Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Kaltim Meningkat: Upaya Penanganan dan Tantangan di Tahun 2024
Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kaltim Noryani Sorayalita. Foto : Istimewa |
Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kalimantan Timur
(Kaltim) terus menunjukkan tren peningkatan yang memprihatinkan. Berdasarkan
data yang dirilis oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (DP3A) Kalimantan Timur, Noryani Sorayalita, pada 31 Juli 2024, tercatat
sebanyak 568 kasus kekerasan di wilayah tersebut. Jumlah ini hanya sedikit di
bawah 569 kasus yang telah dirinci hingga saat ini, menandakan betapa seriusnya
persoalan ini di Kaltim.
Sorayalita menjelaskan bahwa angka kekerasan ini terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan setelah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan. Ia mengakui bahwa meskipun ada payung hukum yang lebih kuat untuk melindungi korban kekerasan, upaya pencegahan masih menemui berbagai kendala di lapangan. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus kekerasan, terutama yang melibatkan perempuan dan anak, semakin sulit untuk diantisipasi dan dicegah.
Tren Meningkatnya Kekerasan
Data yang diungkapkan Sorayalita menunjukkan tren
peningkatan kekerasan di Kalimantan Timur, terutama terhadap anak dan
perempuan. Menurut laporan dari Simfoni Perlindungan Perempuan dan Anak, jumlah
kasus kekerasan terus meningkat secara signifikan dalam tiga tahun terakhir.
Pada tahun 2021, tercatat sebanyak 551 kasus. Kemudian, pada tahun 2022, jumlah
ini melonjak drastis menjadi 945 kasus, dan pada tahun 2023, angka ini terus
meningkat hingga mencapai 1.108 kasus.
Tren kenaikan ini tak hanya mengindikasikan peningkatan jumlah kejadian kekerasan, tetapi juga menunjukkan adanya kesadaran masyarakat yang semakin tinggi untuk melaporkan tindakan kekerasan yang terjadi. Hal ini penting dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan di masyarakat. “Kita dapat melihatnya secara positif jika kenaikan pelaporan ini mencerminkan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kekerasan yang terjadi,” ujar Sorayalita. Namun demikian, angka yang terus meningkat ini juga menegaskan perlunya upaya yang lebih serius dalam menangani dan mencegah kekerasan, khususnya yang terkait dengan kekerasan seksual.
Kekerasan terhadap Laki-Laki dan Anak-anak
Dalam laporannya, Sorayalita juga menyoroti bahwa kekerasan
tidak hanya dialami oleh perempuan, tetapi juga oleh laki-laki. Meski demikian,
jumlah korban kekerasan terhadap anak-anak, terutama anak perempuan,
menunjukkan angka yang paling tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Hal ini
semakin memperkuat urgensi perlindungan terhadap anak-anak sebagai kelompok
yang rentan menjadi korban kekerasan, baik di lingkungan rumah tangga maupun di
luar rumah.
Sorayalita menjelaskan bahwa jenis kekerasan yang dialami oleh anak-anak sering kali bervariasi, mulai dari kekerasan fisik hingga kekerasan psikologis, dan bahkan kekerasan seksual. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih komprehensif dan holistik diperlukan untuk menangani masalah ini, terutama untuk mencegah dampak jangka panjang yang dapat merusak masa depan korban.
Tantangan Penanganan dan Pencegahan
Meningkatnya jumlah kasus kekerasan di Kaltim, terutama pada
tahun 2024 yang sudah mencapai 568 kasus hingga akhir Juli, menandakan adanya
tantangan besar dalam upaya penanganan dan pencegahan kekerasan. Meskipun
sejumlah kebijakan telah diterapkan, termasuk UU TPKS, dampak nyata di
masyarakat masih jauh dari harapan. Tantangan terbesar yang dihadapi adalah
keterbatasan sumber daya dan fasilitas yang tersedia untuk menangani korban
kekerasan, baik dalam hal perlindungan hukum, psikologis, maupun sosial.
Selain itu, budaya patriarki yang masih kuat di beberapa daerah juga menjadi penghalang besar dalam mewujudkan kesetaraan gender dan memberantas kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sering kali, korban kekerasan, terutama perempuan, enggan melaporkan kejadian tersebut karena takut dihakimi oleh masyarakat atau merasa tidak akan mendapatkan keadilan. Ini membuat banyak kasus kekerasan tidak terungkap dan pelaku tetap bebas berkeliaran tanpa mendapatkan sanksi yang sesuai.
“Kita harus memastikan bahwa kesetaraan gender diwujudkan dan ditingkatkan agar baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan akses yang sama, baik sebagai penyelenggara maupun penerima manfaat dari pembangunan yang ada,” ujar Sorayalita. Hal ini menekankan pentingnya kesetaraan gender sebagai salah satu kunci untuk mengurangi angka kekerasan di masyarakat.
Upaya Meningkatkan Perlindungan dan Kesadaran
Untuk menghadapi tantangan ini, berbagai langkah perlu
diambil guna meningkatkan perlindungan terhadap perempuan dan anak. Salah satu
langkah penting yang bisa dilakukan adalah meningkatkan kesadaran masyarakat
mengenai hak-hak perempuan dan anak serta pentingnya melaporkan tindakan
kekerasan yang terjadi. Kampanye edukasi dan penyuluhan di tingkat masyarakat
harus diperkuat, terutama di daerah-daerah yang masih memegang kuat nilai-nilai
patriarki.
Selain itu, diperlukan dukungan yang lebih besar dari pemerintah dan berbagai pihak terkait, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan komunitas, untuk menyediakan fasilitas dan layanan yang memadai bagi korban kekerasan. Pusat-pusat layanan terpadu yang dapat memberikan perlindungan hukum, pendampingan psikologis, dan layanan sosial bagi korban perlu diperbanyak dan diperkuat, terutama di daerah-daerah terpencil yang sering kali sulit dijangkau oleh pemerintah.
Tidak hanya itu, penguatan kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan juga menjadi hal yang sangat penting. Pelatihan yang lebih intensif bagi polisi, jaksa, dan hakim dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak diperlukan agar penanganan kasus dapat dilakukan dengan lebih sensitif dan profesional. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan juga harus menjadi prioritas untuk memberikan efek jera dan mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.
Meskipun tantangan yang dihadapi dalam penanganan kekerasan
terhadap perempuan dan anak di Kalimantan Timur masih sangat besar, ada harapan
bahwa dengan kerja sama yang baik antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai
pihak terkait, angka kekerasan ini dapat ditekan. Sorayalita berharap agar
hingga penghujung tahun 2024, kasus kekerasan dapat diminimalisir dengan
berbagai upaya yang telah dan akan terus dilakukan.
Upaya peningkatan kesadaran masyarakat, penguatan fasilitas perlindungan, serta penegakan hukum yang lebih tegas diharapkan dapat memberikan dampak positif dalam jangka panjang. Dengan begitu, harapannya tidak hanya kekerasan dapat berkurang, tetapi juga keadilan dan kesetaraan bagi seluruh warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, dapat benar-benar terwujud di Kalimantan Timur.
Penting untuk diingat bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak bukanlah masalah yang dapat diselesaikan dalam semalam. Ini adalah masalah yang kompleks dan memerlukan pendekatan multidimensi. Namun, dengan komitmen bersama dan langkah-langkah yang tepat, ada harapan bahwa masa depan yang lebih aman dan adil bagi perempuan dan anak-anak di Kalimantan Timur, dan Indonesia pada umumnya, dapat segera terwujud.