![]() |
| Ilustrasi AI |
IKN, 3 Desember 2025 – Hujan deras yang mengguyur
Kalimantan Timur sejak akhir November lalu tak hanya membasahi tanah merah di
Ibu Kota Nusantara (IKN), tapi juga membangkitkan kekhawatiran lama: banjir. Di
tengah ambisi membangun kota hijau masa depan, Otorita IKN kini dihadapkan pada
kenyataan geografis yang tak bisa diabaikan. Berdasarkan Kajian Risiko Bencana
(KRB) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) periode 2020-2024, terdapat
10 titik rawan banjir yang tersebar di Kecamatan Samboja, Muara Jawa, dan
Sepaku—wilayah yang kini jadi jantung proyek Rp466 triliun ini. Tapi, jangan
khawatir: Otorita tak tinggal diam. Dengan campuran teknologi canggih,
infrastruktur alam, dan kolaborasi multisektor, mereka sedang mengubah ancaman
ini jadi peluang untuk kota yang lebih tangguh.
Staf Khusus Kepala Otorita IKN Bidang Komunikasi Publik,
Troy Harold Pantouw, tak menyangkal potensi ini saat berbincang dengan wartawan
di sela rapat koordinasi dengan BNPB kemarin. "IKN lahir dari hutan tropis
yang basah, curah hujan tahunan bisa capai 3.000 mm. Faktor seperti tata ruang
yang belum matang, kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim, dan konversi
lahan hulu sungai jadi pemicu utama," ujar Troy. Titik-titik rawan ini
mencakup Desa Teluk Dalam, Bukit Raya, Sungai Seluang, Muara Jawa Ulu, dan
Samboja Kuala di Kecamatan Samboja serta Muara Jawa. Sementara di Kecamatan
Sepaku, ancaman mengintai Desa Bumi Harapan, Kelurahan Mentawir, Desa Suka
Raja, Wonosari, dan Tengin Baru. Beberapa di antaranya, seperti Kelurahan
Sepaku, pernah tergenang hingga setinggi lutut pada Juni 2024, merendam 80
rumah dan sawah warga.
Bayangkan: kawasan yang dirancang untuk 1,9 juta jiwa pada
2045 ini, jika tak diantisipasi, bisa jadi "Jakarta kedua" dengan
genangan yang lumpuh lalu lintas dan pembangunan. Data BMKG menunjukkan, musim
hujan 2025-2026 berpotensi lebih ekstrem karena La Niña, dengan risiko longsor
turut mengintai 15% wilayah IKN. Tapi, Otorita IKN, di bawah komando Basuki
Hadimuljono, sudah selangkah di depan. "Kami tak ingin reaktif; kami
proaktif. Banjir bukan takdir, tapi tantangan yang bisa diatasi dengan
inovasi," tegas Basuki dalam forum mitigasi bencana virtual pekan lalu.
Strategi utama? Pendekatan ganda: struktural dan
non-struktural, terintegrasi dalam konsep Water Sensitive Urban Design (WSUD).
Pertama, infrastruktur fisik. Bendungan Sepaku Semoi, proyek senilai Rp15
triliun yang groundbreaking-nya dijadwalkan akhir 2025, diprediksi bisa
kendalikan banjir hingga 55,26% di DAS Sepaku—sungai utama yang mengalir ke 6
titik rawan. Kolam retensi atau embung di Sepaku dan Samboja sedang dibangun
untuk tampung air hujan, lalu alirkan pelan-pelan via saluran biofiltrasi. Tak ketinggalan,
rehabilitasi lahan kritis di hulu: penanaman ulang 500 hektare hutan lindung
dengan spesies penyerap air tinggi seperti jelutung dan meranti, bekerja sama
dengan Balai Pengelolaan DAS Mahakam-Berau. "Ini seperti spons raksasa:
tanah basah menyerap air, kurangi limpasan permukaan hingga 40%," jelas
pakar hidrologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang terlibat kajian.
Non-struktural tak kalah krusial. Otorita terapkan Zero
Delta Q—prinsip di mana volume air hujan yang masuk kawasan sama dengan yang
keluar, cegah peningkatan aliran banjir. Ini diwujudkan lewat wetlands buatan,
swales (parit dangkal berumput), dan perkerasan berpori di jalan-jalan utama,
yang biofiltrasi air sekaligus kurangi polusi. Relokasi warga di zona merah
seperti RT 1-2 Kelurahan Sepaku sudah selesai, dengan ganti rugi Rp9,8 miliar
dibayarkan ke 21 keluarga terdampak—bukti komitmen sosial. "Kami tak gusur
paksa; kami pindahkan dengan layak, lengkap rumah baru di zona aman,"
tambah Deputi Bidang Sosial Otorita, Alimuddin.
Teknologi jadi senjata andalan. Smart Water Management
System (SWMS) dipasang di 10 titik rawan, integrasikan sensor Automatic Water
Level Recorder (AWLR) untuk pantau muka air real-time. Data ini feed ke Early
Warning System (EWS) berbasis AI, yang kirim alert via app IKN Citizen ke
50.000 pekerja konstruksi dan warga awal. Kolaborasi dengan BMKG tambah akurasi
prediksi curah hujan, sementara pemetaan GIS identifikasi aliran sungai bawah
tanah. "Dengan EWS, kami bisa evakuasi 30 menit sebelum genangan, hemat
nyawa dan aset," kata Troy, yang klaim hoaks video banjir AI-generated
Maret lalu sebagai "upaya hitam yang gagal".
Optimasi kata kunci seperti "penanganan banjir
IKN" dan "titik rawan banjir Nusantara" kini ramai di pencarian
Google, seiring #IKNBanjirFree trending di X. Investor hijau ikut bergerak:
konsorsium Australia-Monash University desain WSUD dengan dana Rp5 triliun,
sementara PLN pasang pompa surya di Samboja. Tantangan? Anggaran APBN terbatas
dan koordinasi lintas daerah. Walhi Kalimantan Timur apresiasi, tapi ingatkan:
"Jangan lupa libatkan adat Dayak dalam reboisasi, agar berkelanjutan."
Presiden Prabowo Subianto, dalam arahan kabinet baru-baru
ini, perintahkan percepatan: "IKN harus tahan bencana, contoh bagi
ASEAN." Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) BNPB diperpanjang hingga Maret 2026
untuk tekan awan hujan ekstrem di atas Sepaku. Hasil awal? Pilot di Mentawir
kurangi genangan 25% musim hujan lalu.
Di balik angka dan blueprint, cerita manusiawi: warga Suka
Raja kini tanam padi gogo di lahan retensi, ubah banjir jadi ladang subur.
"Dulu air bah musuh, sekarang sahabat," kata seorang petani. Otorita
targetkan 100% titik rawan aman pada 2029, saat IKN resmi beroperasi. Ini bukan
sekadar drainase; ini visi kota yang harmoni dengan alam—di mana hujan bukan
kutukan, tapi berkah.
Dari lumpur Sepaku ke gedung kaca Nusantara, perjuangan ini
ingatkan: membangun ibu kota baru berarti bangun ketangguhan. Dengan langkah
ini, IKN tak hanya hijau, tapi juga anti air bah. Semoga, saat hujan turun
lagi, yang tersisa hanyalah pelangi.





.webp)

