Prostitusi Terselubung di IKN: Cerita Dena dan Kenyataan Gelap Kota Baru Nusantara
Di balik gegap gempita pembangunan Ibu Kota Negara (IKN)
Nusantara yang menjanjikan peradaban baru Indonesia, tersembunyi cerita lain
yang tak tertulis dalam peta perencanaan. Cerita dari pinggiran kota baru ini
datang dari lorong-lorong hotel, kamar penginapan, dan jaringan digital yang
tak terpantau radar pembangunan: praktik prostitusi daring yang kini mulai
marak terjadi di jantung kota masa depan.
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Penajam Paser Utara membongkar modus prostitusi yang kian menjalar di kawasan IKN. Investigasi yang berlangsung selama tiga bulan terakhir menunjukkan pola yang nyaris seragam: perempuan-perempuan dari luar daerah datang ke IKN, menetap sementara di penginapan atau hotel, lalu menggunakan aplikasi dan media sosial untuk menawarkan layanan seksual kepada para pelanggan.
“Modus itu kami ketahui dari investigasi dan pengakuan pelaku yang berhasil ditangkap. Setelah ditangkap dan dimintai keterangan, pelaku prostitusi kami pulangkan ke daerah asal,” jelas Kepala Satpol PP Penajam Paser Utara, Bagenda Ali, saat ditemui di Penajam, Kalimantan Timur, pada Ahad (26/5/2025).
Dena: Kisah dari Lorong Penginapan
Sebut saja Dena, perempuan berusia 25 tahun, yang berasal
dari Makassar. Ia datang ke IKN bukan untuk mencari pekerjaan formal atau
meniti karier di lingkungan pemerintahan, tapi untuk menjajakan jasa di dunia
prostitusi daring. “Kami datang karena kata teman di sini tamu banyak dan tidak
pelit, tidak pernah tawar-menawar, serta banyak pendatang. Ternyata benar,”
ungkap Dena kepada petugas Satpol PP setelah ditangkap.
Pengakuan Dena mencerminkan adanya pasar yang jelas dan permintaan yang tinggi terhadap layanan seksual di tengah IKN yang masih dibangun. Kota ini memang tengah dihuni oleh ribuan pekerja dari berbagai daerah—ASN, kontraktor, teknisi, buruh bangunan, dan lainnya—yang datang tanpa keluarga dan kerap mencari pelampiasan di sela rutinitas kerja keras.
Tarif Tanpa Tawar dan Pelanggan yang Dermawan
Dalam sistem prostitusi daring yang berjalan di IKN, tarif
jasa bervariasi. Rata-rata berkisar antara Rp400 ribu hingga Rp600 ribu,
tergantung kesepakatan. Para pekerja seks ini memanfaatkan aplikasi pesan
instan, media sosial, bahkan sejumlah platform online terselubung untuk
menjaring pelanggan. Di dalam aplikasi itu, mereka menawarkan diri lengkap
dengan foto dan daftar tarif.
Sebagian bekerja sendiri. Namun, banyak pula yang beroperasi di bawah naungan perantara atau koordinator yang bertugas mencarikan pelanggan, mengatur tempat tinggal, bahkan menjadi penghubung transaksi. Salah satu pelaku lainnya, Rena (27), mengakui bahwa keberadaan perantara sangat membantu.
“Ada yang sendiri dan ada yang gunakan perantara. Kalau kami pakai perantara yang atur tempat tinggal dan carikan pelanggan, jadi tidak repot,” tutur Rena.
Praktik ini semakin sulit dipantau karena pelaku tak menetap lama. Mereka tinggal hanya beberapa hari, kadang seminggu, lalu berpindah ke tempat lain. Sistem berpindah-pindah ini membuat mereka sulit terdeteksi aparat dan mempercepat penyebaran jaringan prostitusi ke berbagai titik di sekitar IKN.
Satpol PP Bergerak, Tapi Butuh Lebih
Menurut Bagenda Ali, penertiban praktik prostitusi ini bukan
hal mudah. Meski penindakan telah dilakukan, namun para pelaku selalu kembali
dengan cepat. Mereka datang secara bergelombang, menyewa kamar, mengaktifkan
aplikasi, lalu kembali menawarkan jasa.
“Kami sudah lakukan pantauan sejak tiga bulan lalu terkait laporan adanya praktik prostitusi di sekitar wilayah IKN. Tapi praktik itu terus berulang, karena selalu ada wajah-wajah baru yang datang,” kata Bagenda.
Kawasan Kecamatan Sepaku, wilayah administratif Kabupaten Penajam Paser Utara yang masuk dalam wilayah IKN, menjadi salah satu titik rawan yang terus dipantau oleh personel Satpol PP. Meskipun Otorita IKN sudah dibentuk, namun urusan penegakan Peraturan Daerah (Perda) di kawasan ini masih menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten.
Mereka mengandalkan laporan dari masyarakat dan tokoh-tokoh desa. Namun, sebagian besar warga masih memilih diam. Entah karena takut, tidak tahu harus melapor ke mana, atau karena praktik ini telah dianggap sebagai “rahasia umum” yang sulit diberantas.
Prostitusi di Kota Muda: Fenomena Sosial yang Tak Terelakkan?
Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: mengapa
praktik prostitusi justru tumbuh subur di kota yang dirancang sebagai simbol
kemajuan, keberadaban, dan keberlanjutan?
Jawabannya bisa jadi terletak pada karakteristik kota baru yang belum selesai. IKN adalah kota dalam transisi. Ribuan pendatang dari berbagai latar belakang kini menetap di sana, namun ekosistem sosialnya belum terbentuk secara utuh. Tidak ada cukup ruang-ruang rekreasi yang sehat, belum tersedia komunitas-komunitas sosial yang solid, dan gaya hidup kota pun belum stabil.
Dalam kondisi ini, celah-celah sosial seperti prostitusi, narkoba, atau tindak kriminal lainnya menjadi lebih mudah masuk. Dan selama ada permintaan—yang dalam kasus ini berasal dari para pekerja dan pendatang yang tinggal jauh dari keluarga—penawaran akan selalu mengikuti.
Menunggu Kolaborasi Nyata
Satpol PP Penajam Paser Utara memang telah bergerak. Mereka
menggelar patroli rutin, menyisir penginapan, menindak laporan masyarakat.
Namun, Bagenda Ali mengakui bahwa langkah ini belum cukup. “Butuh kolaborasi
yang kuat dalam upaya penertiban, karena praktik tersebut bisa memicu masalah
baru di tengah masyarakat,” tegasnya.
Kolaborasi ini tidak hanya harus melibatkan pemerintah kabupaten dan Satpol PP, tetapi juga Otorita IKN, aparat kepolisian, serta tokoh masyarakat setempat. Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Timur sendiri sudah mulai melakukan langkah penyelidikan, meskipun belum menerima laporan resmi dari masyarakat.
Lebih dari itu, perlu pendekatan yang lebih menyeluruh dan manusiawi. Penertiban semata tanpa solusi sosial hanya akan mengulang siklus: pelaku ditertibkan, dipulangkan, lalu kembali datang dalam bentuk lain.
Kisah Dena, Rena, dan puluhan perempuan lain yang beroperasi secara diam-diam di hotel-hotel IKN bukan hanya cerita tentang praktik ilegal. Ini adalah refleksi dari sisi gelap pembangunan kota yang terlalu fokus pada fisik dan melupakan aspek sosial kemanusiaan.
IKN dirancang untuk menjadi kota cerdas, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Tapi kota, seberapa canggih pun teknologinya, tak akan pernah utuh jika tidak ada keadilan sosial di dalamnya. Praktik prostitusi daring adalah alarm bahwa kota ini belum benar-benar siap menjadi rumah yang sehat bagi semua penghuninya.
Jika kota ini ingin berdiri sebagai simbol kemajuan, maka yang harus dibangun bukan hanya gedung pencakar langit dan jalanan futuristik. Harus ada ruang aman untuk perempuan, ruang layak untuk rekreasi, dan sistem sosial yang mampu menampung orang-orang rentan agar mereka tidak terjerumus dalam pekerjaan yang merugikan diri sendiri maupun masyarakat.
Tidak ada akhir untuk cerita seperti ini, setidaknya belum. IKN masih akan terus tumbuh, dan di dalam pertumbuhannya, kita akan terus dihadapkan pada dilema antara idealisme dan realitas. Tapi selama ada keberanian untuk melihat masalah seperti ini dengan jujur, dan bukan sekadar menutup mata demi menjaga citra, harapan masih ada.
Untuk sekarang, cerita seperti Dena mungkin hanya akan menjadi catatan kaki dari sejarah IKN. Tapi jika tidak ditangani secara serius, catatan kaki itu bisa saja menjadi bab gelap yang mencoreng wajah kota masa depan yang dibanggakan.