Gubernur Kaltim Instruksikan Pelarangan Alat Berat Lewat Jalan Darat: “Saya Sudah Rasakan Sendiri Rusaknya!”
![]() |
Ilustrasi AI |
Perjalanan sejauh 320 kilometer dari Samarinda menuju Kutai
Barat membawa sebuah keputusan penting bagi Kalimantan Timur. Gubernur
Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud—yang akrab disapa Harum—tidak hanya menempuh
jalur darat pekan lalu, tetapi juga menyetir sendiri kendaraan dinasnya. Ia
ingin mengalami langsung apa yang setiap hari dirasakan warganya: jalan yang
rusak, penuh lubang, dan tidak nyaman dilintasi. Dan dari pengalaman itu,
lahirlah sebuah instruksi tegas kepada seluruh perusahaan tambang di Kaltim: stop
mobilisasi alat berat lewat jalan darat!
“Saya ingin tahu persis apa yang dirasakan warga. Jalannya rusak parah, terutama di sekitar perbatasan Kutai Kartanegara dan Kutai Barat,” kata Harum dalam pertemuan bersama pelaku usaha pertambangan dan migas di Jakarta.
Bukan basa-basi. Kalimat tersebut keluar dari mulut seorang kepala daerah yang baru saja melihat kenyataan di lapangan. Ia menyaksikan langsung bagaimana ruas-ruas jalan yang dibangun dengan dana besar dari APBD dan APBN kini penuh kerusakan. Lubang besar, badan jalan ambles, dan aspal mengelupas seperti tak pernah disentuh pembangunan.
Yang paling mengejutkan, menurut Gubernur Harum, penyebab utama kerusakan tersebut bukan dari kendaraan angkut sawit, melainkan alat berat milik perusahaan tambang. Kendaraan dengan tonase tinggi seperti trailer pengangkut ekskavator disebut menjadi biang kerok utama.
“Satu unit trailer mengangkut PC 210 bisa mencapai 40 ton, dan jika memuat PC 400 bisa tembus 60 ton. Semakin jauh alat itu dibawa lewat darat, makin panjang jalan yang rusak,” jelasnya, memaparkan fakta teknis yang selama ini mungkin luput dari perhatian banyak pihak.
Gubernur Harum tak hanya berhenti pada keluhan. Ia langsung mengambil langkah taktis: berkoordinasi dengan Kepolisian Daerah Kalimantan Timur (Kapolda Kaltim) untuk membatasi secara ketat pergerakan alat berat melalui jalan umum. Jalur darat, dalam pandangannya, bukan lagi pilihan yang bisa ditoleransi untuk pengangkutan alat-alat berat pertambangan.
“Kita tetap mendukung investasi tambang. Tapi jangan sampai jalan-jalan yang dibangun dengan dana APBN dan APBD rusak hanya karena dilintasi alat berat,” katanya, menegaskan bahwa dukungan terhadap investasi tidak berarti mengorbankan kepentingan publik.
Sebagai alternatif, Gubernur meminta perusahaan tambang untuk mulai menggunakan jalur sungai dan laut dalam proses mobilisasi alat berat. Kalimantan Timur memiliki infrastruktur perairan yang cukup luas dan potensial untuk dimanfaatkan, apalagi mengingat banyak lokasi tambang yang dekat dengan jalur sungai besar atau pelabuhan.
Kebijakan ini tidak hanya berlaku untuk satu atau dua wilayah, tetapi diterapkan secara menyeluruh di seluruh Provinsi Kalimantan Timur. Artinya, semua perusahaan pertambangan yang selama ini terbiasa menggunakan jalan darat untuk memobilisasi alat berat mereka harus segera menyesuaikan pola logistiknya. Tidak ada lagi kompromi jika kerusakan jalan terus dibiarkan tanpa tanggung jawab.
Langkah ini dinilai sebagai bentuk nyata dari keberpihakan pemimpin daerah terhadap warganya. Terlalu lama masyarakat di daerah-daerah pedalaman seperti Kutai Barat dan Kutai Kartanegara harus menerima kenyataan pahit: jalan umum menjadi cepat rusak, namun perbaikan berjalan lambat. Ketika ada perbaikan pun, tak butuh waktu lama untuk rusak kembali, karena jalur yang sama dilintasi kembali oleh trailer-trailer bermuatan raksasa.
Selama ini, aktivitas pertambangan memang menjadi tulang punggung pendapatan daerah. Namun di sisi lain, jika tidak dikendalikan dengan baik, sektor ini juga bisa menjadi sumber ketimpangan infrastruktur dan kerusakan lingkungan yang serius. Instruksi Gubernur Harum kali ini tampaknya berusaha menciptakan keseimbangan: investasi tetap jalan, tapi tidak dengan mengorbankan fasilitas publik yang seharusnya digunakan rakyat.
Masyarakat pun mulai merespons positif. Di media sosial, langkah Gubernur Harum mendapat apresiasi luas. Banyak warga yang selama ini merasa frustrasi dengan kerusakan jalan, kini melihat harapan baru bahwa pemerintah benar-benar turun tangan dan merespons keluhan mereka secara langsung.
Namun tentu saja, implementasi instruksi ini bukan perkara mudah. Diperlukan pengawasan ketat di lapangan, sinergi antara pemerintah provinsi, kepolisian, dinas perhubungan, serta pengusaha tambang itu sendiri. Tanpa pengawasan dan sanksi yang jelas, larangan hanya akan menjadi formalitas. Bahkan bisa diakali oleh praktik ‘izin darurat’ atau pengecualian yang diberikan tanpa pertimbangan dampak jangka panjang.
Gubernur Harum tampaknya menyadari risiko tersebut. Dengan menyetir sendiri dan menyaksikan kerusakan secara langsung, ia mengirimkan pesan kuat bahwa dirinya siap mengawal instruksi ini hingga ke tingkat paling teknis.
Langkah ini juga bisa menjadi preseden nasional, di mana kepala daerah tidak hanya bergantung pada laporan dari bawahannya, tapi juga aktif menelusuri langsung kondisi lapangan. Model kepemimpinan semacam ini sangat dibutuhkan dalam situasi pembangunan daerah yang kompleks dan penuh tekanan dari kepentingan industri.
Kini, perusahaan tambang ditantang untuk segera melakukan adaptasi logistik mereka. Jalur sungai dan laut harus segera dimaksimalkan. Jika tidak, sanksi bisa saja dijatuhkan. Dan masyarakat Kalimantan Timur akan menjadi saksi apakah instruksi ini benar-benar dijalankan atau hanya menjadi angin lalu.
Yang jelas, Gubernur Harum telah mengirimkan pesan tanpa tedeng aling-aling: jalan-jalan publik bukan milik korporasi, melainkan milik rakyat. Dan mereka punya hak untuk menikmati infrastruktur yang layak, tanpa harus membayar mahal akibat keserakahan segelintir pihak.