Martabat Dayak di Garda Terdepan: Komitmen Kalimantan Tengah Menjaga Peradaban Leluhur
Di tengah arus pembangunan yang kian deras menyapu Kalimantan, suara dari jantung hutan tropis itu kembali menggema. Bukan suara mesin atau alat berat, melainkan suara komitmen yang lahir dari sejarah panjang dan peradaban tua: suara Dayak. Dalam peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia yang digelar di Palangka Raya, Gubernur Kalimantan Tengah Agustiar Sabran berdiri di podium, bukan sekadar sebagai kepala daerah, tetapi sebagai anak kandung tanah Borneo yang membawa pesan peradaban. Ia menegaskan bahwa pemerintah provinsi berkomitmen penuh untuk melindungi eksistensi dan martabat Masyarakat Adat Dayak sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan Kalimantan.
“Komitmen ini sejalan dengan visi pembangunan daerah, yaitu
Manggatang Utus, yang berarti mengangkat harkat dan martabat masyarakat,
khususnya masyarakat Dayak dan umumnya masyarakat Kalteng dalam bingkai NKRI,”
ujar Agustiar dalam pembukaan seminar bertajuk “Pumpung Hai Borneo (The Great
Borneos Assembly)”. Kata-katanya bukan sekadar retorika, melainkan gema dari
sejarah panjang yang pernah ditulis di Tumbang Anoi, tempat Perjanjian Damai
Dayak tahun 1894 menjadi tonggak perdamaian dan persatuan suku-suku Dayak.
Agustiar menyebut bahwa semangat Tumbang Anoi harus terus dihidupkan, termasuk
melalui Napak Tilas tahunan yang menjadi ritual kolektif mengenang akar
peradaban.
Seminar itu bukan hanya ajang akademik, tetapi juga panggung
diplomasi budaya. Di hadapan peserta dari berbagai daerah dan latar belakang,
Agustiar mengajak semua pihak untuk bersatu menyuarakan kepentingan daerah. Ia
menekankan bahwa kekayaan alam Kalimantan harus memberi manfaat
sebesar-besarnya bagi rakyat, tanpa mengabaikan keberlanjutan lingkungan.
Pernyataan itu menjadi penegasan bahwa pembangunan tidak boleh menjadi alasan
untuk menghapus jejak budaya, melainkan harus menjadi ruang bagi masyarakat adat
untuk tampil sebagai mitra utama dalam menjaga bumi, hutan, dan peradaban.
Agustiar tidak berbicara dalam ruang hampa. Ia membawa serta
hasil kesepakatan dari Rapat Koordinasi Gubernur yang digelar di Balikpapan
pada 9 Juli 2025. Dalam forum bertajuk “Sinergi Daerah Penghasil Sumber Daya
Alam untuk Menggali Potensi Dana Bagi Hasil Sektor Pertambangan, Kehutanan, dan
Perkebunan Guna Penguatan Fiskal Daerah,” para gubernur Kalimantan menyepakati
langkah-langkah nyata menuju keadilan fiskal. Forum itu menjadi momentum
penting untuk memperkuat posisi daerah penghasil, termasuk Kalimantan Tengah,
dalam percakapan nasional tentang distribusi kekayaan dan hak masyarakat lokal.
Di akhir seminar, dilakukan penandatanganan kesepakatan
bersama sebagai wujud komitmen seluruh pemerintah daerah memperkuat posisi
Masyarakat Adat Dayak. Kesepakatan itu bukan hanya simbol, tetapi juga strategi
untuk menjadikan Kalimantan sebagai pusat ekonomi Indonesia sekaligus pusat
budaya Dayak berskala internasional. Dalam konteks itu, Agustiar menyampaikan
bahwa masyarakat adat bukanlah entitas tertinggal, melainkan penjaga peradaban
yang memiliki pengetahuan ekologis dan sosial yang tak ternilai.
Pernyataan dan tindakan Agustiar mencerminkan perubahan
paradigma dalam melihat masyarakat adat. Di masa lalu, mereka sering
diposisikan sebagai objek pembangunan. Kini, mereka mulai diakui sebagai subjek
yang memiliki hak, suara, dan peran strategis. Dalam konteks Kalimantan Tengah,
masyarakat Dayak bukan hanya pewaris tanah, tetapi juga penjaga nilai-nilai
yang bisa menjadi fondasi pembangunan berkelanjutan. Agustiar tampaknya
memahami bahwa martabat tidak bisa dibeli dengan proyek, tetapi harus diteguhkan
dengan kebijakan dan penghormatan.
Di luar ruang seminar, gema komitmen itu mulai terasa.
Pemerintah provinsi mulai mengintegrasikan nilai-nilai lokal dalam perencanaan
pembangunan. Program-program berbasis komunitas adat mulai digulirkan, dan
ruang partisipasi masyarakat Dayak dalam pengambilan keputusan mulai diperluas.
Namun, tantangan tetap ada. Di tengah tekanan investasi dan eksploitasi sumber
daya alam, menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian budaya bukan
perkara mudah. Agustiar menyadari hal itu, dan dalam berbagai kesempatan ia
menegaskan bahwa pembangunan Kalimantan Tengah harus berakar pada kearifan
lokal.
Bagi masyarakat Dayak, pernyataan Agustiar bukan sekadar
janji politik, tetapi pengakuan atas identitas yang selama ini terpinggirkan.
Di tengah arus modernisasi, mereka ingin tetap berdiri sebagai penjaga hutan,
sungai, dan tanah leluhur. Mereka ingin pembangunan yang menghormati adat,
bukan yang menggusur. Dan dalam seminar itu, suara mereka mendapat ruang,
didengar, dan diakui.
Secara nasional, langkah Agustiar bisa menjadi contoh bagi
kepala daerah lain. Di tengah desentralisasi dan otonomi daerah, komitmen
terhadap masyarakat adat menjadi indikator penting dalam menilai keberpihakan
pemerintah. Kalimantan Tengah, dengan kekayaan alam dan budaya yang melimpah,
memiliki peluang besar untuk menjadi model pembangunan yang berkeadilan dan
berkelanjutan. Dan Agustiar, dengan segala keterbatasan dan tantangannya,
tampaknya ingin menjadikan provinsinya sebagai pelopor dalam hal itu.
Seminar “Pumpung Hai Borneo” bukan hanya peringatan Hari
Masyarakat Adat Sedunia, tetapi juga panggung bagi Kalimantan Tengah untuk
menyatakan diri sebagai wilayah yang tidak hanya kaya secara alam, tetapi juga
kaya secara nilai. Di tengah arus globalisasi, suara dari Palangka Raya itu
menjadi pengingat bahwa pembangunan sejati adalah yang mampu meneguhkan
martabat, bukan yang menghapus jejak.