Gawai Dayak dan Jalan Menuju Ketahanan Pangan: Saat Budaya Menjadi Pilar Ekonomi Kalbar
![]() |
Ilustrasi |
Pontianak, Mei 2025 — Aroma lemang yang dipanggang di bambu,
dentingan gong yang bertalu-talu, dan gemuruh langkah kaki dalam tarian adat
tak hanya menjadi penanda kembalinya Gawai Dayak ke tanah Kalimantan Barat
untuk kali ke-39. Tahun ini, pesta budaya tahunan masyarakat Dayak itu menjelma
menjadi lebih dari sekadar perayaan. Ia berubah menjadi panggung strategis yang
menggugah kesadaran kolektif: bahwa budaya dan pangan adalah dua sisi dari koin
yang sama dalam membangun masa depan Kalbar yang mandiri dan berdaulat.
Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan, membuka perhelatan ini dengan satu pesan utama: Gawai Dayak adalah pengingat paling nyata bahwa masyarakat Dayak sudah lama hidup dari tanah, dari hasil kerja tangan mereka sendiri. Maka dari itu, di tengah perayaan warisan leluhur ini, ia menyerukan perlunya menjadikan kemandirian pangan sebagai strategi pembangunan daerah.
Budaya yang Hidup dari Tanah
“Perayaan Gawai Dayak di Kalimantan Barat tidak hanya
menjadi ajang pelestarian budaya, tetapi juga dimaknai sebagai momentum untuk
memperkuat program ketahanan pangan dan kemandirian ekonomi masyarakat,” kata
Krisantus dari panggung utama yang dikelilingi para tokoh adat, tamu undangan,
dan masyarakat dari berbagai penjuru.
Dalam refleksi budaya Dayak, bertani bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan bentuk penghormatan terhadap alam. Menanam ubi, singkong, padi ladang, dan tanaman hutan adalah praktik keseharian yang diwariskan dari generasi ke generasi—sebuah pola hidup mandiri yang kini makin relevan di tengah tantangan ketahanan pangan global.
“Tradisi menanam adalah simbol kemandirian pangan. Dan itu harus kita hidupkan kembali,” lanjutnya.
Dari Ketergantungan Menuju Kemandirian
Dalam kesempatan yang sama, Krisantus menjelaskan bahwa
Pemerintah Provinsi Kalbar sedang menggeser paradigma pembangunan daerah. Jika
sebelumnya pembangunan banyak bertumpu pada APBD dan bantuan pusat, kini arah
kebijakan bergeser ke model pembangunan produktif dan berbasis profit.
“Kita harus mulai mengurangi ketergantungan terhadap APBD. Kita dorong unit-unit usaha masyarakat agar bisa menghasilkan keuntungan dan mandiri secara ekonomi,” ujarnya.
Model ini, menurutnya, bukan hanya lebih tahan terhadap gejolak fiskal, tetapi juga membangun kesadaran akan potensi lokal. Termasuk di dalamnya adalah hasil hutan bukan kayu seperti madu, rotan, dan tanaman herbal, pertanian organik, serta berbagai produk pangan olahan yang bisa menjadi sumber pendapatan masyarakat desa.
Ekonomi Komunitas Berbasis Kearifan Lokal
Gawai Dayak, menurut Krisantus, sepatutnya tak hanya menjadi
panggung budaya, tapi juga pasar rakyat yang mencerminkan kekayaan ekonomi
komunitas. Ia mendorong agar pemerintah kabupaten/kota di Kalbar turut berperan
aktif dengan menyinergikan pembangunan daerah dengan nilai-nilai dan kearifan
lokal.
“Pembangunan ekonomi tidak harus selalu dengan pendekatan industri besar. Ketahanan pangan bisa dimulai dari desa, dari keluarga, dari tanah milik sendiri,” katanya.
Dengan pendekatan semacam ini, pembangunan tidak hanya mengandalkan investasi besar atau program nasional, tetapi juga memberdayakan masyarakat lokal sebagai subjek aktif dalam pembangunan. Hal ini juga sejalan dengan visi pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, yang berpihak kepada kelompok-kelompok rentan dan komunitas adat.
Adrianus Asia Sidot: Saatnya Paradigma Baru Pangan Lokal
Senada dengan Krisantus, Anggota Komisi IV DPR RI Dapil
Kalbar II, Adrianus Asia Sidot, menegaskan pentingnya ketahanan pangan sebagai
pilar utama pembangunan nasional. Menurutnya, selain ketahanan energi dan air,
ketahanan pangan menjadi prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam
lima tahun mendatang.
“Kalbar harus menyiapkan langkah konkret agar tidak terus bergantung pada pasokan pangan dari luar,” ujar Adrianus di sela-sela perayaan.
Politisi yang juga tokoh Dayak ini menyoroti dampak pemanasan global dan perubahan iklim yang mulai terasa di sektor pertanian. Ia mencatat bahwa produksi pangan menurun di banyak daerah, sementara harga pangan global terus merangkak naik.
“Inilah saatnya kita serius memikirkan kedaulatan pangan. Jangan tunggu krisis,” katanya.
Mengubah Cara Pandang Terhadap Pangan Lokal
Adrianus juga mengangkat isu yang sering luput dari
perhatian: persepsi masyarakat terhadap makanan lokal. Ia mengkritik cara
pandang lama yang menganggap makanan seperti jagung, ubi, atau singkong sebagai
makanan kelas dua.
“Dulu orang yang makan ubi atau jagung dianggap miskin. Ini cara berpikir lama yang harus kita ubah. Pangan lokal wajib kita lestarikan dan banggakan,” tegasnya.
Menurutnya, nilai gizi jagung dan umbi-umbian tidak kalah dengan beras, bahkan dalam beberapa kasus lebih baik untuk kesehatan. Dengan diversifikasi konsumsi, masyarakat tidak hanya mengurangi tekanan pada beras sebagai komoditas utama, tapi juga membantu membangun ekosistem pertanian yang lebih resilien.
Peran TNI-Polri dan Sinergi Antar Lembaga
Satu hal yang menarik dari pemaparan Adrianus adalah
keterlibatan aktif institusi seperti TNI dan Polri dalam program peningkatan
produksi pangan strategis. Ia menyebut bahwa sinergi antar lembaga ini penting
untuk menurunkan biaya produksi, memperluas lahan produktif, dan memastikan
distribusi hasil panen berjalan lancar.
“Kalau produksi jagung kita naik, maka harga pakan ternak bisa turun. Imbasnya, harga daging ayam, telur, hingga ikan bisa lebih murah. Semua bermuara pada satu hal: ketersediaan pangan yang cukup dan terjangkau,” katanya.
Model kerja sama lintas sektor seperti ini, menurut Adrianus, adalah kunci dalam mengatasi kompleksitas persoalan pangan yang kini makin dipengaruhi faktor eksternal seperti geopolitik global dan iklim ekstrem.
Gawai Dayak: Simbol Persatuan dan Perubahan
Yang menarik dari Gawai Dayak adalah kemampuannya merangkul
semua etnis dan kelompok masyarakat di Kalbar. Meski lahir dari akar budaya
Dayak, perayaan ini menjadi ruang inklusif yang dihadiri dan dirayakan oleh
semua—Melayu, Tionghoa, Madura, Bugis, hingga warga keturunan Arab.
Bagi Adrianus, inilah kekuatan sesungguhnya dari Gawai Dayak: semangat gotong royong lintas suku yang bisa menjadi fondasi kuat dalam membangun kedaulatan pangan.
“Kita semua—Dayak, Melayu, Madura, Bugis, Tionghoa, dan lainnya—punya peran. Gawai Dayak bukan milik satu kelompok, tapi milik Kalbar bersama,” tegasnya.
Membangun Masa Depan dari Warisan Leluhur
Ketika gong terakhir dibunyikan dan para penari adat menutup
pertunjukan di panggung utama, pesan yang tertinggal bukan hanya tentang
indahnya budaya Dayak. Lebih dari itu, Gawai Dayak ke-39 telah menjadi saksi
bahwa di tengah tarian, lagu, dan pakaian adat, tersimpan semangat membangun
Kalimantan Barat dari akar budayanya sendiri—dengan pangan lokal, ekonomi
komunitas, dan kemandirian sebagai tujuan besar.
Perayaan budaya yang dulu mungkin hanya dianggap seremonial, kini berubah menjadi forum strategis pembangunan. Inilah transformasi yang dibutuhkan oleh Kalbar: menjadikan kearifan lokal bukan sebagai warisan yang dikagumi semata, tapi sebagai modal utama untuk membangun masa depan yang kuat, berdaulat, dan berkelanjutan.