Menjaring Filsafat dari Akar: Peluncuran Buku Filsafat Dayak Komprehensif Pertama di Dunia

dok Istimewa

SEKADAU – Di jantung Kalimantan Barat, tepatnya di Lupung Coffee yang terletak di Kampus Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK), Sekadau, sejarah baru tertoreh pada Selasa, 20 Mei 2025. Hari itu menjadi saksi peluncuran Filsafat Dayak Komprehensif, sebuah karya akademik monumental yang diklaim sebagai buku pertama di bidangnya—sebuah tonggak dalam upaya serius menggali dan menuliskan filsafat khas masyarakat Dayak secara sistematis dan mendalam.

Buku ini merupakan hasil kerja keras tujuh penulis Dayak lintas disiplin yang memadukan kecermatan ilmiah dengan kedalaman pengalaman kultural. Peluncurannya menjadi lebih istimewa karena digelar oleh Dayak Research Center (DRC), satu dari tiga pusat studi unggulan yang bernaung di bawah ITKK. Acara itu tidak sekadar peluncuran buku biasa, melainkan juga sebuah momen afirmasi bahwa orang Dayak kini berdiri di garda terdepan dalam mendefinisikan, memahami, dan menuliskan dirinya sendiri dalam dunia ilmu pengetahuan.

Filsafat Dayak Sebagai Jalan Hidup

“Ini buku pertama di bidangnya, benar-benar Filsafat Dayak Komprehensif karena membahas tujuh cabang filsafat khas Dayak,” ujar Masri Sareb Putra, M.A., Direktur DRC sekaligus moderator acara bedah buku. Dalam sambutannya, ia menekankan bahwa buku setebal lebih dari 350 halaman itu menyajikan cara berpikir filosofis orang Dayak bukan hanya sebagai alat kajian teoritis, tetapi juga sebagai “cara hidup, cara berada, dan cara memahami dunia.”

Masri menegaskan bahwa selama ini diskursus filsafat seringkali tersentralisasi pada warisan Barat, padahal dalam kehidupan masyarakat adat seperti Dayak, filsafat hidup itu telah lama ada dan membumi dalam praktik sosial, ritual adat, serta dalam ekspresi bahasa dan simbol.

Peluncuran buku dimulai dengan sambutan hangat dari Rektor ITKK, Dr. Setefanus Masiun. Ia menyampaikan kebanggaannya atas hadirnya karya monumental ini dan menyatakan bahwa peluncuran buku tersebut menjadi bukti bahwa kampus yang dipimpinnya benar-benar menjadi rumah bagi pengembangan ilmu berbasis kearifan lokal. Momen peresmian ditandai dengan pemukulan gong sebanyak tujuh kali oleh Dr. Patricia Ganing, salah satu penulis asal Malaysia, sebagai simbol pengakuan terhadap tujuh cabang filsafat yang dibahas dalam buku.

Diskusi yang Mendidik dan Mencerahkan

Bedah buku berlangsung dalam suasana hangat, terbuka, dan penuh semangat intelektual. Hadir dalam acara tersebut para tokoh masyarakat Sekadau, para dosen dan mahasiswa ITKK, serta cendekiawan dari berbagai daerah di sekitar Sekadau. Dalam pemaparannya, Dr. Louis Ringah Kanyan—salah satu dari tujuh penulis buku—memaparkan isi buku dengan pendekatan semiotika. Ia menjelaskan bahwa buku ini tidak sekadar mendeskripsikan budaya Dayak, tetapi juga menelusuri akar filosofis di balik simbol, narasi, dan praktik keseharian.

Tujuh cabang filsafat formal yang diangkat dalam buku ini adalah: sejarah filsafat, ontologi, kosmologi, etika, estetika, etnonumerologi (yang merupakan logika khas Dayak), dan epistemologi. Tiap cabang tersebut dijabarkan dalam konteks lokal yang kaya akan praktik budaya dan relasi spiritual antara manusia Dayak dengan alam semesta serta sesamanya. Buku ini berusaha membongkar lapisan-lapisan pemikiran lokal yang selama ini tersembunyi di balik adat dan ritual.

Tiga penanggap utama hadir memberikan catatan kritis dan apresiatif, yakni Dr. Urbanus, Munaldus, M.A., dan Dr. Andang Binawan. Mereka memberi masukan dari sudut pandang metodologis, kontekstual, dan keilmuan lintas budaya. Dalam diskusi, dua penulis lain yaitu Alexander Mering dan Albertus Imas, M.A. juga turut memberikan pemaparan dari sudut pandang historis dan antropologis. Sayangnya, Prof. Tiwi Etika dari Palangka Raya, yang menjadi penulis utama, berhalangan hadir secara langsung. 

Ngayau dan Makna Filosofisnya

Diskusi menjadi semakin hidup saat memasuki sesi tanya jawab. Salah satu topik yang menarik perhatian peserta adalah konsep “ngayau.” Kata ini sering kali diasosiasikan secara keliru dalam wacana publik sebagai praktik memenggal kepala, sebuah stigma yang terus melekat pada citra Dayak di luar. Namun, para peserta diskusi sepakat bahwa pemahaman tersebut terlalu sempit dan tidak merepresentasikan makna filosofis sebenarnya.

Dalam forum itu, ngayau diposisikan sebagai simbol kekuatan, keberanian, dan strategi bertahan hidup yang berakar dalam konteks historis dan kultural. Lebih dari itu, makna ngayau telah berevolusi. Jika dulu ia identik dengan tindakan fisik dan peperangan, kini ngayau ditafsirkan ulang sebagai semangat perlawanan terhadap kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan.

“Ngayau hari ini adalah keberanian kami melawan kebodohan dan kemiskinan. Kami bangga dikenal sebagai suku pengayau,” ujar salah satu peserta diskusi. Ucapan itu disambut dengan anggukan dan persetujuan luas dari seluruh peserta.

Pernyataan tersebut menjadi penanda penting bahwa refleksi filosofis Dayak tidak hanya berhenti pada tataran abstrak, melainkan juga menjelma sebagai energi sosial dan politik dalam upaya memajukan masyarakat Dayak di era modern.  Sementara itu, Alexander Mering, SH, salah seeorang penulis buku mengatakan bahwa, Dayak hari ini bukan lagi pengayau tradisional seperti zaman dahulu, melainkan para pengayau modern yang mengayai di berbagai bidang kehidupan.  

"Semangat mengayau tetap ada, tetapi telah bertransformasi sesuai era dan zamannya," kata Mering. 

Menulis Diri, Mencipta Ilmu

Menutu Alexander Mering, lahirnya buku Filsafat yang ditulis oleh 7 penulis dayak ini merupakan bagian dari gerakan literasi Dayak, di Pulau Borneo. Mering memaparkan kalau selama ini sebagian besar kajian tentang Dayak lebih banyak ditulis oleh pihak luar, dan seringkali tidak mampu menggali nuansa-nuansa subtil dalam sistem nilai dan pemikiran Dayak. Jadi orang mengenal masyarakat Dayak pun berdasarkan hasil konstruksi pemikiran dan cara pandang orang luar dengan berbagai bias yang tumbuh bersamanya.

"Maka sudah saatnya Dayak menulis dari dalam. Hadirnya buku Filsafat Dayak sekaligus membuktikan bahwa Dayak sanggup memproduksi pengetahuan sendiri secara reflektif dan sistematis," ujar Mering.

Mering berharap kehadiran buku ini juga dapat menginspirasi banyak generasi muda Dayak untuk mau terlibat dalam studi kritis terhadap kearifan lokal, terutama dalam bidang filsafat dan budaya. Sebab jika generasi muda Dayak tidak lagi menghidupi nilai-nilai kedayakan yang diwariskan oleh leluhurnya di tengah gempuran trend budaya global, maka pada akhirnya mereka hanya akan jadi zombie budaya.  Itulah sebabnya anak-anak muda Dayak perlu terlibat aktif menggali dan memahami kekayaan filsafat Dayak sebagai warisan yang hidup, bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk dihidupi dan dikembangkan.

Panitia peluncuran buku menyatakan bahwa publikasi ini dapat menjadi rujukan awal penting dalam pengembangan kajian filsafat lokal berbasis masyarakat adat. Hingga saat ini, belum ada publikasi akademik lain yang menyusun filsafat Dayak dalam kerangka formal dan sistematis seperti buku ini.

Kolaborasi Tujuh Intelektual Dayak

Di balik terbitnya Filsafat Dayak Komprehensif terdapat kolaborasi pemikiran tujuh penulis Dayak dari berbagai disiplin keilmuan yang secara serius dan intensif menggarap tema filsafat dari sudut pandang masyarakat Dayak sendiri.

Prof. Tiwi Etika, Ph.D.—lulusan filsafat dari India—memimpin tim penulis ini dengan perspektif yang mendalam dan otentik terhadap dasar-dasar filsafat Dayak. Dr. Louis Ringah Kanyan menambah bobot metodologis melalui pendekatan semiotika, yang mengurai makna dari simbol-simbol budaya yang kerap kali dianggap mistis.

Kontribusi Dr. Patricia anak Ganing memperkuat sisi kebahasaan dan simbolik. Ia membongkar lapisan makna dalam narasi, mantra, dan ungkapan adat yang selama ini menjadi medium pewarisan nilai-nilai filosofis Dayak.

Masri Sareb Putra turut menambahkan konteks perbandingan antara filsafat Dayak dan filsafat Barat melalui pendekatan hermeneutika dan studi media. Tujuannya adalah menjembatani diskursus lokal dengan diskursus global agar lebih komunikatif dan relevan dalam konteks kontemporer.

Dr. Wilson anak Ayub mengkaji relasi sosial dan dinamika masyarakat Dayak yang terus berkembang, tanpa tercerabut dari akar budaya. Sementara itu, Albertus Imas, M.A. mendalami aspek etno-linguistik, dengan menunjukkan bahwa struktur bahasa Dayak juga mencerminkan struktur berpikir dan sistem nilai mereka.

Alexander Mering, S.H. melengkapi tim dengan pendekatan digital. Ia menerangkan bagaimana filsafat Dayak dari aspek Etika di era transformasi media baru dan bagaimana identitas kultural Dayak dibentuk ulang melalui dunia digital. Mering adalah salah seorang inisiator kelahiran buku filsafat Dayak ini.

Melalui kombinasi latar belakang dan keahlian yang beragam tersebut, para penulis berhasil menyusun kerangka filsafat Dayak yang tidak hanya merefleksikan warisan leluhur, tetapi juga mampu menjawab tantangan zaman. Buku ini menjadi bukti bahwa filsafat bukan monopoli Barat, dan bahwa masyarakat adat seperti Dayak memiliki sistem berpikir yang tak kalah kompleks, kaya, dan berdaya guna bagi masa depan.

Penutup: Dari Hutan ke Dunia Ilmu

Peluncuran Filsafat Dayak Komprehensif bukan hanya peristiwa akademik, tetapi juga tonggak budaya yang menegaskan eksistensi masyarakat Dayak sebagai subjek pengetahuan, bukan sekadar objek studi. Di tengah tekanan globalisasi dan arus homogenisasi budaya, buku ini hadir sebagai penanda penting bahwa kekayaan lokal bisa dan harus dikembangkan menjadi wacana intelektual yang dihargai dalam percakapan ilmiah dunia.

Buku ini adalah ajakan untuk berpikir dari akar, menggali dari dalam, dan menyuarakan pemikiran lokal dengan keberanian dan kebanggaan. Ia adalah suara Dayak yang berbicara kepada dunia—bukan dengan senjata atau perlawanan, tetapi dengan kata, ide, dan filsafat.

Next Post Previous Post