Kaltara Jadi Gerbang Narkoba: Ketika Laut dan “Pelabuhan Tikus” Jadi Jalur Gelap, BNNP Siapkan Satgas Terpadu
Di bawah langit Kalimantan Utara yang luas dan perairan yang
tampak tenang, terselip bahaya yang tak kasat mata—peredaran gelap narkotika
yang menyelinap melalui jalur-jalur tak resmi, melewati garis pantai yang
panjang dan pelabuhan-pelabuhan yang sibuk. Provinsi ini, yang dikenal sebagai
wilayah perbatasan dengan posisi geografis strategis, kini justru menjadi titik
masuk dan transit narkoba menuju berbagai wilayah di Indonesia. Sinyal bahaya
itu bukan sekadar asumsi, tapi kenyataan yang tengah dihadapi oleh Badan
Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Kalimantan Utara.
“Bagaimana melakukan pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika di wilayah pelabuhan? Kita fokus pada pelabuhan-pelabuhan yang ada di Kalimantan Utara,” kata Brigjen Pol Tatar Nugroho, Kepala BNNP Kaltara, dalam pernyataannya yang menggarisbawahi betapa seriusnya ancaman ini.
Laut di Kaltara bukan hanya tempat nelayan mencari nafkah, tetapi juga menjadi rute favorit para penyelundup narkotika. Tatar menyebut bahwa wilayah ini tidak hanya sebagai tempat tujuan, melainkan juga titik transit peredaran gelap narkoba. Jalur laut dan darat yang terbuka, garis pantai yang panjang, serta keberadaan pelabuhan resmi dan tidak resmi menjadikan daerah ini sangat rentan terhadap aktivitas penyelundupan.
Langkah konkret mulai dirancang. Dalam rapat lintas sektor yang melibatkan berbagai stakeholder seperti Pelindo Tarakan, Pelni Tarakan, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP), Dinas Perhubungan Kota Tarakan dan Provinsi Kaltara, Ditpolairud Polda Kaltara, Lantamal XIII Tarakan, Bea Cukai Tarakan, serta Stasiun PSDKP Tarakan, BNNP membahas secara mendalam tentang sistem keamanan pelabuhan yang selama ini dinilai masih memiliki celah.
Pertemuan tersebut bukan hanya sekadar seremoni koordinasi, melainkan upaya konkret untuk mencari tahu mengapa narkoba masih bisa melenggang masuk melalui pelabuhan-pelabuhan. Diskusi mengarah pada berbagai aspek teknis, termasuk lemahnya pemeriksaan penumpang, kurangnya peralatan pendeteksi, serta belum optimalnya pengawasan pada ruang tunggu dan titik keberangkatan kapal.
Salah satu hasil penting dari rapat ini adalah rencana pembentukan Tim Terpadu. Satgas ini dirancang untuk bertugas langsung di pelabuhan, melakukan pengawasan ketat terhadap semua aktivitas yang berpotensi dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan narkotika. Tim ini akan mengawasi penumpang, memeriksa barang bawaan, memantau jalur masuk, serta memastikan seluruh aktivitas berjalan di bawah pengawasan ketat.
“Rencana ke depan kita membentuk yang namanya Tim Terpadu,” ungkap Tatar. Ia menambahkan bahwa peran Satgas tidak hanya sebatas pengawasan visual, tetapi juga akan didukung oleh sarana teknologi seperti X-Ray yang mampu mendeteksi barang-barang terlarang yang diselundupkan dalam koper, tas, bahkan barang bawaan biasa.
Pelindo, selaku pengelola pelabuhan, telah merespons dengan menyatakan telah mengupayakan pengadaan dua unit mesin X-Ray tambahan. Fasilitas ini akan menjadi garda depan dalam upaya deteksi dini barang-barang mencurigakan yang masuk ke wilayah Kaltara lewat laut. Mesin ini diharapkan dapat mempersempit peluang lolosnya narkoba dari jalur resmi, yang selama ini disebut-sebut sebagai titik paling rawan.
Namun tak semua jalur penyelundupan menggunakan pelabuhan resmi. Fakta lapangan menunjukkan adanya fenomena “pelabuhan tikus” atau jalur ilegal yang tersembunyi, yang seringkali digunakan karena minimnya pengawasan dan sulitnya akses petugas. Ini adalah bagian lain dari peta peredaran narkoba yang tak kalah menantang. BNNP menyebut jalur ini sebagai “jalur senyap”—beroperasi jauh dari jangkauan radar konvensional.
Untuk menghadapi kenyataan tersebut, BNNP Kaltara telah memetakan sejumlah titik rawan yang dikenal sebagai pintu masuk gelap narkotika. “Pelabuhan tikus sudah kita perkuat intelijen kita, kita sudah mapping juga. Ada beberapa titik yang kita harus mengatasinya,” jelas Tatar, memberi gambaran bagaimana lembaganya berupaya membaca medan sebelum mengambil langkah.
Pemetaan ini menjadi dasar bagi penguatan strategi pengawasan, baik dalam bentuk patroli lapangan, penyusupan informasi melalui jaringan intelijen, hingga pembentukan pola patroli gabungan yang melibatkan unsur kepolisian laut, TNI AL, dan petugas pelabuhan. Kekuatan personel akan ditingkatkan, dengan pola penempatan yang lebih responsif terhadap peta peredaran narkoba yang terus berkembang.
Sementara itu, upaya memperkuat kerja sama antarinstansi juga terus digalakkan. Koordinasi tidak lagi bersifat vertikal, tetapi horizontal, melibatkan aktor-aktor lokal yang mengetahui kondisi di lapangan. Dari staf pelabuhan, petugas tiket, hingga operator angkutan laut—semuanya diminta ikut menjadi mata dan telinga bagi negara.
Langkah-langkah teknis pun tak luput dari perhatian. Dalam rapat tersebut, BNNP mendorong agar dilakukan peninjauan ulang terhadap sistem pemeriksaan penumpang dan barang. Mulai dari pintu masuk pelabuhan, ruang tunggu, tempat pengecekan tiket, hingga keberangkatan menuju kapal, semua dirancang untuk berada dalam pengawasan yang berlapis. Detektor logam, anjing pelacak, hingga CCTV dengan fitur pengenalan wajah akan menjadi bagian dari sistem keamanan yang diusulkan.
Brigjen Tatar juga menyoroti perlunya pelatihan dan peningkatan kapasitas petugas pelabuhan, yang selama ini menjadi garda terdepan tetapi belum mendapatkan bekal yang memadai dalam menghadapi kejahatan narkotika yang semakin canggih. “Kita ingin semua stakeholder punya pemahaman yang sama. Ini bukan lagi masalah biasa. Narkoba sudah menjadi ancaman eksistensial bagi generasi muda kita,” ujarnya.
Selain pendekatan struktural, BNNP Kaltara juga membuka ruang pendekatan preventif berbasis masyarakat. Mereka melibatkan komunitas nelayan, tokoh adat, dan pemuda setempat untuk menjadi bagian dari jejaring informasi. Melalui program Desa Bersinar (Desa Bersih Narkoba), wilayah-wilayah pesisir dan perbatasan dijadikan titik edukasi dan penguatan peran warga dalam mencegah masuknya narkoba dari luar.
Meski begitu, upaya ini tentu tak mudah. Tantangan terbesar datang dari para pelaku yang selalu berinovasi dalam mengelabui petugas. Modus penyelundupan terus berubah, dari menyimpan narkoba dalam botol air minum, mencampurkannya dalam bahan makanan, hingga menyelipkannya dalam barang-barang elektronik. Karena itu, Tatar menegaskan pentingnya kolaborasi dan adaptasi berkelanjutan.
Kini, Kaltara tengah berada di persimpangan penting: antara menjadi gerbang ekonomi masa depan atau terus menjadi pintu belakang peredaran narkoba. Dengan upaya Satgas terpadu, pemetaan jalur tikus, serta penguatan sistem pengawasan, pemerintah daerah bersama BNNP Kaltara mencoba mengambil alih kendali dari sindikat gelap yang selama ini bermain di senyap.