Tarif Pajak Turun, PAD Kaltara Seret: Pemprov Akui Perlu Strategi Baru Genjot Pendapatan
Di tengah upaya menjaga daya beli masyarakat pasca berbagai
tekanan ekonomi, Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) menghadapi
tantangan serius dalam mengamankan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hingga
pertengahan tahun 2025, realisasi PAD Kaltara baru mencapai 36 persen dari
total target sebesar Rp 1,26 triliun. Padahal secara ideal, capaian ini
seharusnya sudah menyentuh angka 40 persen.
“Realisasi kita masih di kisaran 36 persen. Harusnya sudah di angka 40 persen. Artinya, masih ada kekurangan yang harus kita kejar di sisa waktu tahun ini,” ujar Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kaltara, Tomy Labo, saat ditemui pada Jumat, 27 Juni 2025.
Penurunan capaian PAD ini bukan tanpa sebab. Salah satu faktor utama yang disoroti adalah kebijakan penyesuaian tarif pajak yang diberlakukan sejak awal tahun. Tujuan dari kebijakan ini memang mulia: meningkatkan daya beli masyarakat dengan cara meringankan beban pajak. Namun, dampaknya langsung terasa pada pendapatan daerah.
“Tarif pajak kita turunkan, misalnya dari 1,2 persen menjadi 0,8 persen. Kemudian untuk pajak bahan pakaian yang sebelumnya 10 persen juga diturunkan menjadi 7,5 persen. Ini tentu berdampak pada pendapatan daerah, jadi kita harus koreksi ulang target,” jelas Tomy.
Penyesuaian tarif ini bukan hanya memukul satu atau dua sektor, melainkan berimbas ke keseluruhan postur penerimaan daerah. Pajak yang sebelumnya menjadi andalan utama dalam mendongkrak PAD, kini harus dihitung ulang dengan asumsi yang lebih rendah. Sementara belanja daerah tetap menuntut pembiayaan yang konsisten, terutama untuk program pelayanan publik, pembangunan infrastruktur, dan subsidi ekonomi lokal.
Bukan hanya tarif yang jadi masalah. Sistem baru dalam pemungutan pajak—yakni opsen—juga membawa dinamika tersendiri. Dalam sistem ini, pendapatan dari beberapa jenis pajak daerah seperti pajak kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan, langsung masuk ke kas kabupaten/kota, tanpa terlebih dahulu melewati provinsi.
“Opsen ini membuat pendapatan kita dari sektor pajak daerah seperti kendaraan bermotor dan bahan bakar berkurang. Karena langsung masuk ke kabupaten/kota. Ini juga yang menyumbang rendahnya realisasi PAD kita,” ungkap Tomy.
Secara teknis, sistem opsen dirancang untuk mempercepat aliran dana ke daerah. Namun dari sisi provinsi, skema ini justru memotong alur pendapatan yang sebelumnya menjadi sumber utama. Dampaknya terasa signifikan. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, realisasi PAD saat ini mengalami selisih negatif sekitar 34 persen.
“Kalau kita bandingkan year-to-year, memang terjadi penurunan. Jadi memang harus digenjot lagi untuk menutupi kekurangan,” imbuh Tomy.
Kondisi ini tentu memerlukan langkah cepat dan tepat. Pemerintah Provinsi Kaltara mengakui bahwa dibutuhkan strategi baru untuk menggenjot pendapatan dalam enam bulan ke depan. Fokus diarahkan ke optimalisasi potensi yang masih belum tergarap maksimal.
Salah satunya adalah sektor pajak kendaraan bermotor. Dengan tingkat pertumbuhan kendaraan yang terus meningkat, peluang peningkatan penerimaan dari sektor ini masih terbuka lebar. Selain itu, pemerintah juga akan lebih agresif dalam menggali potensi dari retribusi daerah, sektor perizinan, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah seperti aset-aset provinsi yang bisa dioptimalkan secara komersial.
Tak hanya mengejar dari sisi penerimaan, Pemprov Kaltara juga akan memperkuat sistem pemantauan dan evaluasi. Setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) diminta untuk menyusun ulang strategi pendapatan masing-masing dan mengikuti proses evaluasi rutin.
“Evaluasi akan terus kami lakukan agar seluruh potensi yang ada bisa dimaksimalkan. Kita harap pada akhir tahun nanti target PAD bisa tetap tercapai,” kata Tomy.
Langkah ini menjadi penting agar tidak hanya sekadar mengandalkan kebijakan pusat atau menunggu arus dana dari kementerian. Pemerintah daerah harus mulai membangun kemandirian fiskal dengan cara mengelola sumber daya dan potensi ekonomi yang dimiliki sendiri.
Kondisi seretnya PAD bukan hanya soal angka, tapi juga berdampak langsung pada kelangsungan program-program pembangunan di daerah. Terhambatnya realisasi pendapatan bisa menyebabkan keterlambatan belanja daerah, stagnasi proyek infrastruktur, serta hambatan dalam program layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, hingga subsidi pertanian.
Dalam konteks yang lebih luas, kondisi ini juga menjadi ujian nyata bagi efektivitas kebijakan fiskal daerah. Di satu sisi, pemerintah perlu responsif terhadap tekanan ekonomi masyarakat dengan menurunkan tarif. Namun di sisi lain, pemerintah juga wajib memastikan keberlanjutan fiskal agar roda pemerintahan tetap berputar.
Maka diperlukan keseimbangan yang cermat antara kebijakan populis dan kebijakan fiskal yang realistis. Menurunkan pajak tidak boleh dilakukan tanpa memikirkan konsekuensi terhadap kemampuan anggaran daerah. Jika pendapatan merosot tajam, siapa yang akan menutup selisihnya?
Apalagi dalam situasi ekonomi nasional yang sedang dalam proses pemulihan, ketergantungan pada dana transfer pusat tidak bisa menjadi strategi jangka panjang. Daerah harus belajar mengelola potensi lokal secara mandiri dan bertanggung jawab.
Dalam beberapa bulan ke depan, akan terlihat sejauh mana Pemprov Kaltara mampu membalikkan keadaan. Apakah target PAD sebesar Rp 1,26 triliun akan tetap tercapai, atau justru harus direvisi ulang?
Yang jelas, dengan waktu yang kian sempit dan realisasi yang masih jauh dari ideal, upaya luar biasa perlu segera digerakkan. Karena pembangunan tidak bisa menunggu, dan kesejahteraan masyarakat tidak boleh ditunda hanya karena kas daerah tak kunjung penuh.