![]() |
| Ilustrasi AI |
IKN, 11 Desember 2025 – Kekayaan hutan tropis di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) kini berada di ujung tanduk akibat maraknya penambangan ilegal dan pembukaan lahan tanpa izin. Laporan terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkap kerusakan seluas 1.200 hektare di beberapa titik strategis, termasuk buffer zone Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP). Ancaman ini tidak hanya mengganggu visi IKN sebagai "kota hutan berkelanjutan", tapi juga berpotensi menunda target penanaman 3 juta pohon hingga 2026. Dengan lahan gambut Borneo yang rentan, isu ini memicu kekhawatiran nasional soal pelestarian ekosistem di tengah percepatan pembangunan.
Fenomena ini pertama kali terdeteksi melalui citra satelit
Landsat pada akhir November 2025, yang menunjukkan deforestasi cepat di sekitar
Sungai Sepaku dan Desa Mentawir. Penambangan emas ilegal menjadi biang kerok
utama, dengan alat berat seperti escavator dan pompa air menyusup ke area
lindung. "Kami temukan 15 titik tambang liar di hutan produksi IKN,
melibatkan 200 pekerja dari luar daerah," ungkap Kepala Balai Gakkum KLHK
Kalimantan Timur, Agus Widodo, dalam rapat koordinasi dengan Polri di
Samarinda. Data KLHK mencatat, aktivitas ini telah merusak 800 hektare vegetasi
primer, di mana pohon ulin dan jelutung—spesies endemik Borneo—hilang secara
permanen. Tak hanya itu, pembukaan lahan untuk pertanian sawit liar menambah
400 hektare kerusakan, sering kali dilakukan dengan pembakaran terkontrol yang
berisiko kebakaran hutan.
Lokasi-lokasi rawan tersebar di perbatasan Kutai Kartanegara
dan Penajam Paser Utara, tepat di jalur pipa gas dan infrastruktur tol IKN.
Satu insiden mencolok terjadi di Kampung Rawa Makmur, di mana sekelompok
penambang mendirikan tenda sementara dan membuang limbah merkuri ke sungai,
mengancam kualitas air baku untuk 500.000 penduduk masa depan IKN. Analisis
laboratorium KLHK menemukan kadar merkuri melebihi ambang batas 0,01 mg/L
hingga 10 kali lipat, yang bisa memicu bioakumulasi di ikan dan rantai makanan.
"Ini bukan sekadar kerusakan pohon; ini ancaman kesehatan jangka panjang
bagi ekosistem Borneo yang sudah rapuh," tegas Direktur Jenderal
Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Luthfi Fadhli, saat meninjau lokasi.
Respons aparat bergerak cepat, meski tantangan logistik di
medan hutan tetap ada. Pada 5 Desember 2025, tim gabungan Polres PPU dan Satpol
PP razia tiga lokasi, menangkap 12 pelaku termasuk pemodal dari luar pulau.
Barang bukti berupa 5 unit escavator dan 2 ton pasir emas disita, dengan nilai
kerugian negara diperkirakan Rp 50 miliar. "Kami kerahkan drone patroli
harian dan pasang 20 kamera CCTV di zona merah," kata Kapolres PPU, AKBP
Rahman Hidayat, yang menambahkan bahwa operasi "Hutan Bersih" akan
berlanjut hingga Maret 2026. KLHK sendiri menggelontorkan Rp 20 miliar untuk
restorasi, termasuk reboisasi dengan bibit lokal dan pembangunan pos pengamanan
komunitas.
Dampaknya terhadap proyek IKN tak bisa dianggap remeh. Visi
Presiden Prabowo Subianto soal 60% kawasan hijau kini terhambat, dengan audit
lingkungan yang tertunda di lima proyek utama seperti Istana Negara. Investor
asing, termasuk dari Singapura yang berjanji Rp 10 triliun untuk green energy,
mulai ragu karena isu ini. "Deforestasi ilegal bisa picu gugatan
internasional via Konvensi CBD, merusak citra Indonesia di forum global,"
komentar pakar lingkungan dari Universitas Mulawarman, Prof. Siti Nuramali, yang
menyoroti bahwa kehilangan hutan berarti hilangnya 15% penyerapan karbon
tahunan IKN. Selain itu, konflik sosial muncul: warga adat Dayak Penan di
Mentawir protes karena lahan adat mereka terganggu, memaksa pemerintah
fasilitasi mediasi adat.
Faktor pendorong di balik maraknya aktivitas ilegal ini
multifaset. Harga emas dunia yang melonjak 20% sepanjang 2025 menarik penambang
liar, ditambah lemahnya pengawasan di masa transisi pemindahan ASN. Data BPS
Kaltim menunjukkan, tingkat pengangguran di PPU mencapai 8%, mendorong warga
terlibat demi penghasilan cepat—rata-rata Rp 500.000 per hari per pekerja.
Namun, ini kontradiktif dengan program IKN yang menjanjikan 100.000 lapangan
kerja hijau. "Kami butuh pendekatan holistik: bukan hanya razia, tapi pelatihan
vokasi untuk konversi penambang jadi penanam pohon," usul Wakil Bupati
PPU, Andi Amrullah, dalam dialog dengan LSM WALHI.
Upaya mitigasi jangka panjang mulai digarap. KLHK bekerja
sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk integrasikan AI
monitoring satelit, yang bisa deteksi perubahan lahan dalam 24 jam. Program
"IKN Hijau" juga diluncurkan, menargetkan 500 hektare lahan rusak
direboisasi dengan drone penabur benih. Kolaborasi dengan Malaysia dan Brunei
via Koridor Ekonomi Borneo Timur diharapkan perkuat patroli lintas batas,
mengingat penambang sering lari ke Sarawak. "IKN harus jadi model, bukan
korban, dari pembangunan berkelanjutan," tegas Menteri LHK, Hanif Faisol
Nurofiq, yang menekankan komitmen zero tolerance terhadap pelanggar.
Tantangan terbesar adalah keseimbangan antara pembangunan
dan pelestarian. Dengan 70% lahan IKN masih hutan primer, setiap hektare yang
hilang berarti kehilangan habitat orangutan dan harimau Borneo yang terancam
punah. LSM internasional seperti WWF sudah kirim tim survei, menuntut
transparansi laporan bulanan. Bagi pemerintah daerah, ini peluang untuk
libatkan masyarakat: insentif bagi warga yang laporkan ilegalitas via hotline
112, plus ekowisata di zona aman untuk ganti rugi ekonomi.
Pada akhirnya, kerusakan hutan IKN adalah pengingat pahit
bahwa kemajuan tak boleh mengorbankan akarnya. Seperti pepatah Dayak,
"Hutan adalah napas kita; rusakkan ia, kita mati pelan-pelan." Dengan
aksi tegas dan partisipasi semua pihak, Borneo bisa bangkit sebagai benteng
hijau Asia Tenggara. IKN bukan hanya kota baru, tapi warisan yang harus dijaga
untuk generasi mendatang—sebelum terlambat.







