Wapres Gibran Diharap Segera Berkantor di IKN: Upaya Hidupkan Detak Jantung Nusantara Baru
Pemerintah Indonesia telah menuangkan miliaran rupiah dalam
proyek ambisius Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur, dengan
harapan menjadikannya simbol baru pemerataan pembangunan dan masa depan
Indonesia. Namun, seiring waktu berlalu dan proyek masih dalam tahap transisi,
kekhawatiran mulai mencuat: akankah IKN hanya menjadi rangkaian bangunan megah
tanpa denyut kehidupan? Inilah yang kini menjadi sorotan serius Wakil Ketua DPR
RI, Saan Mustopa.
Saan, politisi dari Partai NasDem, menyuarakan harapan sekaligus kekhawatiran yang menggema dari banyak pihak: IKN harus segera dihidupkan, dan langkah awal yang paling realistis adalah menempatkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk segera berkantor di sana. Dalam pernyataannya yang dikutip pada Jumat, 25 Juli 2025 di Jakarta, Saan menegaskan bahwa pengaktifan aktivitas pemerintahan di IKN bukan sekadar soal simbolisme politik, melainkan juga langkah strategis yang dapat menentukan masa depan proyek besar ini.
“Negara sudah menggelontorkan anggaran sangat besar untuk pembangunan IKN. Berbagai infrastruktur pemerintahan pun sudah berdiri megah. Tapi kalau tidak segera diaktifkan, itu semua bisa jadi mubazir. Biaya perawatan terus berjalan, gedung dibiarkan kosong, dan pada akhirnya, proyek ini akan dianggap gagal,” kata Saan dengan nada serius namun konstruktif.
Menurut Saan, kehadiran Wapres Gibran di IKN bukan hanya akan memberikan makna simbolik, tapi juga menciptakan efek domino positif dalam perencanaan dan pelaksanaan relokasi aparatur sipil negara (ASN) serta kementerian dan lembaga. Dengan Wapres berkantor di sana, pemerintah dapat menghitung secara lebih konkret apa saja yang dibutuhkan untuk menunjang kehidupan dan pemerintahan di IKN.
“Kalau Wapres sudah duduk dan kerja dari sana, otomatis kita bisa tahu berapa banyak ASN yang perlu dipindahkan, fasilitas apa yang belum tersedia, dan bagaimana realokasi anggaran dilakukan secara efisien. Tanpa langkah awal itu, kita hanya bisa menduga-duga, dan itu sangat berisiko,” lanjutnya.
Pandangan Saan menyinggung salah satu masalah laten dalam proyek besar pemerintah: transisi tanpa kepastian. Dalam banyak proyek, terutama infrastruktur berskala raksasa seperti IKN, tahap pasca-pembangunan justru sering menjadi titik rawan. Banyak proyek berhenti di tengah jalan atau menjadi beban fiskal karena tidak ada kegiatan yang mengisi ruang-ruang yang telah dibangun. Saan tidak ingin IKN menjadi contoh baru dari kegagalan semacam itu.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa menghidupkan IKN tidak boleh mengorbankan program-program prioritas yang telah dijanjikan oleh Presiden Prabowo Subianto kepada rakyat. Salah satunya adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang digadang-gadang sebagai solusi konkret atas masalah kekurangan gizi anak-anak Indonesia, serta proyek Food Estate yang bertujuan menguatkan ketahanan pangan nasional.
“Presiden Prabowo punya agenda besar. Dan kita semua mendukung itu. Tapi jangan sampai IKN malah jadi beban. Kuncinya adalah manajemen anggaran dan strategi implementasi yang sinkron. Dua-duanya harus jalan bersama: pembangunan IKN dan program prioritas rakyat,” ujar Saan.
Dalam narasi politik yang tengah berkembang, pernyataan Saan ini ibarat membunyikan lonceng pengingat bahwa proyek IKN bukan sekadar menara gading, melainkan harus menjadi tempat nyata di mana kehidupan, pemerintahan, dan pembangunan berlangsung harmonis. Saan juga menekankan bahwa semangat awal pembangunan IKN adalah desentralisasi, keadilan pembangunan, dan mempercepat pertumbuhan kawasan timur Indonesia—semangat yang tidak boleh dilupakan atau diselewengkan menjadi sekadar pencitraan proyek.
"IKN tidak boleh dibiarkan jadi kota hantu. Kita harus jujur, tidak ada niat lain selain memastikan IKN tetap hidup, tidak memberatkan negara, dan berjalan sesuai tujuan awalnya. Ini soal kepercayaan publik juga," pungkas Saan.
Langkah untuk memindahkan Wapres ke IKN memang bukan hal ringan. Di balik usulan itu terdapat serangkaian tantangan administratif, logistik, hingga sosial-politik. Namun banyak pihak menilai, jika tidak dimulai sekarang, kapan lagi? Gedung-gedung telah dibangun. Infrastruktur dasar seperti jalan, air bersih, dan listrik telah tersedia. Beberapa kantor kementerian bahkan sudah menempatkan unit kecil di kawasan tersebut. Tapi semua itu belum cukup tanpa adanya denyut pemerintahan yang nyata.
Menempatkan Wapres Gibran di IKN bukan berarti meninggalkan Jakarta sepenuhnya. Sebagai pemimpin muda yang dikenal fleksibel, Gibran bisa menjadi figur transisional yang merepresentasikan era baru kepemimpinan dan mampu menjembatani antara dua kutub pembangunan—yang lama dan yang baru.
Jika Wapres berkantor di sana, maka kebijakan perencanaan kebutuhan dasar bisa lebih tepat sasaran. Misalnya, soal tempat tinggal ASN, fasilitas pendidikan bagi keluarga mereka, rumah sakit, jaringan telekomunikasi, hingga transportasi massal yang memadai. Semua itu membutuhkan data dan pengalaman langsung, bukan hanya hasil kajian dari balik meja di Jakarta.
Bayangkan saja, tanpa aktivitas nyata, IKN bisa menjadi kawasan yang hanya aktif siang hari saat kunjungan pejabat, lalu kembali sunyi saat malam tiba. Tanpa penghuni tetap, IKN tidak akan tumbuh sebagai kota hidup yang sesungguhnya. Ini bukan hanya soal gedung pemerintahan, tapi juga komunitas, budaya, dan ekosistem ekonomi yang perlu tumbuh secara bersamaan.
Beberapa pengamat menilai bahwa Wapres Gibran adalah pilihan yang tepat untuk memulai fase ini. Selain karena faktor usia yang relatif muda dan daya adaptasi tinggi, Gibran juga punya kesempatan untuk mencetak sejarah sebagai wakil presiden pertama yang resmi berkantor di ibu kota baru. Langkah ini akan memberikan pesan kuat kepada dunia internasional bahwa Indonesia serius dengan rencana pemindahan ibu kota.
Namun demikian, masyarakat tetap berharap agar semua langkah ini dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan keterbukaan. Partisipasi publik tetap penting dalam mengawal agar proyek IKN tetap berada di jalur yang benar. Para legislator seperti Saan Mustopa yang berani bersuara kritis namun konstruktif juga dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara ambisi dan realita.
Pemerintah pusat pun diharapkan memberi peta jalan yang lebih gamblang: kapan dan bagaimana transisi ke IKN akan dimulai secara konkret. Apakah akan dimulai dari Wapres dulu? Kapan kementerian mulai dipindahkan? Bagaimana dengan fasilitas umum? Ini semua adalah pertanyaan mendasar yang harus dijawab secara transparan.
Tidak bisa dipungkiri, proyek IKN adalah taruhan besar dalam sejarah republik ini. Sebuah taruhan yang bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga tentang membangun peradaban baru yang inklusif, adil, dan berkelanjutan. Untuk itu, simbol seperti kehadiran Wapres di tengah proyek ini menjadi penting. Ia menjadi penanda bahwa negara tidak hanya membangun gedung, tapi juga menanamkan jiwa pemerintahan dan pelayanan publik di tanah baru.
Kini bola berada di tangan pemerintah: apakah mereka berani memulai langkah kecil yang berdampak besar ini? Atau membiarkan IKN terus menunggu dalam diam, menjadi simbol dari potensi yang belum tergarap? Satu hal yang pasti, sejarah akan mencatat siapa yang berani membuat keputusan di saat krusial seperti ini.