Enam Polisi Positif Narkoba Hanya Dihukum Salat? Publik Pertanyakan Seriusnya Penegakan Disiplin di Polres HST

  

Barabai, 27 Mei 2025 – Penanganan kasus enam anggota Polres Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan, yang dinyatakan positif narkoba menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat. Pasalnya, alih-alih diberhentikan atau diproses hukum, keenam personel itu justru hanya dijatuhi sanksi sosial berupa pembinaan rohani dan kewajiban salat lima waktu.

Pengumuman tersebut disampaikan langsung oleh Kapolres HST, AKBP Jupri JHP Tampubolon, saat kunjungan kerja Kapolda Kalsel Irjen Rosyanto Yudha Hermawan, Sabtu (24/5/2025). Jupri menyebut para anggota tersebut saat ini tengah menjalani pembinaan ketat selama 14 hari di bawah pengawasan langsung dirinya dan Wakapolres.

“Yang bersangkutan dikasih helm dan ransel untuk rutin melaksanakan apel pagi dan siang, dan olahraganya kami paksakan tiga kali sehari, pembinaan rohani wajib melaksanakan salat lima waktu di musala dengan pengawasan ketat,” ungkap Kapolres Jupri.

Namun, sanksi tersebut sontak memicu reaksi publik—baik di media sosial maupun kalangan pemerhati hukum. Banyak yang mempertanyakan komitmen dan keseriusan Polri dalam menegakkan disiplin dan memberantas narkoba, terutama di tubuh institusinya sendiri.

 

Hanya Salat untuk Pelanggar Narkoba?

Di tengah kampanye besar-besaran yang digalakkan aparat kepolisian dalam memerangi narkoba, kebijakan yang diambil oleh Polres HST ini dinilai kontradiktif. Tak sedikit yang menyebut sanksi tersebut terlalu ringan dan bahkan bisa dianggap melecehkan upaya penegakan hukum terhadap penyalahgunaan narkoba.

“Kalau masyarakat biasa yang kena narkoba bisa langsung ditahan, diadili, dan dihukum penjara. Tapi kalau anggota polisi hanya disuruh salat? Ini sangat tidak adil dan berbahaya bagi wibawa hukum,” ujar seorang aktivis antinarkoba di Kalimantan Selatan yang enggan disebutkan namanya.

Media sosial pun ramai dengan komentar bernada sinis. Beberapa menyebut hukuman ini sebagai "komedi keadilan", sementara yang lain mempertanyakan apakah keimanan bisa jadi pengganti proses hukum.

"Kalau begitu, pecandu narkoba cukup disuruh rajin salat saja? Bagaimana dengan korban narkoba? Ini bukan rehabilitasi, ini pembiaran yang terselubung," tulis akun @wargabantalkalsel di platform X.

 

Kapolda: Akan Ada Sanksi Berat, Tapi...

Kapolda Kalsel Irjen Rosyanto Yudha Hermawan sebenarnya menyatakan bahwa setiap anggota yang terbukti menggunakan narkoba akan diberikan sanksi tegas sesuai arahan Kapolri. Ia juga menegaskan bahwa khusus untuk anggota yang ditangkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Kalsel, proses hukum akan tetap berjalan.

“Arahan pimpinan (Kapolri), mereka akan diproses dan diberikan sanksi berat. Saya minta kepala BNN memproses sampai ke pengadilan,” ujar Kapolda.

Namun, pernyataan itu belum menjawab secara jelas mengapa enam anggota yang dinyatakan positif narkoba tidak langsung diproses hukum, melainkan hanya dibina melalui pendekatan rohani.

 

Stigma Desa Kundan dan Arah Baru

Dalam kesempatan yang sama, Kapolda juga menyinggung Desa Kundan, Kecamatan Hantakan, yang disebut memiliki stigma negatif sebagai sarang narkoba. Ia memerintahkan jajaran Polres HST untuk menjadikan desa tersebut sebagai proyek perubahan melalui intervensi aparat kepolisian dan kolaborasi dengan pemerintah daerah.

“Saya perintahkan ini menjadi program Kapolres, merubah desa tersebut dan menghilangkan pengguna narkoba di desa itu. Bila perlu Polda siap membantu,” tegasnya.

Langkah tersebut tentu patut diapresiasi, namun publik tetap mempertanyakan: bagaimana bisa institusi yang ingin memberantas narkoba di masyarakat, justru terlihat lunak terhadap anggotanya sendiri yang terlibat?

 

Transparansi Diperlukan

Hingga berita ini ditulis, pihak kepolisian belum mengumumkan secara terbuka identitas dan pangkat keenam anggota yang positif narkoba. Ketertutupan ini makin memperbesar kecurigaan bahwa kasus ini bisa saja ditutup begitu saja tanpa kejelasan sanksi hukum.

“Kalau memang serius mau berantas narkoba, tunjukkan dengan transparansi dan akuntabilitas. Jangan hanya keras ke masyarakat, tapi lunak ke internal sendiri,” ujar Ketua Lembaga Pengawasan Aparatur Negara Kalimantan Selatan, Rafiq Noor.

Menurutnya, tidak cukup hanya dengan "pembinaan rohani" untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat seperti ini. Ia mendesak agar keenam anggota tersebut segera dikenakan tindakan disipliner formal hingga pemecatan, bila perlu dilanjutkan ke jalur hukum pidana.

 

Rakyat Menunggu Bukti Nyata

Jika Polri ingin mengembalikan kepercayaan masyarakat, maka konsistensi dalam penegakan hukum harus berlaku bagi siapa pun, termasuk dan terutama untuk anggota internal. Memberi hukuman berupa salat lima waktu dan apel pagi mungkin relevan sebagai bentuk pembinaan awal, namun tidak bisa menggantikan proses hukum pidana yang seharusnya dijalani oleh pelanggar.

Kasus ini menjadi ujian penting bagi Kapolres HST dan Kapolda Kalsel untuk membuktikan bahwa mereka memang serius dalam memerangi narkoba – tidak hanya dalam retorika, tapi juga dalam tindakan nyata.

Jika aparat penegak hukum sendiri diberi perlakuan istimewa saat melanggar, bagaimana rakyat bisa yakin bahwa hukum benar-benar adil dan tidak tajam ke bawah, tumpul ke atas?

Next Post Previous Post