KPPAD Kalbar Desak Pecat ASN Cabuli Anak Panti, Minta Tak Ada Perlindungan Bagi Pelaku
Kisah kelam kembali menyelimuti dunia perlindungan anak di
Kalimantan Barat. Seorang aparatur sipil negara (ASN) dari Unit Pelaksana
Teknis Panti Sosial Anak (UPT PSA) Dinas Sosial Kalbar diduga mencabuli enam
anak perempuan yang seharusnya berada dalam perlindungan negara. Peristiwa ini
bukan hanya mengguncang rasa keadilan, tetapi juga mencoreng institusi yang
seharusnya menjadi benteng terakhir bagi anak-anak yang kehilangan perlindungan
dari keluarga.
Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Kalbar bergerak cepat. Ketua KPPAD Kalbar, Eka Nurhayati Ishak, dengan suara lantang mendesak agar ASN berinisial SU yang diduga menjadi pelaku kejahatan seksual ini segera dipecat dari jabatannya. Tidak hanya dicopot, Eka menegaskan, tidak boleh ada bentuk intervensi ataupun perlindungan institusional kepada pelaku.
“Kami minta kepada kepala Dinas Sosial Kalbar jika betul ada oknum dan instansi tersebut terlibat dan terbukti sebagai pelaku dalam kejahatan seksual, agar selain dicopot, dimohon untuk tidak mengintervensi kasus dan hindari apapun bentuk kepentingan,” ujarnya kepada wartawan, Minggu, 29 Juni 2025.
Pernyataan Eka tak sekadar respons emosional, tetapi panggilan moral terhadap krisis yang merobek martabat perlindungan anak. Ia menegaskan bahwa kasus ini harus ditangani dengan tegas dan proporsional, dengan menempatkan keadilan anak sebagai prioritas utama, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
“Saya akan segera menghubungi Dinas Sosial Kalbar yang menjadi leading sektor kami untuk membicarakan hal ini lebih lanjut,” lanjut Eka. Dirinya memastikan bahwa KPPAD Kalbar akan mengawal kasus ini secara serius dan menyeluruh. Koordinasi aktif dilakukan dengan KPAD Kota Pontianak dan jaringan perlindungan anak lainnya demi memastikan para korban mendapatkan pendampingan, keadilan, dan pemulihan psikososial yang layak.
“Kami akan koordinasi dengan teman-teman KPAD Kota Pontianak dan jejaring perlindungan anak untuk pemenuhan hak anak, baik dari advokasi, pendampingan dan healing sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku,” ujarnya lagi.
Perasaan kecewa dan marah terasa kental dalam nada bicara Eka. Bagaimana tidak, oknum yang diduga menjadi pelaku adalah bagian dari struktur negara yang memiliki tugas melekat untuk melindungi, menjaga, dan mengayomi anak-anak. Ia menyebut perbuatan ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap mandat kemanusiaan dan profesionalisme ASN.
“Yang jelas kami mohon ditindak dengan tegas. Karena terduga pelaku bagian dari dinsos, jadi tidak ada sikap untuk melindungi terduga pelaku. Apapun bentuk perlakuan terhadap anak di bawah umur yang berkaitan dengan kejahatan seksual maka harus diberantas,” tegasnya.
Eka pun mendesak agar PSA Dinsos Kalbar melakukan evaluasi menyeluruh, terutama menyangkut struktur pengawasan dan personel yang ditempatkan di lingkungan panti. Ia menyoroti kondisi bahwa panti tersebut mayoritas diisi oleh anak perempuan, sementara sebagian besar pengawasnya adalah laki-laki.
“Kami minta mohon agar Dinas Sosial Kalbar dapat mengevaluasi PSA yang mayoritas isinya perempuan namun penjaganya laki-laki agar menjadi pertimbangan bagaimana untuk kelanjutan ke depan PSA tersebut,” kata Eka penuh keprihatinan.
Sementara itu, pihak kepolisian melalui Satreskrim Polresta Pontianak telah membuka penyelidikan intensif terhadap kasus ini. Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal (Wakasat Reskrim) Polresta Pontianak, AKP Agus Haryono, mengonfirmasi bahwa sejauh ini pihaknya telah mengidentifikasi enam orang korban. Semuanya adalah anak-anak yang sebelumnya dititipkan oleh keluarganya ke panti sosial tersebut.
“Dari penyelidikan yang kami lakukan, jumlah korban ada enam
orang. Mereka semua sudah meninggalkan panti karena takut,” ujar Agus dalam
keterangannya.
Yang lebih memilukan, penyelidikan sementara juga mengungkap dugaan bahwa aksi bejat SU tidak hanya dilakukan di dalam panti, tapi juga melibatkan tempat lain, termasuk sebuah hotel yang kini tengah diperiksa oleh tim penyidik. Hal ini menunjukkan bahwa kejahatan yang dilakukan bersifat terencana dan dilakukan berulang kali dalam kondisi aman tanpa pengawasan ketat.
“Nanti ya, tunggu hasil penyelidikan. Akan kami sampaikan perkembangannya,” kata Agus singkat, menyiratkan betapa kasus ini masih jauh dari kata selesai.
Masyarakat Kalimantan Barat pun bereaksi keras. Banyak pihak mengecam perbuatan oknum ASN tersebut dan menuntut agar aparat penegak hukum tidak hanya menindak tegas, tetapi juga membongkar kemungkinan keterlibatan pihak lain. Sebab, kejahatan seksual terhadap anak bukan hanya dilakukan oleh pelaku tunggal, melainkan bisa terjadi karena pembiaran sistemik, lemahnya pengawasan, dan budaya diam yang mematikan suara korban.
Kasus ini menjadi alarm keras bagi semua pihak, terutama lembaga-lembaga pemerintah yang bergerak di bidang perlindungan sosial dan anak. Di saat negara seharusnya menjadi tempat aman bagi mereka yang lemah dan terluka, justru ada oknum dari dalam sistem yang mencederai kepercayaan itu.
Kini, suara-suara dari KPPAD Kalbar, aktivis perlindungan anak, dan masyarakat luas menuntut langkah nyata: pemecatan, proses hukum tuntas, serta reformasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan di panti sosial. Tak ada tempat untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak, apalagi jika mereka adalah pejabat publik.
Keadilan bagi korban harus menjadi prioritas. Bukan dengan
menyembunyikan kasus demi menjaga citra institusi, melainkan dengan membuka
terang-benderang semua kebenaran, memberi pemulihan terbaik bagi korban, dan
memastikan tak ada lagi anak yang terluka oleh mereka yang seharusnya
melindungi. Karena di balik setiap luka anak, ada tanggung jawab negara yang
tak boleh diabaikan.