Kaltim Bergerak: Menyongsong Masa Depan Tanpa Tambang, Menggapai Target PAD Rp10 Triliun
Samarinda, Mei 2025 — Di tengah geliat perubahan kebijakan
nasional dan dinamika ekonomi global, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur
(Pemprov Kaltim) mulai menapaki jalan baru dalam mengelola potensi daerah.
Bukan lagi hanya bertumpu pada tambang dan batu bara, Kaltim kini membidik
sektor-sektor non-pertambangan sebagai motor utama pendapatan daerah demi
mencapai target ambisius: Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp10,35 triliun
di tahun 2025.
Langkah ini tak sekadar strategi fiskal, melainkan juga cerminan visi jangka panjang untuk menciptakan struktur ekonomi yang lebih berkelanjutan, adil, dan mandiri. Dalam lanskap yang tengah berubah—baik oleh desentralisasi fiskal maupun transisi energi—Kaltim tampak bersiap untuk mendefinisikan ulang identitas ekonominya.
Dari Tambang Menuju Diversifikasi: Sebuah Titik Balik
“Kalau selama ini kita selalu mengandalkan tambang sebagai
tumpuan PAD, kini saatnya kita menggeser poros itu ke sektor-sektor yang punya
keberlanjutan jangka panjang,” ujar Ismiati, Kepala Badan Pendapatan Daerah
(Bapenda) Kaltim, dalam pernyataannya belum lama ini.
Pernyataan tersebut menjadi penanda penting bahwa Kaltim tidak ingin terus bergantung pada sektor ekstraktif, yang meskipun menguntungkan, memiliki batas usia dan dampak lingkungan yang signifikan. Pemerintah provinsi kini menaruh perhatian serius pada sektor-sektor seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, perdagangan, industri, ekonomi kreatif, hingga pariwisata.
Menurut Ismiati, hingga awal Mei 2025, realisasi PAD baru menyentuh angka Rp2,8 triliun. Angka ini setara dengan 28,75 persen dari total target yang dipatok. Meski terlihat belum setengah jalan, pihaknya tetap optimistis capaian ini akan meningkat secara progresif di semester kedua.
“Ini bukan hanya soal mengejar angka, tapi bagaimana kita memperbaiki struktur ekonomi daerah yang lebih adil dan tidak rapuh,” tambahnya.
Tantangan Regulasi dan Penyesuaian Kebijakan Pajak
Namun, upaya ini tak serta-merta berjalan mulus. Ismiati
mengungkapkan bahwa penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah membawa perubahan signifikan,
termasuk pada struktur pendapatan dan sistem pajak.
Salah satu dampak paling mencolok adalah penyesuaian tarif Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) di Kaltim. Kini, tarif PKB di provinsi ini menjadi yang terendah di Indonesia. Akibatnya, target penerimaan dari sektor ini mengalami penyusutan drastis. Dari Rp1,5 triliun pada tahun sebelumnya, menjadi hanya Rp1 triliun tahun ini.
“Ini adalah konsekuensi dari kebijakan yang berpihak pada masyarakat, tapi sekaligus menantang kami untuk memutar otak mencari sumber PAD lainnya,” kata Ismiati.
Lebih jauh, sebagian penerimaan dari PKB dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) kini langsung masuk ke kas daerah kabupaten/kota. Aliran dana ini mengikuti amanat regulasi baru, yang memberi ruang lebih besar bagi pemerintah daerah tingkat bawah untuk mengelola sumber dayanya sendiri.
Pajak Daerah Masih Jadi Tulang Punggung
Meski demikian, pajak daerah tetap menjadi penyumbang
terbesar PAD Kaltim. Hingga saat ini, kontribusinya mencapai sekitar 83,76
persen atau sekitar Rp8,4 triliun dari total target. Ini menunjukkan bahwa
sektor fiskal lokal masih cukup kuat, meski perlu didukung diversifikasi
sumber.
Menurut Ismiati, ini adalah peluang sekaligus tantangan. “Jika kami bisa meningkatkan efisiensi dan kepatuhan wajib pajak, terutama dari sektor-sektor baru yang sedang tumbuh, maka peluang untuk mencapai target PAD akan terbuka lebar,” ujarnya.
Menghidupkan BUMD dan Sungai Mahakam sebagai Potensi Baru
Salah satu upaya konkret yang kini tengah dijajaki Pemprov
Kaltim adalah mengoptimalkan peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Peran BUMD
selama ini dinilai masih belum maksimal dalam memberikan kontribusi terhadap
PAD.
Ismiati menegaskan bahwa pemerintah daerah mendorong agar BUMD bisa terlibat lebih aktif, termasuk dalam pengelolaan potensi strategis seperti alur Sungai Mahakam.
“Kita punya Sungai Mahakam yang strategis dan potensial. Kalau dikelola dengan baik oleh BUMD, bisa menjadi sumber pendapatan baru yang signifikan,” tuturnya.
Pengelolaan alur sungai ini bukan hanya soal transportasi atau logistik, tetapi juga menyentuh aspek wisata air, energi mikrohidro, bahkan konservasi lingkungan yang bisa membuka peluang ekonomi hijau.
Potensi Besar Sektor Non-Tambang: Dari Ladang Hingga Layar
Gubernur Kaltim secara eksplisit telah memberi arahan agar
semua dinas terkait bekerja sama dalam menggali potensi sektor-sektor
non-tambang. Fokus utamanya adalah membangun ekonomi yang lebih merata,
berkelanjutan, dan menyentuh masyarakat luas.
Sektor pertanian dan perkebunan, misalnya, memiliki prospek luar biasa di Kaltim. Wilayah ini kaya akan komoditas seperti kelapa sawit, karet, dan tanaman hortikultura. Penguatan rantai pasok dan inovasi teknologi pertanian bisa menjadi kunci untuk mendongkrak nilai tambah.
Sementara di sektor kehutanan, konsep perhutanan sosial dan hutan tanaman industri menjadi tumpuan. Apalagi dengan meningkatnya permintaan global terhadap produk-produk berlabel hijau dan lestari.
Di sisi lain, sektor ekonomi kreatif dan pariwisata juga mulai mendapat tempat. Mulai dari seni budaya lokal, kriya, kuliner khas daerah, hingga festival-festival wisata alam, semuanya berpotensi menjadi sumber PAD baru yang tidak hanya menjanjikan dari sisi ekonomi tetapi juga sosial dan budaya.
“Kita punya destinasi seperti Pulau Derawan, Beras Basah, dan ekowisata di Kutai Barat. Tinggal bagaimana kita membangun infrastruktur, promosi, dan kolaborasi dengan swasta,” ungkap Ismiati.
Pendapatan Transfer: Tertahan Regulasi, Masih Didominasi Tambang
Sementara itu, dari sisi pendapatan transfer dari pemerintah
pusat, realisasinya masih tergolong rendah. Hingga awal Mei 2025, baru tercapai
Rp1,9 triliun atau sekitar 19,47 persen dari total target Rp9,8 triliun.
Rendahnya realisasi ini menurut Ismiati lebih disebabkan oleh mekanisme penyaluran yang kompleks dan berada di luar kendali daerah. Dana-dana tersebut umumnya memiliki syarat administratif dan teknis yang cukup ketat.
Namun yang paling menarik adalah fakta bahwa dana transfer ini masih didominasi oleh Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor tambang, terutama batu bara, yang mencapai Rp8,1 triliun dari total target transfer.
“Ini ironis sekaligus jadi cermin, bahwa kita masih sangat bergantung pada batu bara. Padahal tren dunia sudah mulai meninggalkannya,” tegas Ismiati.
Transisi Energi dan Masa Depan Ekonomi Kaltim
Pemerintah pusat sendiri telah mendorong percepatan transisi
energi menuju energi terbarukan. Sejalan dengan itu, Kaltim perlu bersiap
menghadapi kemungkinan turunnya kontribusi sektor tambang terhadap pendapatan
daerah di masa mendatang.
“Ke depan, pergeseran sumber pendapatan ini perlu dihitung dengan cermat. Kita tidak boleh ketinggalan dalam memanfaatkan momentum transisi energi,” ujar Ismiati.
Dalam kerangka ini, investasi pada energi bersih, pengelolaan limbah, dan penguatan ekonomi sirkular bisa menjadi alternatif strategis. Kaltim bahkan punya potensi besar dalam pengembangan bioenergi dari limbah sawit, tenaga surya, dan mikrohidro yang belum tergarap optimal.
Upaya Pemprov Kaltim menggenjot sektor non-tambang bukan
semata-mata soal menambal kekurangan akibat berkurangnya penerimaan dari
tambang, tetapi lebih jauh merupakan bagian dari transformasi ekonomi jangka
panjang.
Dengan target PAD Rp10,35 triliun di tahun 2025, pemerintah daerah tidak hanya dituntut untuk kreatif mencari sumber-sumber baru, tetapi juga menjaga kualitas belanja agar tetap produktif dan berorientasi pada pelayanan publik.
Langkah-langkah seperti memperkuat BUMD, menggali potensi sungai dan sektor pariwisata, hingga menata ulang sistem pajak dan pendapatan transfer, adalah bagian dari ikhtiar menyeluruh.
“Kita ingin Kaltim bukan hanya jadi penonton di era baru ini. Tapi jadi pelaku utama transformasi ekonomi Indonesia,” pungkas Ismiati.
Jika berhasil, bukan tidak mungkin Kaltim akan menjadi model bagaimana sebuah daerah yang selama ini identik dengan tambang bisa beralih menjadi pusat pertumbuhan baru berbasis keberlanjutan, inklusi, dan inovasi.