Tambang Menggeliat, Rakyat Tersisih: Suara Cornelis dari Kalimantan Barat

  

Pontianak – Di tengah gegap gempita investasi tambang yang kian masif membanjiri Kalimantan Barat, suara Cornelis—politisi senior yang kini duduk sebagai anggota Komisi XII DPR RI—menggema sebagai penyeimbang. Suaranya keras dan jernih, menyuarakan keprihatinan yang kian mendalam tentang ketimpangan antara derasnya aliran dana investasi dan getirnya kehidupan masyarakat lokal, terutama mereka yang tinggal tak jauh dari lubang-lubang tambang raksasa yang menganga di tanah kelahirannya.

Cornelis bukan sosok baru dalam panggung politik Kalbar. Dua periode ia memimpin sebagai Gubernur Kalimantan Barat, menyaksikan langsung geliat pembangunan yang datang silih berganti. Namun, di balik segala pencapaian dan deretan proyek yang digadang-gadang mampu mengerek pertumbuhan ekonomi, tersimpan kegelisahan yang tak bisa disembunyikannya: kesejahteraan masyarakat lokal nyaris stagnan, bahkan terancam.

“Jangan sampai petani kita tidak bisa lagi menanam karena kerusakan lahan bekas tambang,” tegas Cornelis dalam sebuah rilis resmi yang dirilis Rabu lalu.

Ia menyoroti satu isu besar yang selama ini sering luput dari sorotan nasional—ketimpangan struktural dalam pembangunan sektor pertambangan. Menurutnya, Kalimantan Barat seperti menjadi panggung terbuka bagi para pemodal besar, namun hanya menjadi penonton pasif bagi masyarakatnya sendiri.

 

Di Balik Gemerlap Smelter, Ada Nestapa

Salah satu proyek yang menjadi kebanggaan Kalbar saat ini adalah pembangunan Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Kabupaten Mempawah. Proyek yang masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) ini digadang-gadang mampu menghasilkan satu juta ton alumina per tahun, dengan nilai investasi mencapai 831 juta dolar AS, atau sekitar Rp12,5 triliun.

Namun, seperti mimpi besar lainnya, proyek ini tak sepenuhnya berjalan mulus. Cornelis menyampaikan bahwa dari tujuh smelter yang direncanakan, hanya satu yang benar-benar beroperasi. Enam lainnya masih terjebak dalam jerat masalah klasik: pendanaan yang tak kunjung tuntas, belum adanya mitra strategis yang kuat, dan ketidakpastian masa depan.

“Beberapa perusahaan bahkan sudah kehilangan izin usaha, seperti PT Kalbar Bumi Perkasa. Ini mencerminkan betapa rapuhnya manajemen proyek yang katanya strategis itu,” ujar Cornelis.

Jika dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pengolahan memang menyumbang sekitar 15,38 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kalbar. Namun angka-angka itu, dalam pandangan Cornelis, belum sejalan dengan kondisi riil masyarakat di sekitar proyek.

Infrastruktur masih minim, lapangan kerja yang layak sulit diakses, dan lingkungan hidup makin terancam. Proyek tambang memang padat modal dan teknologi, tapi nyaris nihil dalam dampak sosial yang dirasakan langsung oleh warga.

 

“Rakyat Jangan Hanya Jadi Penonton”

Bagi Cornelis, kesenjangan antara investasi besar dan kesejahteraan rakyat bukanlah hal baru. Ia mengangkat suara dengan harapan agar pemerintah—baik pusat maupun daerah—tidak terbuai oleh statistik dan grafik pertumbuhan ekonomi semata.

“Pembangunan itu harus berpihak pada masyarakat. Jangan hanya mengejar angka PDRB, tapi abaikan ekologi dan keberlanjutan hidup warga lokal,” tegasnya.

Ia mengkritisi pendekatan pembangunan yang masih menempatkan masyarakat sebagai objek, bukan subjek. Dalam pandangannya, masyarakat lokal harus dilibatkan secara aktif dalam setiap proses pembangunan, dari perencanaan hingga implementasi.

Cornelis juga tidak segan menolak model pembangunan yang hanya menguntungkan pemilik modal besar. Ia menuntut keadilan yang nyata, bukan sekadar janji manis yang terus diulang dalam pidato seremonial.

“Kalbar tidak butuh janji, Kalbar butuh keadilan,” tegasnya lantang.

 

Bekas Tambang, Bekas Harapan?

Salah satu dampak paling nyata dari tambang yang dikelola tanpa hati-hati adalah kerusakan lingkungan. Cornelis menekankan bahwa banyak lahan produktif yang kini tak lagi bisa ditanami, karena tercemar limbah atau rusak strukturnya akibat eksploitasi yang brutal.

Di sejumlah wilayah, petani kecil kehilangan sumber penghidupan karena sawah dan kebun mereka berubah menjadi kolam lumpur tak bernyawa. Sungai-sungai yang dahulu menjadi nadi kehidupan kini tercemar, menyisakan keluhan dari masyarakat adat yang kehilangan ruang hidupnya.

Cornelis menyampaikan bahwa model pertambangan seperti ini tidak berkelanjutan dan pada akhirnya akan merugikan semua pihak, termasuk negara. Ia mengingatkan bahwa investasi yang mengabaikan keberlanjutan hanya akan menimbulkan bencana sosial dan ekologis di masa depan.

 

Pembangunan Harus Inklusif dan Akuntabel

Dalam pandangan Cornelis, pembangunan yang sehat adalah pembangunan yang inklusif—yang melibatkan semua elemen masyarakat secara aktif dan setara. Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah untuk memperkuat sistem pengawasan terhadap investasi tambang dan menegakkan regulasi secara tegas.

“Kita tidak bisa membiarkan perusahaan-perusahaan besar berlindung di balik status strategis nasional, sementara rakyat di sekitarnya hidup dalam ketidakpastian,” ujarnya.

Ia menyerukan agar proses perizinan dievaluasi secara menyeluruh, dan perusahaan yang tidak mematuhi ketentuan harus dikenai sanksi tegas. Tidak boleh ada ruang bagi praktik tambang yang rakus dan tidak bertanggung jawab.

Cornelis juga menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan investasi. Menurutnya, proyek sebesar SGAR harus diawasi oleh badan independen yang melibatkan unsur masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga adat.

 

“Rakyat Jangan Dibuai Oleh Kilau Tambang”

Cornelis juga menyampaikan peringatan keras kepada masyarakat agar tidak terlalu larut dalam euforia tambang. Ia menyadari bahwa banyak masyarakat yang tergiur oleh janji pekerjaan, peningkatan ekonomi, dan pembangunan infrastruktur dari proyek-proyek tersebut.

Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa harapan itu sering kali tinggal harapan. Ketika proyek gagal atau perusahaan bangkrut, masyarakat lokal seringkali ditinggalkan begitu saja, menghadapi lahan rusak dan air tercemar tanpa solusi.

Ia berharap masyarakat tetap kritis dan aktif dalam memperjuangkan hak-haknya. “Rakyat harus melek hukum, melek lingkungan, dan melek kebijakan. Jangan hanya pasrah,” katanya.

 

Menuju Kalimantan Barat yang Adil dan Berkelanjutan

Visi Cornelis tentang Kalimantan Barat bukanlah tentang menolak investasi. Ia tidak anti pembangunan. Tapi baginya, pembangunan yang tidak menyejahterakan rakyat dan merusak lingkungan bukanlah pembangunan yang patut dipertahankan.

Ia menginginkan Kalimantan Barat yang maju, tapi tidak meninggalkan masyarakat adat dan petani kecil. Kalimantan Barat yang makmur, tapi tetap lestari. Dan yang terpenting, Kalimantan Barat yang adil bagi semua, bukan hanya bagi segelintir pemilik modal.

Untuk itu, ia menyerukan kerja bersama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Ia berharap investasi tambang benar-benar membawa manfaat yang adil, bukan sekadar menyisakan luka ekologis dan sosial.

“Sumber daya alam Kalimantan Barat adalah anugerah. Tapi kalau kita salah kelola, itu bisa menjadi kutukan. Maka pembangunan harus dikawal bersama, dan masyarakat harus menjadi bagian dari proses, bukan korban dari proses,” pungkasnya.

Di tengah sorotan nasional yang sering tertuju pada Pulau Jawa dan kota-kota besar, suara dari tengah hutan Kalimantan seperti milik Cornelis menjadi sangat penting. Ia bukan hanya berbicara sebagai politisi, tetapi sebagai anak daerah yang tahu persis denyut nadi masyarakatnya.

Ia bukan menolak tambang, tapi menolak ketidakadilan. Ia bukan menentang pembangunan, tapi menentang eksploitasi yang tidak berpihak. Dalam suaranya, tersimpan harapan agar Kalimantan Barat tak sekadar jadi ladang emas bagi pemodal, tetapi juga rumah yang layak bagi rakyatnya sendiri.

Next Post Previous Post