Indonesia Simpan 24.112 Ton Uranium di Melawi, Kalbar: Cadangan Nuklir Jadi Harapan Energi Masa Depan
Melawi, Kalimantan Barat — Jauh dari hiruk-pikuk kota besar,
tersembunyi di balik hutan dan bukit Kalimantan Barat, Kabupaten Melawi
menyimpan potensi energi masa depan Indonesia: 24.112 ton bahan baku nuklir
berupa uranium dan thorium. Angka yang tidak main-main ini terungkap dalam
dokumen terbaru milik PT PLN (Persero), yakni Rencana Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik (RUPTL) 2025–2034, yang baru dirilis bulan ini.
“Selain batu bara, terdapat juga potensi energi nuklir berupa uranium/thorium di Kabupaten Melawi yang dapat digunakan sebagai energi primer PLTN,” demikian tertulis dalam dokumen resmi PLN yang dikutip pada Selasa (17/6).
Angka 24.112 ton uranium bukan sekadar catatan angka geologi, melainkan simbol cadangan energi alternatif Indonesia yang selama ini lebih banyak menggantungkan kebutuhan listrik pada sumber fosil. Data itu mengacu pada temuan yang dimuat dalam Atlas Geologi Sumber Daya Mineral dan Energi Kalimantan Barat, sebuah referensi resmi yang menjadi dasar perhitungan potensi energi primer di wilayah tersebut.
Munculnya wacana pemanfaatan uranium dan thorium dari Melawi ini mempertegas posisi Kalimantan sebagai lumbung energi baru nasional, yang tak hanya menyimpan batu bara atau potensi air, tetapi juga bahan bakar energi nuklir yang kini mulai dilirik dunia sebagai solusi penyediaan listrik bebas emisi karbon.
Namun, seperti halnya tambang emas yang masih tertutup tanah, pemanfaatan energi nuklir ini belum bisa langsung dilaksanakan. Pemerintah masih harus menyiapkan kebijakan khusus yang memungkinkan pembangunan dan pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia.
PLN sendiri menyebut bahwa pengembangan nuklir masuk dalam strategi jangka panjang mereka, seiring dengan komitmen menuju transisi energi bersih. Mereka menyatakan dukungan terhadap pengembangan sumber energi rendah karbon melalui Program Accelerated Renewable Energy Development (ARED). Program ini menjadi payung untuk pemanfaatan semua potensi energi primer di Kalimantan Barat, termasuk nuklir.
“PLN berkomitmen atas penguatan pelaksanaan program transisi energi dengan Program Accelerated Renewable Energy Development (ARED) dengan memanfaatkan potensi sumber energi primer untuk pembangkit tenaga listrik di Provinsi Kalimantan Barat,” terang PLN dalam pernyataan tertulisnya.
Energi nuklir, dalam konteks kebijakan energi nasional, memang telah masuk dalam radar pemerintah. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun telah menetapkan arah kebijakan itu secara lebih formal. Melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 85.K/TL.01/MEM.L/2025 tentang Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional, pengembangan nuklir menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk menurunkan emisi karbon, menjamin keandalan sistem listrik, dan mendukung target nol emisi.
PLTN dianggap sebagai salah satu opsi paling realistis untuk menghasilkan listrik beban dasar (baseload) yang stabil dan bebas emisi gas rumah kaca (GRK). Ini menjadi sangat penting ketika sebagian besar pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, seperti matahari atau angin, masih menghadapi tantangan kestabilan pasokan.
Dalam dokumen RUPTL 2025–2034, PLN menyebut bahwa Indonesia mulai menjajaki sumber-sumber energi primer alternatif, seperti hidrogen hijau, untuk menggantikan bahan bakar gas di pembangkit listrik berbahan bakar gas dan uap (PLTG dan PLTGU). Namun, nuklir tetap menjadi salah satu kandidat utama yang memiliki potensi besar untuk menggantikan peran batu bara dalam jangka panjang.
Potensi nuklir di Melawi, jika dikelola dengan tepat, berpotensi menempatkan Indonesia dalam peta negara dengan kapabilitas nuklir sipil. Saat ini, negara-negara seperti Prancis, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat telah lama mengandalkan PLTN sebagai pilar utama penyediaan energi mereka.
Tentu saja, tantangan pembangunan PLTN di Indonesia tidak ringan. Selain persoalan teknis, masih ada tantangan persepsi publik dan sosial, terutama terkait kekhawatiran akan risiko radiasi, kecelakaan reaktor, dan isu pengelolaan limbah nuklir. Belum lagi aspek geopolitik dan regulasi internasional yang harus dipatuhi.
Namun, perlahan tapi pasti, arah pembangunan energi nasional mulai bergerak ke sana. Pemerintah dan PLN telah menyebut perlunya studi kelayakan dan kajian multidimensi, termasuk dari sisi teknologi, keselamatan, lingkungan, dan sosial budaya. Artinya, Melawi mungkin belum akan menjadi “Silicon Valley”-nya energi nuklir dalam waktu dekat, tapi benih-benih menuju ke sana sudah mulai ditanam.
Pengembangan energi nuklir juga memiliki potensi mendorong pertumbuhan industri pendukung baru di dalam negeri, termasuk sektor riset, manufaktur komponen reaktor, pendidikan, dan sertifikasi tenaga ahli. Universitas-universitas dan lembaga penelitian seperti BATAN (sebelum dilebur ke BRIN) juga memiliki peran penting dalam membangun kesiapan teknologi dan sumber daya manusia.
Bagi Kalimantan Barat, terutama Kabupaten Melawi, potensi uranium ini bisa menjadi motor baru pembangunan ekonomi lokal—selama pengelolaannya berpihak pada prinsip keberlanjutan, transparansi, dan akuntabilitas.
Pemerintah daerah pun diharapkan bisa mempersiapkan kerangka tata ruang dan regulasi lokal yang sesuai, jika nanti wilayah mereka dijadikan lokasi riset atau eksplorasi energi nuklir lebih lanjut. Kesiapan infrastruktur, jaringan distribusi, hingga peran masyarakat lokal harus dimasukkan dalam rencana induk sejak awal.
Selain itu, ada pula peluang pengembangan sektor pendidikan vokasi dan pelatihan nuklir untuk menciptakan SDM lokal yang siap mendukung ekosistem energi baru ini. Bila dikelola dengan cermat dan hati-hati, potensi uranium Melawi dapat menjadi aset strategis yang bukan hanya bermanfaat untuk penyediaan listrik nasional, tapi juga membuka peluang kesejahteraan bagi warga di wilayah terpencil.
Dalam konteks geopolitik dan ketahanan energi, cadangan uranium ini juga memperkuat posisi Indonesia di tengah transisi global menuju energi hijau. Di saat banyak negara masih berjibaku mencari alternatif batu bara yang kuat, stabil, dan berkelanjutan, Indonesia memiliki “tabungan” strategis berupa 24.112 ton uranium yang masih tersembunyi di bumi Kalbar.
Langkah ke depan memang masih panjang. Tetapi, data dan
dokumen yang diungkap PLN dalam RUPTL terbaru ini seakan membuka jendela: bahwa
masa depan energi Indonesia tidak hanya soal matahari dan angin, tapi juga
uranium—yang tak bersinar, tapi menyimpan kekuatan luar biasa.