tercatat di Sintang.

Jarak pandang ekstrem juga menjadi perhatian, terutama di wilayah Kubu Raya yang tercatat memiliki jarak pandang kurang dari 1000 meter akibat kabut. Meskipun tidak ada kejadian suhu ekstrem atau angin kencang yang merusak, angin tetap berperan dalam mempercepat penyebaran api. Kecepatan angin tertinggi terpantau di Sambas dengan 24 knot, dengan arah dominan dari Timur ke Barat.

Curah hujan pun belum cukup signifikan untuk membantu proses pemadaman secara alami. Hujan tertinggi hanya tercatat di Sintang, dengan intensitas 39.5 mm per hari. Secara umum, BMKG memprakirakan curah hujan dalam Dasarian II (11-20 Juni 2025) berada dalam kategori menengah, yakni antara 50-150 mm per dasarian.

Adapun hari tanpa hujan masih tergolong dalam kategori sangat pendek (1-5 hari) hingga pendek (6-10 hari), yang artinya, meskipun ada hujan, namun tidak terjadi secara merata dan berkelanjutan.

 

Hujan Tak Menyeluruh, Waspada Tetap Diperlukan

Meski ada potensi hujan dalam beberapa hari ke depan, BMKG tetap mengingatkan masyarakat untuk tidak lengah. Menurut prakiraan cuaca, pada 13, 15, 16, dan 17 Juni 2025, wilayah Kalimantan Barat berpotensi diguyur hujan dengan intensitas sedang hingga lebat. Namun, hujan ini bersifat lokal dan tidak merata, sehingga tidak sepenuhnya bisa diandalkan untuk meredam api yang masih membara di beberapa titik.

Fitri menyampaikan bahwa pada Kamis, 12 Juni, kondisi cuaca dominan berawan di sebagian besar wilayah Kalbar, namun masih ada potensi hujan ringan hingga sedang pada siang hingga malam hari.

“Namun perlu diingat, curah hujan ini tidak merata. Artinya, ada wilayah yang tetap kering dan berisiko tinggi terhadap kebakaran,” ujarnya.

 

Krisantus: Jangan Jadikan Peladang Kambing Hitam

Di tengah situasi yang kompleks ini, Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan, turut angkat bicara. Ia menekankan pentingnya pendekatan yang bijak dan manusiawi dalam menangani isu karhutla, khususnya di wilayah perhuluan yang masih menggantungkan hidup pada tradisi peladangan.

Menurut Krisantus, peladang di daerah hulu biasanya membuka lahan dengan metode bakar terbatas, yang dilakukan secara tradisional dan dalam skala kecil. Ia mengingatkan agar aparat tidak serta-merta mengambil langkah represif terhadap masyarakat adat yang menjalankan praktik turun-temurun ini.

“Saya berpesan agar kita memahami bahwa ada kearifan lokal dalam membuka lahan. Jangan sampai masyarakat adat, khususnya peladang tradisional, terus-menerus dijadikan kambing hitam atas terjadinya karhutla,” tegasnya saat diwawancarai oleh media, Rabu (11/6).

Ia juga mendorong adanya sinergi lintas sektor—dari pemerintah daerah, aparat, hingga komunitas adat dan sektor swasta—untuk mencari solusi bersama. Menurutnya, perlu ada pendekatan edukatif dan dialog, bukan hanya sanksi.

“Yang dibutuhkan masyarakat perhuluan adalah alternatif yang ramah budaya, bukan hanya larangan. Kita harus bantu mereka beralih ke metode yang lebih aman, bukan meninggalkan mereka begitu saja,” katanya.

 

Menanti Puncak Kemarau: Waspada Harus Terus Ditingkatkan

Krisantus juga menggarisbawahi bahwa meskipun saat ini belum terjadi karhutla berskala besar, kewaspadaan tidak boleh diturunkan. Ia menyebut bahwa titik api yang muncul masih dalam skala kecil, dan cuaca juga belum terlalu kering. Namun, dengan puncak musim kemarau yang belum datang, potensi ancaman masih membayangi.

“Sejauh ini belum ada kebakaran besar, tapi jangan sampai kita lengah. Kita harus tetap waspada dan siaga menjelang puncak kemarau,” pungkasnya.

Upaya mitigasi, menurutnya, harus dilakukan sejak dini. Edukasi masyarakat, pemantauan titik panas, penyediaan alat pemadam kebakaran di wilayah rawan, serta pelatihan tanggap darurat di desa-desa, menjadi langkah penting yang tak boleh ditunda.

 

Rantai Tantangan Pemadaman

Kebakaran hutan dan lahan bukan hanya soal api yang membakar pohon dan semak. Ia menyisakan rentetan masalah, mulai dari gangguan kesehatan akibat kabut asap, kerusakan ekosistem, hingga dampak ekonomi yang dirasakan masyarakat sekitar. Dalam konteks Kalbar, semua tantangan ini berpadu dalam satu simpul yang kompleks: cuaca panas, akses sulit, lahan gambut yang rawan, serta keterbatasan alat dan sumber daya manusia.

Belum lagi, pendekatan yang salah terhadap peladang lokal bisa memicu konflik sosial yang tidak perlu. Oleh karena itu, dalam menghadapi karhutla, diperlukan strategi yang menyeluruh—tidak hanya pemadaman, tapi juga pencegahan, pendekatan kultural, serta inovasi berbasis komunitas.

Kini, Kalbar kembali diuji. Api mungkin bisa dipadamkan dalam hitungan hari, tetapi menjaga agar tak muncul kembali butuh upaya jangka panjang. Langit Borneo masih kelabu, tapi semangat mereka yang di lapangan tak kunjung padam. Dalam sunyi lahan gambut yang hangus, bara perjuangan untuk menyelamatkan hutan terus menyala.

Next Post Previous Post