Pemuda Dayak Kalbar Menolak Transmigrasi Sepihak: Suara dari Tanah yang Terlupakan

  

Di tengah riuhnya rencana pembangunan nasional yang kerap dibalut istilah strategis dan bernuansa modernisasi, sebuah suara lantang muncul dari jantung hutan Kalimantan Barat. Bukan suara pemberontakan, bukan pula retorika oposisi, melainkan jeritan nurani yang selama ini tenggelam dalam kebisingan pusat: suara Pemuda Dayak Kalbar yang menolak mentah-mentah rencana transmigrasi jika tidak disertai dengan prinsip keadilan bagi masyarakat lokal.

Pernyataan ini tidak keluar dalam ruang hampa. Ia datang dari kenyataan pahit yang selama ini dirasakan oleh masyarakat adat di tanah mereka sendiri. Agustinus, yang dikenal dengan nama Brayen Oneal Depaba, Kepala Bidang Hubungan Antar Lembaga Pemuda Dayak Kalimantan Barat, menjadi wakil dari keresahan kolektif tersebut. Dalam pernyataan sikapnya pada Kamis, 26 Juni 2025, ia membeberkan kenyataan kontras yang selama ini dibiarkan terjadi: para transmigran datang dengan membawa berbagai fasilitas—tanah, rumah, pekerjaan—sementara warga lokal masih bergelut dengan masalah pokok seperti ketiadaan lahan, pengangguran, dan tempat tinggal yang tidak layak huni.

“Transmigrasi selama ini disertai fasilitas rumah, tanah, dan pekerjaan. Namun mirisnya, masyarakat lokal tempat transmigran ditempatkan ada yang tidak mempunyai tanah, pekerjaan bahkan masih ada rumah mereka yang tidak layak huni. Maka dengan ini, kami meminta dengan tegas agar pemerintah berlaku adil terhadap masyarakat lokal. Jika tidak, maka kami, Pemuda Dayak Kalimantan Barat, menolak dengan tegas seluruh rencana transmigrasi di wilayah ini,” tegas Agustinus.

Penolakan ini bukanlah bentuk perlawanan terhadap pemerintah pusat, seperti yang kerap diasumsikan oleh sebagian pihak ketika suara dari daerah bersuara kritis. Sebaliknya, ini adalah bentuk kecintaan terhadap keadilan, sebuah upaya untuk menagih janji pembangunan yang selama ini terlalu sering melewati Kalimantan Barat tanpa benar-benar menyentuh warganya. Sebuah wilayah yang dikenal kaya akan sumber daya alam—dari sawit, tambang, hingga kayu tropis yang berharga mahal di pasar internasional—ternyata tidak menjadi tempat yang makmur bagi mereka yang lahir dan besar di sana.

“Kami lelah menjadi penonton di atas tanah sendiri,” lanjut Agustinus. Kalimat itu barangkali menjadi kalimat yang paling menggambarkan frustrasi kolektif masyarakat lokal. Di tanah yang mereka rawat dan jaga selama ratusan tahun, mereka justru merasa seperti orang asing. Tanah dikuasai perusahaan, hutan digunduli, sungai tercemar, dan kini, ruang hidup mereka terancam kembali oleh kebijakan yang tidak berpijak pada realitas lokal.

Pemuda Dayak Kalbar menyebut bahwa transmigrasi seringkali hanya menjadi proyek pengalihan masalah dari daerah padat penduduk ke wilayah yang dianggap kosong, padahal di balik kehijauan hutan Kalimantan ada kehidupan yang sudah berlangsung lama. Ada budaya, sistem sosial, bahkan sistem kepercayaan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Ketika transmigrasi datang tanpa memedulikan hal itu, yang lahir bukanlah integrasi sosial, melainkan luka dan ketimpangan yang membekas lintas generasi.

Dalam konteks pembangunan nasional, mereka menyayangkan bahwa program transmigrasi masih dijalankan dengan pendekatan satu arah, tanpa evaluasi menyeluruh terhadap dampak sosialnya. “Transmigrasi tidak boleh lagi menjadi proyek satu arah yang hanya menguntungkan satu pihak. Keseimbangan hak dan partisipasi adalah fondasi utama agar program ini tidak kembali melahirkan ketimpangan. Pembangunan tanpa partisipasi masyarakat lokal adalah bentuk penjajahan baru yang dibungkus dalam jargon nasionalisme semu,” ujar Agustinus, dengan nada yang tak sekadar marah, tapi getir dan realistis.

Kata-kata "penjajahan baru" mungkin terdengar provokatif bagi telinga yang tidak terbiasa mendengar bahasa dari pinggiran. Namun bagi masyarakat adat Dayak, istilah itu tidak berlebihan. Apa yang mereka maksud adalah sebuah pola lama yang terus berulang: keputusan dibuat dari pusat, diterapkan di daerah, namun yang paling terdampak justru tidak pernah diajak bicara. Ini bukan tentang anti-pembangunan, tapi tentang cara membangun yang tidak menjadikan masyarakat lokal hanya sebagai "penghuni tambahan" di atas tanahnya sendiri.

Penolakan terhadap transmigrasi ini juga merupakan bentuk koreksi terhadap sejarah panjang kebijakan pembangunan yang sering kali gagal melihat konteks lokal. Kalimantan Barat telah lama menjadi lumbung devisa bagi Indonesia—melalui perkebunan sawit yang luasnya melampaui puluhan ribu hektare, tambang bauksit dan emas yang setiap hari diangkut keluar, serta hasil hutan tropis yang tidak ternilai. Namun ketika bicara soal kesejahteraan, infrastruktur, dan pendidikan, daerah ini justru sering tertinggal.

Menurut Pemuda Dayak Kalbar, jika pemerintah ingin mewujudkan keadilan sosial sebagaimana amanat UUD 1945, maka sudah seharusnya pembangunan nasional—termasuk transmigrasi—mengikuti prinsip inklusivitas dan partisipasi. Artinya, masyarakat lokal bukan hanya diajak “ikut sosialisasi” atau “dilibatkan dalam rapat”, tetapi benar-benar diikutsertakan dalam pengambilan keputusan sejak awal. Terutama dalam proyek-proyek strategis nasional (PSN) yang menyentuh langsung ruang hidup mereka.

Penolakan ini, jika tidak ditanggapi secara arif, bisa menjadi bara dalam sekam. Pemuda Dayak Kalbar secara gamblang menyatakan bahwa mereka akan terus menyuarakan aspirasi masyarakat adat dan masyarakat lokal, demi mencegah terjadinya konflik sosial yang lebih luas di kemudian hari. Mereka tidak ingin daerahnya menjadi titik konflik baru akibat ketidakadilan yang dibiarkan membesar oleh kesenjangan kebijakan.

Mereka juga menegaskan bahwa kritik yang disampaikan bukan sekadar reaksi emosional, tapi panggilan tanggung jawab terhadap masa depan tanah leluhur. Dalam setiap pernyataan, Pemuda Dayak Kalbar tidak sekadar menolak, tetapi juga memberi alternatif: keterlibatan aktif masyarakat lokal, kesetaraan hak dalam akses terhadap tanah dan pekerjaan, serta evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan transmigrasi yang telah berjalan puluhan tahun.

Tentu saja, seruan ini mestinya menjadi bahan renungan bersama, terutama bagi pengambil kebijakan di tingkat pusat. Di era ketika keberlanjutan dan keadilan sosial menjadi kata kunci dalam perencanaan pembangunan, suara dari Kalimantan Barat ini tidak boleh dianggap angin lalu. Ini adalah momen untuk merekonstruksi ulang cara negara membangun daerah-daerah luar Jawa—bukan dengan logika ekspansi, tetapi dengan pendekatan penghormatan dan kemitraan.

Pada akhirnya, yang disuarakan Pemuda Dayak Kalbar bukan hanya tentang transmigrasi, melainkan tentang cara pandang terhadap manusia dan tanah. Apakah tanah hanya dipandang sebagai aset ekonomi? Apakah masyarakat adat hanya dianggap penghuni lama yang harus menyesuaikan diri? Ataukah kita benar-benar bisa membangun sebuah bangsa yang mengakui setiap warganya sebagai subjek pembangunan, bukan objek?

Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin tidak bisa dijawab dalam satu malam, tapi penolakan Pemuda Dayak Kalbar telah mengingatkan kita bahwa pembangunan sejati adalah yang berpijak pada keadilan, keberlanjutan, dan partisipasi sejati. Dan bila negara serius dengan semangat tersebut, maka suara-suara dari tanah rimba Kalimantan Barat adalah suara yang harus didengarkan, bukan dibungkam.

Next Post Previous Post