Kacamata untuk Rakyat, Sehat untuk Nusantara: Dinkes Kaltim Gelar Pemeriksaan Massal Sambut IKN
Di tengah geliat pembangunan fisik yang begitu masif
menyambut kelahiran Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur menyelipkan satu
napas lain yang tak kalah vital: kesehatan rakyat. Sebab dalam gegap gempita
beton dan baja yang menjulang tinggi di bumi Borneo, ada urusan yang lebih
dekat ke dada: tubuh yang sehat, mata yang terang, dan hidup yang layak. Dan
itulah yang kini sedang diupayakan Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur
(Dinkes Kaltim), lewat satu inisiatif yang sederhana, tetapi bermakna mendalam—pemeriksaan
kesehatan massal gratis dan pembagian 2.000 kacamata bagi masyarakat.
Bukan sekadar seremoni atau gebrakan menjelang tanggal penting, kegiatan ini menjadi cerminan dari filosofi baru pembangunan IKN yang tidak hanya tentang jalan tol, istana presiden, atau teknologi mutakhir, tapi juga tentang menyentuh rakyat hingga ke puskesmas-puskesmas dan lorong-lorong desa. Pada 8 hingga 10 Juli 2025 mendatang, Dinkes Kaltim akan memusatkan gawe besar ini di Convention Hall Samarinda, satu tempat yang tak hanya strategis dari sisi akses, tapi juga simbol keterbukaan. Ruang itu akan dipenuhi bukan oleh pejabat bersetelan jas, melainkan oleh warga dari berbagai lapisan yang datang dengan harapan: mendapatkan kembali terang di penglihatannya, memastikan tekanan darah normal, atau sekadar mendengarkan denyut jantungnya masih sehat.
“Kita sudah siapkan tempat yang ada di Convention Hall, sama halnya di Balikpapan untuk pemeriksaan kesehatan. Kemudian persiapan untuk bakti sosialnya, kita sudah mulai berjalan di Puskesmas-Puskesmas dengan cek kesehatan gratis yang rencana ada 3.000 orang. Ini sudah kita laksanakan,” terang Kepala Dinkes Kaltim, Jaya Mualimin, Jumat, 27 Juni lalu.
Pernyataan Jaya itu bukan basa-basi. Beberapa pekan sebelum acara puncak, tim Dinkes telah turun langsung ke lapangan, menyambangi Puskesmas Baqa, membuka pos pemeriksaan di beberapa kecamatan, hingga menyusun skema teknis pembagian kacamata yang tak asal bagi-bagi. Dari Balikpapan hingga Samarinda, dari pesisir hingga pedalaman, program ini menyisir rakyat kecil yang selama ini kadang merasa penglihatan buram bukan urusan penting—karena biaya dan akses yang terbatas.
Yang membuat program ini berbeda dari kegiatan kesehatan massal pada umumnya adalah dimensi sosialnya yang lebih dalam. Kacamata yang dibagikan bukan produk sisa, bukan pula bingkai kaku yang seragam. Semua melalui proses yang ketat: pemeriksaan mata terlebih dahulu, lalu pemetaan kebutuhan optik, barulah pemberian kacamata sesuai hasil pemeriksaan. Dengan kata lain, setiap pasang lensa yang diterima adalah buah dari proses medis, bukan sekadar bantuan simbolik.
“Pemberian kacamata gratis dan kacamata baca dan koreksi sudah kita lakukan di beberapa tempat untuk kita lakukan pemeriksaan. Nanti ada pemeriksaan 500, kemudian minggu ini akan dilaksanakan di Puskesmas Baqa yang berarti ada 1.000. Nanti sisanya ada di acara Hari H-nya sekitar di sini 1.200, dan di Balikpapan ada 800, jadi ada 2.000 pemberian kacamata dan cek up gratis,” lanjut Jaya.
Rinciannya begitu jelas, dan ini menunjukkan bahwa Dinkes Kaltim tidak sedang bermain-main. Dari total 2.000 kacamata, 1.000 di antaranya disiapkan lewat pemeriksaan bertahap menjelang acara puncak, dan sisanya akan dibagikan pada hari-H kegiatan di Samarinda dan Balikpapan. Sebuah kerja kolaboratif yang melibatkan Puskesmas setempat, organisasi profesi medis seperti IDI dan Perdami, relawan kesehatan, dan tentu saja masyarakat sendiri yang aktif mendaftar dan menyebarkan informasi.
Menariknya, prioritas penerima bukan mereka yang biasa tampil di televisi atau mencuit di media sosial. Kacamata-kacamata itu diprioritaskan untuk lansia yang mulai kesulitan membaca, anak-anak sekolah dari keluarga kurang mampu yang tiap hari harus mengeja huruf dari papan tulis yang kabur, hingga tukang ojek dan pedagang pasar yang hidupnya bergantung pada kejelian mata.
Ada dimensi empati yang sangat kuat di balik program ini. Di tengah pembangunan fisik yang cenderung maskulin—gedung tinggi, jalan lebar, dan data canggih—program ini menawarkan wajah lain: lembut, personal, dan menyentuh langsung kehidupan warga. Seorang nenek dari Loa Janan misalnya, mengaku baru sekali ini bisa memeriksakan matanya gratis, dan pulang membawa kacamata baca yang membuatnya bisa kembali menenun tikar untuk dijual. Seorang siswa SMP di Palaran akhirnya bisa membaca buku dengan lebih cepat, setelah bertahun-tahun merasa huruf-huruf selalu tampak menari.
Program ini bukan hanya tentang pelayanan medis. Ia juga sarana edukasi. Di sela pemeriksaan, disiapkan sesi penyuluhan tentang pentingnya pola makan sehat, deteksi dini penyakit kronis seperti hipertensi dan diabetes, serta pentingnya tidak mengabaikan gejala-gejala ringan. Petugas Dinkes bahkan merancang booklet kecil bergambar untuk disebar di pos pemeriksaan, agar masyarakat bisa membawa pulang pengetahuan selain obat dan kacamata.
Dari sudut pandang kebijakan publik, ini adalah bentuk keberanian. Di tengah keterbatasan anggaran dan berbagai prioritas pembangunan menjelang pemindahan IKN, Dinkes Kaltim memilih untuk tidak menunggu aba-aba dari Jakarta. Mereka memulai sendiri, dari rakyat, dengan pendekatan yang sangat membumi. Jaya Mualimin dan jajarannya sadar bahwa pembangunan tak akan pernah tuntas jika rakyatnya tetap sakit, atau penglihatannya kabur.
“Ini adalah salah satu bentuk kontribusi kita sebagai pemerintah daerah dalam menghadirkan pelayanan kesehatan yang inklusif dan gratis, terlebih di masa transisi menuju ibu kota negara baru,” tegas Jaya.
Visi inklusif ini terasa nyata ketika kita melihat pola distribusi kegiatan yang tak hanya berpusat di kota besar, tapi juga menjangkau kelurahan dan desa. Ini sejalan dengan semangat IKN sebagai kota masa depan yang tidak elitis, tidak sentralistik, tapi terbuka dan partisipatif. Program ini juga menjadi refleksi dari filosofi pembangunan IKN sebagai kota "smart, green, and human-centered." Kata "human-centered" bukan jargon semata, tetapi menjadi napas yang mengalir dalam setiap kegiatan Dinkes Kaltim.
Ketika pembangunan sering kali dipersepsikan sebagai deret angka investasi dan angka ekspor-impor, kegiatan semacam ini membawa kita kembali ke inti dari pembangunan: manusia. Rakyat yang sehat akan menjadi pilar bagi kota yang tangguh. Dan IKN yang hebat tidak akan berdiri hanya dengan kecanggihan teknologi, tetapi dengan rakyat yang matanya terang dan tubuhnya bugar.
Langkah yang diambil Dinkes Kaltim juga merupakan bentuk tanggung jawab terhadap masa depan. Dengan mendekatkan layanan kesehatan ke masyarakat, mereka sedang menyiapkan generasi masa depan IKN—generasi yang sadar pentingnya kesehatan, tidak abai pada gejala-gejala ringan, dan menganggap Puskesmas bukan sebagai tempat terakhir, tapi sebagai tempat pertama saat tubuh mulai bicara.
Kini, ketika ribuan warga bersiap menyambangi Convention Hall Samarinda, mereka bukan hanya datang untuk diperiksa. Mereka datang dengan harapan. Mereka datang untuk menjadi bagian dari narasi besar negeri ini, bahwa IKN adalah milik semua. Dan bahwa di balik rencana-rencana besar yang disusun di ruang-ruang rapat, ada gerakan-gerakan kecil yang mengubah hidup, satu pemeriksaan mata, satu kacamata, satu senyum pada satu waktu.
Dan dari Kalimantan Timur, di tengah embusan angin dari Sungai Mahakam dan geliat proyek raksasa yang terus membangun langit kota, Dinas Kesehatan membisikkan satu pesan sederhana: pembangunan bukanlah soal menaklukkan masa depan, tapi soal memastikan tak seorang pun tertinggal.