Jejak Tersembunyi Tiga Buronan: Drama Penyerahan Diri dalam Skandal Tanah Bank Daerah Kalbar
Pontianak — Setelah menghilang dari radar hukum dan menjadi
buronan yang dicari selama berbulan-bulan, tiga tersangka kasus korupsi yang
mengguncang institusi keuangan daerah Kalimantan Barat akhirnya memilih jalan
pulang. Pada Selasa sore, 29 April 2025, pukul 16.30 WIB, suasana di Kantor
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat berubah hening ketika tiga pria yang selama
ini berada dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) berjalan masuk dan menyerahkan
diri. Mereka adalah Sudirman HMY, Samsir Ismail, dan Muhammad Faridhan —
tokoh-tokoh sentral dalam perkara korupsi pengadaan tanah untuk bank milik
daerah yang telah menimbulkan kerugian negara hingga puluhan miliar rupiah.
Penyerahan diri ini menjadi momen krusial dalam perjalanan panjang penyidikan kasus yang menyeret mereka, kasus yang tak hanya melibatkan uang rakyat, tetapi juga menunjukkan bagaimana hukum berusaha tetap berjalan meskipun pelakunya sempat bersembunyi.
Akhir Pelarian: Datang Sendiri, Tanpa Borgol
Kepala Seksi Penerangan dan Hukum (Kasi Penkum) Kejati
Kalbar, I Wayan Gedin Arianta, mengonfirmasi langsung kabar mengejutkan ini
kepada awak media. Dalam keterangannya, Wayan menyebut bahwa ketiga tersangka
datang secara sukarela, tanpa paksaan, tanpa pengawalan, hanya didampingi kuasa
hukum mereka dan beberapa kerabat dekat. “Mereka menyerahkan diri sebagai
bentuk tanggung jawab untuk menyelesaikan proses hukum yang sedang berjalan,”
kata Wayan.
Penyerahan diri itu, lanjutnya, bukan datang begitu saja. Ada proses panjang yang dilakukan oleh Tim Intelijen Kejati Kalbar, yang tidak hanya mengandalkan kekuatan hukum, tetapi juga kekuatan pendekatan emosional. Dengan strategi persuasif yang berlandaskan pendekatan humanis, tim intelijen mendekati keluarga para tersangka, membangun komunikasi, dan menyadarkan mereka akan pentingnya menghadapi hukum secara terbuka.
“Upaya penyadaran ini tidak instan. Diperlukan kesabaran, empati, dan komunikasi yang intensif,” jelas Wayan. Dan akhirnya, semua usaha itu membuahkan hasil.
Dari DPO hingga Seruan Terbuka
Sudirman, Samsir, dan Faridhan bukan nama baru dalam daftar
penyidik Kejati Kalbar. Mereka telah beberapa kali dipanggil secara resmi,
setidaknya tiga kali, dengan surat panggilan sah yang dikirimkan ke alamat
tempat tinggal masing-masing. Namun, ketiganya selalu mangkir tanpa alasan yang
dapat diterima secara hukum.
Tak berhenti di situ, penyidik pun melakukan upaya paksa dengan mendatangi rumah masing-masing tersangka. Hasilnya nihil. Di lokasi, para penyidik hanya menemukan rumah kosong dan surat keterangan dari RT/RW setempat yang menyatakan bahwa benar, ketiga orang itu memang tinggal di alamat tersebut. Namun, keberadaan fisik mereka tak terdeteksi.
Akhirnya, pada 6 Maret 2025, Kejati Kalbar mengambil langkah lebih drastis: menetapkan ketiganya dalam status buron alias DPO, dan mengumumkan secara terbuka melalui media massa dan media daring. Seruan untuk menyerahkan diri pun digaungkan dengan nada tegas namun tetap mengedepankan prinsip hukum yang adil.
Tak hanya itu, Kejati Kalbar juga mengajukan permintaan bantuan ke AMC (Adhyaksa Monitoring Center) Kejaksaan Agung RI untuk melacak keberadaan para tersangka. Proses pengecekan lintas wilayah dilakukan untuk memastikan mereka tidak kabur ke luar daerah atau bahkan luar negeri.
“Penetapan DPO terhadap para tersangka untuk memastikan bahwa proses hukum akan tetap berjalan. Bahkan, kami sempat mempertimbangkan sidang in absentia sesuai Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang Tipikor,” ungkap Wayan.
Namun, sidang tanpa kehadiran tersangka tentu bukanlah pilihan ideal. Selain memberi kesan kurang transparan, proses seperti itu juga bisa merugikan para tersangka sendiri karena mereka kehilangan kesempatan membela diri secara langsung di hadapan pengadilan.
Oleh sebab itu, Kejati kembali mengimbau agar mereka segera menyerahkan diri, dan untungnya, imbauan itu kini terbukti ampuh.
Latar Belakang Kasus: Lahan, Miliar, dan Ketamakan
Kisah ini berawal pada tahun 2015, kala bank milik daerah
Kalimantan Barat berencana membangun kantor pusat baru yang representatif dan
strategis. Pilihan jatuh pada lahan seluas 7.883 meter persegi yang terletak di
Jalan Ahmad Yani I, kawasan komersial yang tengah berkembang di Pontianak.
Tanah tersebut terdiri dari 15 bidang dengan status Sertifikat Hak Milik (SHM). Harga yang dibayarkan untuk keseluruhan tanah mencapai angka fantastis: lebih dari Rp99 miliar.
Namun, seperti banyak kasus pengadaan tanah di tanah air, kecurigaan muncul. Investigasi yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menguak temuan mencengangkan. Nilai tanah yang dibeli ternyata jauh melampaui harga pasar wajar saat itu. Dari penghitungan BPKP, kerugian negara ditaksir mencapai lebih dari Rp39 miliar.
Nilai yang tidak kecil — setara dengan anggaran pembangunan puluhan sekolah atau fasilitas publik lainnya. Korupsi ini bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap integritas pengelolaan aset daerah.
Nasib Ketiga Tersangka: Dari Bangku Direktur ke Kursi Terdakwa?
Kini, setelah menyerahkan diri, ketiga tersangka tak lagi
berstatus buronan. Namun, ini bukan berarti akhir dari masalah. Justru, ini
menjadi awal dari proses hukum yang lebih serius.
Setelah kedatangan mereka di kantor Kejati Kalbar, para jaksa penyidik langsung melakukan proses administrasi awal, diikuti pemeriksaan lanjutan. Langkah ini penting untuk menentukan sejauh mana keterlibatan mereka dalam pengadaan tanah yang diduga penuh mark-up tersebut.
Sudirman HMY, Samsir Ismail, dan Muhammad Faridhan merupakan tokoh-tokoh penting dalam proyek tersebut. Dugaan awal menyebut bahwa mereka terlibat secara aktif dalam proses pembelian dan penetapan harga tanah, termasuk proses negosiasi dengan pemilik lahan hingga alur pencairan anggaran.
Jika terbukti bersalah di pengadilan, mereka terancam hukuman berat sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Tidak hanya hukuman penjara, tetapi juga pengembalian kerugian negara dan pencabutan hak-hak tertentu sesuai putusan hakim.
Refleksi: Ketika Hukum Menyentuh Mereka yang Berkuasa
Kasus ini menjadi cermin betapa rawannya proyek-proyek
pengadaan di sektor publik. Ketika kekuasaan bertemu dengan peluang, dan
pengawasan longgar, maka jalan pintas berupa korupsi bisa sangat menggoda.
Namun, penegakan hukum terhadap ketiga tersangka menunjukkan bahwa tidak ada yang kebal hukum. Meskipun mereka sempat melarikan diri dan mencoba menghindar dari jerat hukum, pada akhirnya proses hukum tetap menemukan jalannya.
Keberhasilan pendekatan persuasif yang dilakukan oleh Kejati Kalbar juga patut dicatat. Dalam banyak kasus, penegakan hukum yang terlalu mengedepankan kekuatan represif sering kali justru membuat pelaku semakin bersembunyi. Namun pendekatan yang humanis, seperti yang dilakukan dalam kasus ini, bisa menjadi jalan tengah yang efektif.
“Ini bukan hanya soal menghukum pelaku, tapi juga mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum dan institusi negara,” kata Wayan menutup pernyataannya.
Dengan penyerahan diri ketiga tersangka, Kejaksaan kini bisa melanjutkan proses hukum ke tahap yang lebih substantif. Pemeriksaan lanjutan, pemberkasan, dan pelimpahan ke pengadilan tinggal menunggu waktu.
Publik tentu berharap agar proses hukum ini berjalan transparan, adil, dan tuntas. Bukan hanya untuk menghukum pelaku, tetapi juga untuk mencegah terulangnya praktik serupa di masa depan.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa di balik angka-angka miliar rupiah dan dokumen-dokumen resmi, terdapat sistem yang mudah sekali dikorupsi — jika tidak diawasi. Dan jika penegakan hukum tidak tegas, bukan tidak mungkin skandal semacam ini akan kembali terjadi, dengan nama-nama baru di panggung yang sama.