Krisis Sunyi di Kalbar: 5.000 Guru Menghilang, Pendidikan Terancam Lumpuh

  

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2025 baru saja diperingati dengan gegap gempita di berbagai penjuru Indonesia. Di Kalimantan Barat, peringatan ini menjadi momen penuh harapan, refleksi, dan ironi. Di tengah pidato-pidato indah tentang masa depan anak bangsa, realitas yang mencuat justru menyiratkan darurat pendidikan yang akut. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kalimantan Barat membeberkan kenyataan yang mengguncang nurani: provinsi ini kekurangan lebih dari 5.000 guru jenjang SMA dan SMK.

Bukan hanya angka yang menyentak, tapi juga kenyataan pahit di baliknya. Ketika ruang kelas sepi tanpa guru, ketika semangat belajar terhenti oleh absennya tenaga pendidik, maka apa arti dari cita-cita pendidikan merata bagi seluruh anak negeri?

 

Fakta Mengejutkan: 5.000 Kursi Guru Kosong

Sekretaris Umum PGRI Kalbar, Suherdiyanto, dalam sebuah pernyataan yang menyita perhatian publik, mengungkapkan bahwa kebutuhan guru untuk tingkat SMA/SMK di provinsi tersebut mencapai 8.490 orang. Namun, berdasarkan hasil seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahun 2024, hanya 3.067 formasi yang berhasil terisi.

"Artinya, kita kekurangan sekitar 5.000 guru. Ini bukan angka kecil, tapi krisis besar yang harus segera ditangani," ujarnya tegas, dalam sebuah forum diskusi pendidikan yang diadakan di Pontianak.

Kekosongan ini tentu bukan hanya masalah administratif. Bagi para siswa di pelosok Kapuas Hulu, Sambas, Sanggau hingga Ketapang, ketiadaan guru berarti hari-hari sekolah yang terlewat tanpa pembelajaran, berarti cita-cita yang terhenti di depan papan tulis kosong.

 

Dilema Dana BOS: Guru Honorer Dihapus, Siapa Mengajar?

Lebih memprihatinkan lagi, krisis ini diperparah oleh regulasi nasional yang melarang penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membayar guru honorer. Padahal, di Kalbar, guru honorer selama ini adalah fondasi utama layanan pendidikan, terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).

"Dengan aturan itu, banyak sekolah terpaksa memberhentikan guru honorer. Mereka tidak punya pilihan karena anggaran tidak mencukupi. Padahal tanpa guru honorer, banyak sekolah akan berhenti beroperasi secara efektif," jelas Suherdiyanto.

Keputusan itu ibarat mencabut tiang penyangga satu-satunya yang masih membuat bangunan pendidikan di daerah tetap berdiri. Ketika guru honorer tidak lagi digaji dan akhirnya memilih berhenti, siapa yang akan menggantikan mereka di ruang kelas? Dalam kenyataannya, formasi guru ASN dan PPPK belum mencukupi, dan banyak guru ASN enggan ditempatkan di pelosok.

 

Dampak Nyata: Pendidikan di Ambang Keterpurukan

Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah media lokal memberitakan kasus-kasus guru honorer yang dirumahkan. Di salah satu SMA di Kabupaten Sekadau, 17 guru honorer tidak lagi diperpanjang masa tugasnya. Akibatnya, mata pelajaran penting seperti matematika, fisika, bahkan bahasa Inggris tak lagi diajarkan secara reguler.

"Ini bukan kejadian satu-dua sekolah saja. Hampir seluruh Kalbar mengalami hal serupa. Jika tidak segera ditangani, tahun ajaran mendatang bisa menjadi masa kegelapan bagi ribuan siswa," ujar Suherdiyanto, menyiratkan nada kekhawatiran yang mendalam.

 

IPM Kalbar: Cermin Buram Ketimpangan Pendidikan

Masalah kekurangan guru bukan sekadar soal tenaga kerja atau anggaran. Ia adalah bagian dari persoalan struktural yang lebih luas, yang tercermin dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalbar. Menurut data statistik tahun 2024, Kalbar masih berada di peringkat enam hingga tujuh terbawah secara nasional dalam hal IPM.

Rata-rata lama sekolah warga Kalbar hanya 7,6 tahun—setara dengan kelas I SMP. Ini berarti sebagian besar penduduk Kalbar tak menamatkan jenjang pendidikan menengah pertama.

"IPM rendah adalah cermin dari banyak hal: rendahnya akses pendidikan, ketimpangan infrastruktur, dan kurangnya perhatian serius dari pemangku kebijakan," kata Suherdiyanto, mengingatkan bahwa masalah ini bukan hanya tanggung jawab satu instansi, tetapi seluruh elemen pemerintahan.

 

Kesenjangan Pendidikan: Kota dan Pelosok Seolah Dunia Berbeda

Jika Anda mengunjungi sekolah di tengah Kota Pontianak, mungkin Anda akan melihat fasilitas yang cukup memadai—kelas dengan proyektor, jaringan internet, guru dengan kualifikasi lengkap. Namun, coba melangkah ke pedalaman Kubu Raya atau perbatasan Entikong, maka Anda akan menyaksikan dunia yang berbeda: ruang kelas dengan dinding kayu lapuk, murid-murid yang duduk beralaskan tanah, dan guru yang harus mengajar lima mata pelajaran sekaligus.

"Distribusi guru sangat timpang. Guru menumpuk di kota, sementara pelosok seolah tak tersentuh. Belum ada kebijakan berani yang menjamin pemerataan pendidikan secara konkret," keluh Suherdiyanto.

Padahal, ketimpangan inilah yang menjadi akar dari berbagai persoalan pendidikan. Ketika guru lebih memilih menetap di kota karena fasilitas dan insentif yang lebih baik, maka daerah tertinggal akan terus dibiarkan dengan pendidikan ala kadarnya.

 

Pemerintah Daerah Diminta Bangkit dari Tidur

PGRI Kalbar menyerukan agar pemerintah daerah—terutama Gubernur Kalbar, Dinas Pendidikan, dan DPRD—tidak lagi memandang krisis ini sebagai angin lalu. Suherdiyanto meminta agar segera dilakukan koordinasi lintas sektor dan lembaga, terutama dengan Komisi V DPRD Kalbar yang membidangi pendidikan.

"Ini saatnya kepala daerah menunjukkan keberpihakan yang nyata terhadap pendidikan. Bukan hanya program seremonial atau bantuan satu kali. Kita butuh kebijakan yang menyentuh akar persoalan," ujarnya.

Ia juga menyoroti pentingnya regulasi lokal yang bisa memberi kelonggaran bagi sekolah untuk mempekerjakan guru honorer, setidaknya sebagai solusi jangka pendek. "Kalau regulasi pusat belum bisa diubah, maka daerah harus mencari celah kreatif untuk menyelamatkan pendidikan warganya," tegasnya.

 

Kolaborasi, Bukan Sekadar Tanggung Jawab Pemerintah

Satu hal penting yang juga ditekankan oleh PGRI Kalbar adalah pentingnya sinergi lintas sektor. Pendidikan, kata Suherdiyanto, tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah daerah atau pusat. Sektor swasta, organisasi masyarakat, dan perguruan tinggi juga harus terlibat aktif.

"Kita harus membangun kemitraan. Misalnya, perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Kalbar bisa dilibatkan dalam program peningkatan mutu pendidikan. Begitu juga LSM dan institusi keagamaan," ujarnya.

Model kolaboratif seperti ini telah terbukti berhasil di beberapa daerah lain di Indonesia, seperti di NTT dan Sulawesi Selatan, di mana sektor swasta membantu penyediaan guru kontrak dan beasiswa bagi siswa miskin.

 

Hardiknas: Bukan Seremonial, Tapi Momentum Perubahan

Hari Pendidikan Nasional sejatinya bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah pengingat tentang amanah yang belum tuntas: mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan di Kalimantan Barat, amanah itu terasa makin berat dengan adanya ribuan kursi guru yang kosong, ribuan anak yang belajar tanpa bimbingan, dan ribuan cita-cita yang mungkin akan kandas.

PGRI Kalbar berharap agar momentum Hardiknas 2025 ini dijadikan titik balik bagi reformasi pendidikan di daerah. Bahwa dari Pontianak hingga ke hulu Kapuas, dari kota hingga ke batas negeri, setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak.

“Jangan biarkan anak-anak kita tumbuh dalam ketidaktahuan karena ketidakmampuan negara dalam menyediakan guru. Ini bukan tentang angka semata. Ini tentang masa depan generasi Kalbar,” pungkas Suherdiyanto.

Next Post Previous Post