Nestapa di Ladang Sawit: Ketika Hak Buruh Tumbang di Tanah Sendiri
Di hamparan luas ladang sawit Kalimantan Barat, di balik
kilau bisnis yang menjanjikan devisa dan pembangunan, tersembunyi kisah-kisah
getir para buruh yang nyaris tak terdengar gaungnya. Di bawah terik matahari
dan derasnya hujan rimba tropis, mereka bekerja membanting tulang untuk
perusahaan-perusahaan besar. Namun sayang, bukan sekadar upah yang minim atau
fasilitas yang kurang, yang kini menjadi sorotan—melainkan dugaan pelanggaran
hak asasi manusia yang begitu mendalam dan sistemik.
Baru-baru ini, Kantor Wilayah Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) Kalimantan Tengah Wilayah Kerja Kalimantan Barat mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap dua perusahaan sawit di wilayah tersebut: PT Aditya Agroindo (AAG) dan PT Kalimantan Sawit Plantation (KSP). Serangkaian laporan dan aduan dari serikat buruh menyebut adanya praktik-praktik ketenagakerjaan yang tidak hanya melanggar norma-norma hukum, tetapi juga merampas martabat para pekerja yang seharusnya dijunjung tinggi.
Tragedi Kecil di Tengah Ladang: Kematian Anak Seorang Buruh
Salah satu kisah yang menyayat hati datang dari PT AAG,
tempat Safira Talelu—balita berusia 3 tahun 3 bulan—menghembuskan napas
terakhirnya karena tak mendapat akses pelayanan medis yang layak. Ayah Safira
adalah seorang Buruh Harian Lepas (BHL), pekerja tanpa kontrak tetap dan tanpa
jaminan sosial. Ketika sang anak membutuhkan pertolongan darurat, keluarga
mencoba meminta bantuan perusahaan. Namun permintaan itu, menurut pengakuan
keluarga dan serikat buruh, ditolak mentah-mentah.
Kondisi ini menyoroti kelemahan sistem ketenagakerjaan yang kerap mengabaikan mereka yang berstatus "harian lepas". Padahal, menurut Kepala KemenHAM Kalteng Wilayah Kerja Kalbar, Kristiana Meinalita Samosir, para BHL tetap memiliki hak-hak dasar sebagai manusia dan pekerja. Ia menyatakan tegas:
“Jika mereka bekerja dalam hubungan kerja yang jelas dan sifatnya berulang, maka mereka wajib didaftarkan dalam BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan. Negara tidak boleh gagal menjamin hak-hak dasar sebagaimana tertuang dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.”
UU tersebut secara eksplisit menjamin hak atas kesehatan (Pasal 9 ayat 2), hak untuk hidup layak (Pasal 27), hak untuk memperoleh layanan sosial (Pasal 38 ayat 1), hingga kewajiban negara untuk mencegah pelanggaran (Pasal 71-72).
Namun, semua jaminan hukum itu terasa semu ketika Safira tak bisa lagi diselamatkan.
Intimidasi Terhadap Serikat: Ketika Demokrasi Mati di Perkebunan
Di PT Kalimantan Sawit Plantation (KSP), dugaan pelanggaran
HAM mengambil bentuk lain yang tak kalah serius. Empat pengurus Serikat Buruh
Kobar Bersatu (SBKB) diberhentikan secara sepihak: Rico Budiman, Geulius Rito,
Alung Petrus, dan Suardi Manyut. Mereka dipecat tanpa surat resmi, tanpa
pesangon, dan tanpa kesempatan untuk membela diri. Padahal, apa
"dosa" mereka? Hanya karena menyuarakan kondisi kerja yang tidak
manusiawi.
Langkah ini dinilai sebagai intimidasi langsung terhadap hak untuk berserikat, yang notabene merupakan hak asasi yang dijamin Undang-Undang No. 21 Tahun 2000. Dalam pasal-pasalnya ditegaskan bahwa pekerja berhak membentuk, bergabung, dan melakukan kegiatan serikat tanpa takut diberhentikan atau dikriminalisasi.
Bagi Kanwil KemenHAM, tindakan PT KSP tersebut jelas merupakan pelanggaran berat yang tidak bisa didiamkan.
“PT KSP gagal menyediakan pekerjaan yang layak, gagal memberi perlindungan, dan gagal menghargai martabat kemanusiaan. Ini bukan sekadar pelanggaran perdata atau administratif, ini pelanggaran hak asasi manusia,” tegas Kristiana.
Identitas Ditahan, Martabat Dipermainkan
Di luar itu, muncul pula laporan bahwa beberapa perusahaan
menahan identitas pribadi pekerja, seperti KTP atau dokumen kependudukan
lainnya. Praktik ini, meski terdengar sepele, merupakan bentuk perampasan hak
milik yang diatur dalam Pasal 17 UU HAM. Bahkan, dalam konteks hubungan kerja,
hal ini bisa dikategorikan sebagai perbudakan modern yang melanggar Pasal 4
tentang hak atas kebebasan dan larangan perbudakan.
Para buruh yang identitasnya ditahan menjadi tak berdaya. Mereka tak bisa mencari kerja di tempat lain, tak bisa mengakses layanan publik, dan terpaksa tunduk pada aturan sepihak perusahaan. Ironis, ketika tanah mereka dikeruk, keringat mereka diperas, tapi hak mereka bahkan tak dihitung.
Perempuan dan Anak-Anak: Korban dalam Senyap
Yang lebih menyedihkan, kelompok perempuan dan anak-anak
buruh juga dilaporkan mendapatkan perlakuan diskriminatif. Upah yang lebih
rendah dibanding laki-laki, beban kerja berlebih, serta minimnya perlindungan
hukum terhadap kekerasan dan pelecehan menjadi bagian dari rutinitas
sehari-hari yang nyaris tak tercatat.
Padahal, perempuan dan anak adalah kelompok rentan yang seharusnya mendapatkan perlindungan ekstra. Ketika diskriminasi terjadi secara struktural, maka ketimpangan bukan lagi sekadar masalah sosial—tetapi bentuk nyata pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan yang dijamin dalam berbagai konvensi internasional yang sudah diratifikasi Indonesia.
Tuntutan: Keadilan dan Pemulihan Hak
Menanggapi semua temuan ini, Kanwil KemenHAM Kalteng Wilayah
Kerja Kalbar telah melakukan pertemuan dengan Federasi Serikat Buruh Kelapa
Sawit (FSBKS) Kalbar. Dalam pertemuan tersebut hadir langsung Kepala Kanwil,
Kristiana Meinalita Samosir, bersama jajarannya, serta para pemimpin serikat
seperti Firmansyah Jumanto Balasa, Muali, dan Agus Utomo dari Teraju
Foundation.
Dari pertemuan ini, lahir beberapa tuntutan utama:
- Investigasi menyeluruh oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan Dinas Tenaga Kerja Kalbar.
- Pemulihan hak-hak korban, termasuk pesangon, BPJS, dan kompensasi moral atas pelanggaran yang dialami.
- Penegakan prinsip bisnis dan HAM sesuai panduan internasional UN Guiding Principles on Business and Human Rights.
- Penghentian praktik intimidasi dan penahanan identitas.
- Pemantauan langsung ke lokasi oleh KemenHAM, untuk memastikan tindakan pemulihan benar-benar dilakukan.
“Kita akan kawal terus kasus ini. Tidak boleh ada pelanggaran HAM yang dibiarkan hanya karena pelakunya korporasi besar,” ujar Kristiana dalam pernyataan penutupnya.
Lebih dari Sekadar Regulasi: Ini Tentang Martabat
Apa yang terjadi di Kalimantan Barat bukan kasus tunggal.
Ini adalah gambaran realitas di banyak ladang sawit Indonesia, di mana pekerja
dianggap hanya sebagai angka dalam laporan produksi. Padahal, di balik tiap
tandan buah segar yang dipanen, ada manusia yang berjuang hidup, ada keluarga
yang menggantungkan harapan, dan ada anak-anak yang ingin tumbuh tanpa trauma.
Sudah saatnya negara menegaskan keberpihakan. Regulasi bukan sekadar teks di atas kertas. Ia harus menjadi perisai yang nyata melindungi mereka yang paling rentan. Dalam dunia bisnis yang makin kompleks, prinsip-prinsip HAM bukan penghalang, tapi fondasi bagi keberlanjutan.
Karena pada akhirnya, pembangunan yang adil bukan sekadar soal infrastruktur atau ekspor. Ia dimulai dari ladang-ladang di pedalaman, tempat di mana hak buruh seharusnya dijaga seperti menjaga hak para pejabat. Karena mereka—para buruh itulah—yang sebenarnya menjaga nyala ekonomi negeri ini.