Tragedi di Tengah Upaya Digitalisasi Energi: Kecelakaan di PLTU Sukabangun, Keluarga Tuntut Transparansi
Kalimantan Barat, April 2025 – Di saat Pemerintah Provinsi
Kalimantan Barat bersama PT Pertamina bersiap memperkuat sistem digitalisasi
subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) melalui penggunaan QR code—yang dipuji sebagai
langkah strategis menekan konsumsi BBM bersubsidi dan memajukan
transparansi—muncul ironi pilu di balik layar industri energi. Sebuah insiden
tragis terjadi di PLTU Sukabangun, Kabupaten Ketapang. Seorang karyawan
dilaporkan meninggal dunia dalam dugaan kecelakaan kerja yang hingga kini masih
menjadi misteri bagi keluarganya.
Tragedi yang Terbungkam: Kematian Tanpa Penjelasan
Sabtu pagi yang kelam, 12 April 2025, sekitar pukul 06.00
WIB, kabar duka menyelimuti lingkungan kerja di Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU) Sukabangun. Seorang pekerja dilaporkan tewas dalam insiden yang hingga
kini belum diungkap secara detail oleh pihak perusahaan maupun kepolisian.
Athar Rahman, kerabat dekat korban, mengaku sangat terpukul ketika mengetahui kabar kematian itu—terlebih karena informasi tersebut diterima pihak keluarga setelah jenazah korban sudah dimakamkan. "Kami seakan tak diberi ruang untuk berduka dengan layak," ujar Athar dalam nada getir saat diwawancarai.
Menurut penuturan Athar, keluarga baru mendengar kabar meninggalnya korban pada sore hari, sekitar pukul 16.00 WIB. Tanpa menunggu lama, mereka langsung menuju lokasi PLTU Sukabangun dengan harapan mendapatkan kejelasan. Namun yang mereka temui justru sebaliknya—suasana hening, minim penjelasan, dan penuh ketertutupan.
"Saya hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi ketika saya mencoba mendokumentasikan kondisi lokasi atau mencari petunjuk, saya dilarang keras. Tidak ada yang menjelaskan, tidak ada komunikasi terbuka," tambahnya.
Polisi Bergerak, Tapi Belum Banyak Terungkap
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Ketapang, AKP Ryan Eka
Cahya, saat dihubungi oleh awak media menyatakan bahwa penyelidikan sedang
dilakukan dan belum bisa disimpulkan apakah insiden tersebut murni kecelakaan
kerja atau terdapat unsur kelalaian.
“Prosesnya masih berjalan. Kami sedang mengumpulkan keterangan dari para saksi dan pihak perusahaan,” ujar AKP Ryan pada Minggu (20/4/2025).
Namun, publik bertanya-tanya: mengapa keluarga korban tidak dilibatkan sejak awal? Mengapa informasi tentang insiden ini begitu lambat dan minim transparansi?
Suara yang Terbungkam di Balik Mesin
Dalam setiap pembangunan dan modernisasi infrastruktur
energi, ada peran manusia yang terkadang luput dari sorotan. Kematian pekerja
di PLTU Sukabangun bukan sekadar angka statistik dalam dunia kerja. Ini adalah
tragedi kemanusiaan yang patut diusut secara serius dan adil.
Manajer PLTU Sukabangun, Mahya, dalam pernyataan tertulis yang dikirim kepada media, menekankan bahwa pihaknya tengah melakukan evaluasi menyeluruh dan berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk kepolisian dan lembaga keselamatan kerja. Namun hingga kini belum ada pernyataan resmi mengenai penyebab kematian maupun kondisi sekitar kejadian.
“Kami menghargai kerja jurnalistik yang berimbang dan akan menyampaikan informasi lebih lanjut apabila proses evaluasi internal telah selesai,” tulis Mahya.
Ia menambahkan bahwa pihaknya tetap berkomitmen menjaga kontinuitas pelayanan listrik yang andal bagi masyarakat Ketapang dan sekitarnya. Tapi bagi keluarga korban, pernyataan itu belum cukup untuk menenangkan kegundahan hati mereka.
Sorotan terhadap Keselamatan Kerja di Industri Energi
Insiden ini kembali membuka diskusi serius tentang
keselamatan kerja di sektor energi, terutama di PLTU yang melibatkan suhu
tinggi, tekanan uap, dan potensi bahaya lain. Sejauh mana perusahaan memastikan
setiap karyawan memahami protokol keselamatan? Apakah ada pengawasan internal
yang ketat? Dan bagaimana mekanisme tanggap darurat ketika kecelakaan terjadi?
Berbagai lembaga pengawas ketenagakerjaan di Kalbar pun mulai menaruh perhatian. Beberapa organisasi buruh bahkan telah menyuarakan keprihatinan atas kasus ini dan mendesak Dinas Tenaga Kerja setempat untuk segera turun tangan melakukan investigasi independen.
Ironi di Tengah Transformasi Energi Digital
Yang membuat ironi ini semakin dalam adalah fakta bahwa
kejadian ini terjadi di tengah euforia Pemerintah Provinsi Kalbar dan Pertamina
yang tengah mendorong sistem digitalisasi subsidi BBM dengan teknologi QR Code.
Program ini dicanangkan untuk menjamin subsidi energi tepat sasaran, mengurangi
penyimpangan, serta membangun ekosistem energi yang lebih transparan dan
modern.
Dalam beberapa minggu terakhir, data resmi mencatat penurunan signifikan konsumsi BBM bersubsidi di Kalbar, sebuah sinyal positif bahwa masyarakat mulai merespons digitalisasi distribusi BBM. Sistem ini memungkinkan pengguna untuk membeli BBM bersubsidi dengan menunjukkan QR Code yang terhubung langsung dengan identitas dan kendaraan pengguna.
Gubernur Kalimantan Barat, melalui pernyataan resmi, mengapresiasi capaian ini. “Ini adalah bentuk komitmen kami dalam memperkuat ketahanan energi dan memastikan keadilan subsidi. Kami tidak ingin subsidi justru dinikmati oleh mereka yang tidak berhak,” ujarnya.
Membangun Ekosistem Digital, Tapi Jangan Lupakan Nyawa
Namun, di balik keberhasilan digitalisasi itu, tragedi PLTU
Sukabangun menjadi pengingat bahwa teknologi dan modernisasi tak boleh
mengaburkan perhatian terhadap aspek fundamental: keselamatan dan nilai nyawa
manusia.
Pemerintah daerah yang selama ini proaktif dalam proyek digitalisasi energi, kini didorong untuk menunjukkan sikap yang sama terhadap perlindungan tenaga kerja. Banyak pihak berharap, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalbar serta Komite Keselamatan Kerja Nasional (K3N) segera membuka ruang evaluasi publik terhadap sistem keselamatan kerja di PLTU Sukabangun.
Kepada awak media, Athar Rahman menyatakan satu hal sederhana namun penuh makna: “Kami hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kami ingin kebenaran. Kami ingin keadilan.”
Memulihkan Kepercayaan: Harapan akan Transparansi dan Tanggung Jawab
Tragedi ini tidak boleh dianggap sebagai insiden biasa.
Kepercayaan publik terhadap pengelolaan industri energi bisa runtuh jika tidak
ada keterbukaan dan pertanggungjawaban yang nyata. Dalam situasi seperti ini,
manajemen PLTU, otoritas lokal, serta aparat penegak hukum harus menunjukkan
komitmen moral yang kuat—bukan sekadar pernyataan normatif di atas kertas.
Organisasi masyarakat sipil di Ketapang juga mulai menyuarakan agar Pemerintah Provinsi tidak sekadar menjadi fasilitator digitalisasi, tetapi juga pengawas ketat terhadap implementasi regulasi keselamatan kerja.
Jalan Panjang Menuju Keadilan
Kasus ini masih dalam penyelidikan. Tetapi tekanan publik
terus meningkat. Media lokal, organisasi pekerja, serta warga Ketapang terus
menanti hasil investigasi dan, yang terpenting, sikap dari pihak-pihak terkait.
Keluarga korban pun berharap akan ada titik terang dan kejelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ada kelalaian sistemik? Apakah protokol keselamatan dilanggar? Dan siapa yang bertanggung jawab?
Hingga semua pertanyaan itu terjawab, tragedi di PLTU Sukabangun akan terus menjadi pengingat kelam di tengah terang cahaya pembangkit energi. Sebuah simbol bahwa dalam setiap kemajuan, harus ada keberanian untuk menatap sisi gelap yang menyertainya—dan menyalakan pelita keadilan bagi mereka yang telah tiada.